BAB-3

222 28 3
                                    

"Hujan Di Bulan Agustus."

Akhir bulan Agustus, 2004

~°°~

Betapa indahnya masa kecil ku, Tuhan.

•••

Hari itu, aku masih ingat bagaimana hujan menyapa bumi dengan begitu baiknya. Ia menyejukkan kembali keadaan yang sudah gersang. Mataku terpejam sambil menghirup udara kesejukkan yang ku rasa saat itu dalam-dalam. Hmm, rasanya sejuk sekali, bahkan di tempat aku mengetik saat ini aku masih bisa merasakan bagaimana sejuknya kala itu.

Suara gemericik air yang bersentuhan dengan daun seolah menjadi alunan indah yang mengalun terus menerus ditelingaku. Menjadi musik iringan yang mewarnai sore hari itu. Biarkan dia berisik, aku suka.

Entah kenapa hujan datang lebih cepat kala itu. Dulu, aku merasa, dengan hujan aku bisa bercerita banyak walau tak bicara, hanya melalui sentuhan di telapak tanganku aku seperti mendapat tempat curhat terbaikku setelah Bunda. Aku merasa menyapa hujan seperti aku mendapatkan teman, keluarga, sahabat, saudara, atau lebih dari kata-kata itu. Mungkin karena saat itu aku tidak mempunyai teman sebagai tempat untuk bercerita, sehingga hanya hujanlah teman terbaikku.

••


"Neng, liat nih." ujar Bi Tita sambil membuka pintu kamarku. Aku hanya diam tak berkutik, mataku terus menatap kearah luar yang sudah turun hujan dengan deras. Aku sengaja duduk didekat jendela besar pemisah ruang tidurku dan balkon agar bisa melihat rintik hujan walau aku tak bisa menyentuhnya, dengan kedua tangan ku lipat didepan dadaku. Bibirku ku cemberutkan, karena aku sedang marah ceritanya ke si Bibi. Apa masalahnya? Masalahnya adalah, Bi Tita gak mengijinkan aku bermain hujan saat itu karena memang sih keadaan di luar sudah gelap. Tapi, kan, aku mau menyapa hujan, sebentar saja. Walau hanya menyentuhnya melalui telapak tanganku.

Bi Tita ikut duduk didekatku lalu terkekeh melihat tingkahku yang memang walau sudah memasuki usia 10 tahun, aku masih seperti anak-anak usia 5 tahun. "Males, ah. Kia, kan lagi marah sama Bibi," ucapku tanpa menatap Bi Tita yang sudah ikut duduk di sampingku.

Bi Tita tertawa pelan.

"Yakin, nih susu coklat sama roti selai strawberry nya gak mau?" tanya Bi Tita lagi dengan nada menggodaku. Ah, Bibi memang selalu tau cara menjinakkanku.

Aku berbalik lalu menatap ke si Bibi dengan kesal, "Ah, Bibi curang. Tau aja, Kia paling gak bisa nolak roti selai strawberry sama susu coklat buatan Bibi." ucapku dengan diiringi kekehan diakhir kalimat. Bi Tita juga ikut terkekeh lalu mengusap kepalaku pelan.

Hari itu, keadaan di Jogja sudah memasuki malam hari. Entah jam berapa, aku lupa. Sambil terus mengigit pelan roti selai buatan si Bibi aku menatap hujan lagi bagai aku melihat drama disana. Sangat serius. Kalian harus tau, saat itu aku sedang bercerita pada hujan. Ssst, jangan penasaran, rahasia ini hanya aku, hujan dan Tuhan yang tau, hehe.

••••

Besoknya, sepulang sekolah, Bunda menjemputku. Awalnya aku juga kaget melihat Bunda sedang berdiri didepan gerbang sekolah ku ditemani dengan senyuman manis khas-nya. Maklumlah, biasanya aku dijemput dengan supir pribadi Bunda, karena Bunda saat itu masih sibuk mengajar. Sesekali mengucek mataku atau sekedar berkedip, untuk memastikan benar Bunda atau bukan. Dan setelah langkahku semakin mendekat, barulah aku bisa melihat jelas wajah cantik Bunda menyapaku siang itu.

Dari aku, untuk kamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang