Malam ini, pukul sembilan. Sehun berdiri di dekat kedai yang dulu menjadi tempat pertemuan dirinya dengan Minseok. Berharap jika pria mungil itu akan mengunjungi kedai ini lagi.
Satu jam berlalu, Sehun tidak menyerah dan masih tetap berdiri disana. Menanti kehadiran seorang yang diharapnya akan datang. "apa mungkin Minseok hyung akan kemari lagi? aish! kenapa aku begitu merindukannya? pertemuan kemarin benar-benar mengembalikan perasaan yang sebelumnya telah dikubur dalam-dalam. Kenapa aku terus mencintainya? padahal Minseok hyung itu adalah manusia paling kejam yang pernah aku kenal" Sehun terus bermonolog, tanpa sadar seorang pria tengah berdiri memandanginya.
"sudah lama kau menjadi gila, huh? berbicara sendiri seperti itu"
Sehun terkejut dan sontak menoleh ke samping, "Minseok hyung? se- sejak ka- kapan?"
Sejak tadi Minseok berada di samping Sehun, memperhatikan pria jangkung itu. Bahkan mendengarkan semua perkataannya. Minseok tak habis pikir bagaimana bisa pria sejahat dirinya bisa dicintai pria sebaik Sehun. Dan bagaimana bisa rasa benci yang dulu sempat di ungkapkannya kini kembali menjadi rasa cinta yang begitu dalam.
"sejak kau mengatakan jika kau sedang merindukanku"
Sehun menutup mulutnya, merutuki kebodohan dirinya sendiri. Malu kan jadinya, dasar bodoh! "ah- itu.. anu hyung, aku tidak ber- mm bagaimana ya" Sehun salah tingkah.
Minseok hanya tersenyum tipis, ia lalu menarik tangan Sehun agar mengikuti dirinya. Dan Sehun? hanya pasrah dan diam.
Hingga mereka tiba di rumah Minseok. Menariknya masuk dan membanting tubuhnya ke sofa. Sehun mengernyit, apa yang akan dilakukan pria kecilnya ini. Pria kecilnya? oke salah. Yang benar pria kecil saja.
"hyung?" tanyanya serius.
Minseok hanya tersenyum, ia malah meninggalkan Sehun lalu berjalan menuju dapur. Berniat mengambil segelas air untuk tamu spesialnya. Minseok terdiam sejenak setelah gelas itu telah terisi penuh oleh air minum. Tiba-tiba jantungnya berdegub kencang. Ia menyentuhnya, merasakan debaran itu melalui telapak tangannya. Ini tidak biasa. Tak pernah ia merasakan perasaan ini sebelumnya saat ia bersama dengan Sehun, namun kali ini ada yang berbeda.
"shit!! ini tidak bisa! aku tidak boleh seperti ini. Aku tidak akan pernah jatuh cinta pada siapapun. Kecuali pada Luhanku"
Minseok berjalan pelan, mengamati tamunya yang sedang duduk di sofa sana. Dan masih sama, debaran jantung itu masih berdegub kencang.
"ini minumlah, sudah lama kita tidak bertemu.. Sehun"
Sehun membenahi posisi duduknya, Minseok sedikit menekan pantatnya saat duduk di sampingnya. Ada yang aneh pada hyung kecilnya itu, pikir Sehun.
"iya, hyung. Kau terlihat berbeda"
"berbeda? dalam segi apa?"
"kau- semakin manis dan terlihat lebih muda" Sehun menunduk malu.
Entah bagaimana Minseok bisa merasakan kedua pipinya memanas, ada perasaan bahagia saat mendengar Sehun telah memujinya seperti itu. Pujian kecil tapi berdampak hebat untuk perasaannya.
"hyung.. apa kau tinggal sendirian disini?"
"ya"
"lalu, apa kau bekerja?"
"ya"
"dimana?"
"kenapa banyak tanya sih?!"
"maaf, bukan begitu. Maksudku-"
Ucapannya terhenti karena Minseok meraih dagu itu, dengan cepat mengecup kuncup bibir merah muda miliknya. Hanya sekilas namun membuat jantung keduanya berdegub kencang.
"Minseok hyung.."
"Sehunie, aku pun merindukanmu"
deg!
..o0o..
Sehun melambaikan tangannya saat langkah kakinya menjauh dari rumah Minseok. Pertemuannya kini membuat perasaannya sangat bahagia. Bahkan mereka melampiaskan kerinduan dengan cara yang romantis. Untung saja tidak sampai berakhir di atas ranjang dengan peluh membanjiri tubuh keduanya. Minseok tidak mungkin mengkhinati perasaannya sendiri yang bersumpah tidak akan jatuh cinta pada siapapun lagi. Namun ada sedikit perasaan yang mengganggunya saat ini. Perasaan yang sama. Perasaan itu.. cinta.
Minseok kini memasuki kamarnya, disana ada Kyungsoo yang terbaring lemah. Kyungsoo merasa jika dirinya sudah berada di ujung kematian. Rasa sakit ditubuhnya semakin menyiksa. Terlebih Minseok membiarkan dirinya berbaring lemah disana. Tidak peduli bahkan mengkhawatirkan keadaannya.
Sejak kemarin malam, Minseok tidak menemui Kyungsoo lagi. Kekesalan karena ekspresi Kyungsoo pada makanan buatannya, seolah tidak enak dan tidak menghargai. Begitu saja Minseok kesal bukan main.
Minseok lalu meraih ponselnya, mengutak-ngatik konten di dalamnya sebentar. Melirik pada Kyungsoo yang terpejam, kemudian tersenyum.
"kyungsoo- yaa.." ucapnya berbisik. "aku ingin bermain, temani aku ya"
Tangannya ia usapkan pada pipi Kyungsoo. Membuat sang pemilik terusik, lalu mengerjap perlahan.
"aku ingin bermain batu gunting kertas, yang kalah maka ia harus mati. Bagaimana?"
Kyungsoo hanya diam.
"jika diam tandanya kau setuju. Ayo kita mulai" Minseok terlihat sangat antusias. Ia mengacungkan tangan kanannya, mengepalkannya.
"yaa!!!"
Minseok batu dan Kyungsoo kertas. damn!
"aku kalah.." Minseok tertunduk. "aku mati?" ucapnya lirih.
Kyungsoo tersenyum kecil.
"tapi apa bisa kau membunuhku dengan keadaanmu yang seperti ini? aku tak yakin"
Dan Kyungsoo lagi-lagi tersenyum.
"kenapa diam? keberatan? tidak tega? aku tega kok jika harus membunuhmu"
Kyungsoo tersenyum lagi, lalu meraih tangan Minseok. Menaruh di atas dadanya, berniat ingin berbagi merasakan rasa sesak di sana. Kyungsoo tak habis pikir, jika pada akhirnya Minseok akan tega berbuat kejam padanya, sama seperti kepada orang-orang terdahulu yang menjadi korban kekejaman mereka. Apa mungkin ini sebuah hukuman Tuhan? hukuman telah melakukan dosa besar. Terlambat. Untuk menyesali, dia telah terlambat.
Kyungsoo tahu jika hari ini mungkin hari terakhir ia di bumi. Besok mungkin ia tidak bisa bernafas dan menghirup udara segar pagi hari. Kyungsoo pasrah jika harus mati di tangan Minseok, orang yang dulu pernah ditolong olehnya.
"kau setuju? jika pada akhirnya kau yang mati? lagipula keadaanmu sungguh mengkhawatirkan, lebih baik akhiri saja ya"
Kyungsoo mengangguk pelan, air mata menetes di ujung matanya. Tak sempat ia bertemu dengan kakak laki-lakinya, kakak yang dilukai dan dibohongi selama bertahun-tahun. Kakak yang semestinya berada bersamanya. Kakaknya, Park Chanyeol.
"kau ingin mati perlahan atau mati langsung? tapi aku lebih suka melihat seseorang yang sekarat dengan penuh darah ditubuhnya. Aku bisa menghirup aroma darah segar. Aku akan bahagia melihatnya"
Bajingan! Brengsek! pembunuh biadab! mungkin itulah yang ada di benak Kyungsoo.
Minseok meraih pisau lipat yang selalu ia bawa di dalam sakunya. Menyusuri kulit pipi Kyungsoo menggunakan ujung pisau. Sesekali menusuk pelan hingga menimbulkan darah yang mengalir. Minseok bersorak.
"Kyungsoo bagaimana jika matamu aku tutup dengan menjahit kelopak matamu? agar nanti kau akan terbiasa menutup mata. Ah! aku ambilkan dulu jarum dan benangnya ya"
Minseok beranjak, namun ponselnya berdering tanda satu pesan masuk. Wajahnya begitu serius namun nampak sangat menggemaskan. Membaca pesan itu sambil menyunggingkan senyuman manis di bibirnya.
"hyung, ayo kita makan malam bersama"
TBC.