BAB-2

288 36 11
                                    

"Kiara Raina."


Tuhan, jangan ambil kebahagiaanku yang satu ini.

•••

Namaku, Kiara Raina. Biasa dipanggil dengan sebuatan, Kia. Entah kenapa hujan seperti sudah menyatu dalam hidupku ketika aku tau, kalau nama Rain diambil dari kata Bahasa Inggris  yang berarti hujan. Aku menyukai hujan beserta isinya, kecuali petir. Kamu tau kenapa aku suka hujan? Jawabannya sederhana yang harus kau ingat, gak juga gak papa, sih. Aku menyukai hujan semenjak aku tahu bahwa dari hujan kita bisa belajar bahwa walaupun setiap tetesnya terus jatuh kebumi dan melebur, ia tak pernah bosan untuk jatuh, ia hanya akan diam dan terus jatuh tanpa pernah membenci bumi yang telah meleburkannya. Baiklah, cukup disitu kita tentang hujan.

Aku lahir pada bulan September dimana katanya pertama kali hujan menyapa bumi, itu juga salah satu kenapa aku suka hujan.

••

Aku memiliki ibu, yang biasa ku panggil dengan sebutan Bunda. Dia seorang terhebat yang aku kenal sepanjang masa. Dia seorang guru di sekolah dasar sampai aku masuk ke Sekolah Menengah Pertama, setelah itu aku tak tahu kenapa Bunda memutuskan untuk tidak mengajar lagi. Aku tidak mempunyai ayah. Entah, aku tak tau keberadaan Ayahku, Bunda tak pernah membahas atau sekedar bercerita tentang Ayah. Jadi, aku tak tau menau kalau Ayah masih hidup atau tidak, tapi yang jelas kata Bunda, aku gak punya Ayah.

Jujur, aku juga bingung dan gak ngerti dengan alasan Bunda yang kalau diajak bicara tentang Ayah, ia hanya akan melencengkan obrolanku atau bahkan Bunda diam saja. Aku juga ingin tau bagaimana Ayahku, minimal wajahnya. Tapi Bunda tidak mengizinkan aku untuk tau, dan aku juga gak ngerti dengan alasan Bunda yang aneh. Bunda bilang, "Kamu hanya punya Bunda sebagai hidup kamu, kamu gak punya ayah. Ayahmu sedang pergi jauh. Entah sedang apa, Bunda juga gak tau. Berhenti ya untuk menanyakan Ayahmu, karena kamu sudah punya Bunda yang lebih dari cukup." begitu ucapnya ketika aku duduk di bangku kelas dua sekolah dasar. Aku masih ingat bagaimana, saat itu, aku menangis meraung-raung meminta Bunda untuk menceritakan Ayah atau hanya sekedar memberi fotonya padaku, tapi malah dengan lembutnya Bunda memelukku, mengelus pucuk kepalaku dan berkata seperti itu.

"Tapi Bunda, kan perempuan. Bukan laki-laki,"

"Bunda akan menjadi keduanya untuk kamu,"

"Kia mau Ayah,"

"Ini Ayah sayang," ucap Bunda dengan begitu pelan dan sedikit menahan tangis didekat telinga kananku sambil mendekap tubuh mungilku.

Bagaimanapun juga aku membutuhkan seorang Ayah walau aku sudah mempunyai Bunda yang lebih dari cukup. Tapi tetap saja, yang namanya peran tidak bisa tergantikan sepenuhnya. Kamu harus tau, bagaimana terlukanya aku ketika teman-temanku menanyakan soal Ayah ketika merayakan hari Ayah. Aku hanya diam, menahan tangis. Dan sepulang sekolah, aku langsung mengamuk ke Bunda. Anehnya, Bunda tak pernah marah atau lelah menghadapi sikapku yang selalu seperti itu hampir setiap harinya.

Baiklah, sampai disitu ceritaku tentang aku yang menginginkan kehadiran Ayah. Cukup aku yang merasakan. Aku tidak bisa meneruskannya, maaf, karena aku tidak kuat jika lebih dalam lagi bercerita. Membicarakan Ayah adalah titik tertinggiku menahan emosi hingga akhirnya hanya menjadi air mata.

•••

Aku anak tunggal. Bayangkan bagaimana sepinya hidupku saat itu. Aku hanya akan keluar rumah jika sekolah atau sesekali keluar karena les. Sangat membosankan hidupku kala itu.

Dari aku, untuk kamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang