BAB-1

503 46 6
                                    

"Prolog"

Kalau bulan terlihat indah dengan cahayanya, maka aku ingin menjadi cahaya itu.

Kalau bumi nampak terang karena matahari, maka aku ingin menjadi cahaya matahari itu.

Dan aku, Kiara. 
Akan menjadi cahaya yang pada dasarnya berasal dari cahaya yang sama, yaitu matahari untuk menerangi hidupmu.

Kalau kamu kue, maka aku akan menjadi pemanisnya. Agar semua orang tau, kita adalah dua orang yang bisa bersanding walau waktu dan dunia menentang. Jika gulanya terlalu banyak, maaf, karena aku terlalu ingin menjadi pelengkapmu, hingga jatuhnya berlebihan.

Kalau kamu adalah telur dadar, maka aku akan menjadi garamnya. Tapi, jika terlalu asin, maaf, aku terlalu ingin menikah denganmu, hehe.

Apapun contohnya, aku hanya akan menjadi pelengkapmu. Apapun itu. Aku tidak mau yang lain, aku hanya mau kamu. Iya, kamu Azka Arfandda.

Kamu, yang selalu tertulis dalam buku bernama hati, bersampul merah, dan selalu berdenyut ketika namamu disebut orang terdekatku.

Azka, satu yang harus kamu tau. Apapun keadaanmu, bagaimanapun kamu, aku tetap akan mencintaimu, hari ini, besok, lusa, minggu depan, bulan depan, tahun depan, dan selamanya. Sampai Tuhan berkata sudah cukup sampai disini tugasmu. Sampai Tuhan mempersatukan kita lagi.

Demi Tuhan, Azka! Aku sangat bersyukur atas hidupku yang selalu bahagia karena hadirmu. Aku selalu berterima kasih pada Tuhan karena telah mempertemukan aku denganmu.

Terima kasih, atas segala apa yang sudah kamu beri untukku. Aku sangat bersyukur. Sangat berterimakasih. Sangat, sangat berterimakasih.

Kamu harus tau,
Aku mencintaimu Azka.

Semua dimulai saat detik pertama hujan September mengguyur Jogja.

Tertulis atas nama Hati,
Kiara Raina,
Bersama Jogja yang merindukan Azka Arfandda.

_❤_

Demi Tuhan! Kamu harus merasakan bagaimana perasaanku ketika mulai menulis diatas keyboar laptop ku saat ini. Ditemani secangkir teh hangat dan alunan lagu yang mengalun pelan. Ditambah dengan embun hujan yang menutupi kaca jendela besar didekatku, hingga ketika aku menatap keluar agak buram. Sore ini adalah hujan awal di bulan September. Dimana, bertahun-tahun lalu ada aku dan dia yang dipertemukan untuk pertama kalinya dengan tujuan yang tidak kami ketahui, tapi Tuhan tau. Entah tujuannya apa.

Entah kenapa, aku bisa merasakan dorongan yang begitu kuat untuk menulis tentang aku dan dia. Biasanya, aku hanya akan menulis apa yang sudah aku pelajari dari banyak pengalaman yang aku teliti. Tapi, entah kenapa, hari ini, aku merasakan sebuah dorongan yang memaksaku untuk mengetik ini diatas keyboard laptopku.

Harus aku katakan, bahwa dengan menulis ini, aku harus siap jika ketika menulis, akan ada air mata yang menyapa wajahku. Air mata itu adalah air mata kerinduan. Bagaimana rasanya menahan rindu yang begitu dalam, yang entah tidak tau harus kepada siapa menjelaskannya, yang jelas, hanya bisa aku yang merasakan. Bahkan terlalu sulit kurasa jika harus menceritakan kerinduan yang ada dalam hatiku. Terlalu sulit. Karena yang paling dasar dari merindukan, hanya diri kita sendiri yang mengetahuinya.

Harus kamu ketahui. Banyak pertimbangan yang harus aku fikirkan untuk menulis ceritaku ini. Terutama tentang diriku. Aku harus siap jika aku harus mengingat kejadian dimana saat itu sangat pedih untuk kubayangkan, tapi harus kuceritakan. Agar kamu tau, bahwa ceritaku pernah ada dibumi, tertulis oleh takdir yang dilukis langit untuk dikenang selama-lamanya.

Baiklah, demi bulan yang akan bersinar dan matahari yang akan tenggelam. Dengan mengucap bismillah, kumulai semuanya. Dimulai saat hujan pertama di bulan September....

_❤_

Thank's for reading:')
▶Vote

Anda

▶Koment

Tertulis,
Aisha Nabila
September, 2018

Dari aku, untuk kamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang