BAB-4

199 31 2
                                    

"Takdir."

Keadilan macam apa yang kau takdirkan untukku, Tuhan?

•••

Pada bagian inilah, titik dimana terendahku. Titik dimana menjatuhkan keimananku pada Tuhan saat itu. Titik dimana membuatku berfikir bahwa Tuhan tidak sayang padaku lagi. Dimana saat aku membenci, marah, takut, frustasi. Tak bisa dijelaskan bagaimana lagi kacaunya aku saat itu.

Aku ingin marah, aku ingin berteriak melepas segala yang ku rasakan hingga pita suara ku terputus kalau perlu, ingin rasanya meraung meminta keadilan pada Tuhan dan bertanya, keadilan macam apa yang kau takdirkan untukku Tuhan? Apa ini yang dinamakan kebahagiaan? Sungguh, aku menderita dengan segala yang ku jalani saat itu.

Saat indra ku mendengar satu kenyataan yang sangat pedih untukku terima, saat itulah imanku benar-benar runtuh seruntuh-runtuhnya. Bagai kehilangan arah, bagai tenggelam di dasar laut paling dalam dan tak tau harus bagaimana lagi mencari jalan ke tepian. Saat itu..., aku benar-benar kehilangan arah.

Fikiranku saat itu memang salah, seharusnya aku tak mudah menyerah dengan takdir begitu saja. Tapi, coba bayangkan bagaimana kosongnya kalian ketika satu-satunya cahaya harapan kalian meredup dan menghilang begitu saja. Sepi? Sedih? Itulah yang aku rasa saat itu. Seolah tak ada harapan untuk terus bertahan hidup.

Setelah selesai memeriksaku, tante Audy menyuruhku untuk tetap berbaring di bangkar, sedangkan tante Audy kembali ke tempat duduknya untuk berbicara dengan Bunda. Bisaku lihat dari balik gorden berwarna hijau tua yang membatasi ruanganku dan Bunda yang duduk disana, mereka berbicara dengan serius, apa penyakitku ini serius? Sialnya, suara tante Audy tak sampai pada telingaku karena jarak yang cukup jauh. Akhirnya, dengan sejuta rasa keingin tauanku saat itu, aku bangkit dari tidurku lalu mendekati gorden untuk mendengar apa yang dibicarakan Bunda dan tante Audy. Tubuh mungilku bersembunyi di balik gorden.

"Memang gejala apa saja si yang sering dikeluhkan sama Kia, Bun?" tanya tante Audy serius. Bunda mulai berfikir untuk menjawab pertanyaan tante Audy.

"Biasanya Kia sering mimisan, kadang dia juga suka merasakan sesak nafas. Bahkan minggu lalu Kia pingsan disekolah, padahal saat itu bukan hari senin yang mengharuskan dia ikut upacara. Saya fikir dia hanya kelelahan," ucap Bunda dengan pelan. Kepalanya tertunduk, tidak siap jika mendengar kabar buruk yang keluar dari mulut tante Audy, "Memang, apa yang terjadi pada Kia, Dy?" tanya Bunda setelah terdiam beberapa saat. Menatap lekat pada tante Audy dengan tatapan yang menyiratkan kesedihan.

Tante Audy terdiam sebentar, menatap Bunda dalam dan sayu sebelum akhirnya membuang nafasnya gusar. "Sebenarnya Audy juga gak nyangka ini terjadi sama Kia, Bun. Tapi, Tuhan sepertinya sudah menakdirkan Kia untuk menerima ini dengan sabar dan ikhlas." ucap tante Audy dengan nada yang tak enak hati bicara pada Bunda. Hal itu malah membuat Bunda semakin penasaran dengan apa yang terjadi padaku. Aku juga sebenarnya. Tante Audy menghela nafas beratnya lagi sebelum kembali berbicara, "Dengan berat hati saya katakan, Kia menderita kanker darah atau para medis biasa menyebutnya dengan leukimia. Tapi untuk pemeriksaan secara jelasnya, minggu depan Bunda bisa kesini lagi untuk konsultasi dengan yang lebih ahli dengan penyakit ini dan untuk memastikan, Audy temenin kok, Bun," hibur tante Audy mencoba tersenyum menenangkan kearah Bunda. Bunda langsung terdiam, tatapannya kosong dan berair, mulutnya kelu, kedua bahunya kulihat menurun tadi. Apa aku dosa telah membuat Bunda semenderita ini padahal aku belum sempat membahagiakannya?

Tante Audy terdiam lalu bergumam cukup panjang sebelum membuang nafasnya kasar, "Audy harap, Bunda bisa menemani masa-masa sulit Kia saat ini, karena Kia sangat lemah, Bunda. Dia masih sangat kecil untuk mengalami kenyataan sulit ini.  Dia butuh semangat lebih dari orang tersayang. Apalagi, Kia hanya punya Bunda." jelas tante Audy mencoba mengalihkan Bunda yang saat itu tatapannya langsung kosong, tak ada lagi yang tersisa disana. Ya Tuhan, satu dosaku lagi, telah menambah beban Bunda.

Dari aku, untuk kamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang