8. Hanya Masa Lalu

2.6K 169 41
                                    

Rio menatap langit-langit kamarnya dengan kedua tangannya yang terlipat, ia jadikan sebagai bantal. Setelah tadi menemani Ify, hingga gadis itu tertidur, Rio memutuskan untuk kembali ke kamar. Dan di sinilah, Rio yang sendiri membuat pikirannya berkelana hingga menemukan satu nama yang sudah dua hari ini menganggu pikirannya.

Memang, tak ada sedikitpun terbersit dalam kepala Rio untuk menghianati Ify. Hanya saja, rasa penasarannya pada Aira membuat hati Rio kembali terusik. Rio saja masih bingung dan juga tidak mengerti.

Apa yang sebenarnya saat ini ia rasakan untuk gadis itu? Rio sama sekali tidak tahu. Satu hal yang ia yakini, bahwa benar dia merindukan Aira, sangat.

Seolah baru saja mendapatkan udara segar, Rio tersenyum lega melihat gadis yang ingin di temuinya tampak serius membaca di pojok perpustakaan. Tempat terpencil di mana, anak-anak tidak akan melihat. Rio memakai tudung jaketnya agar wajahnya tidak terlihat oleh siapapun. Kecuali gadis itu, tentunya.

"Ai," panggilnya setengah berbisik, namun pemilik nama itu tetap diam dengan aktifitasnya. Rio tersenyum sinis saat panggilanya tak segera mendapat respon.

"Aira," panggilnya lagi, yang kali ini Rio berusaha meraih tangan Aira.

"Heem." Dehemnya, menepis tangan Rio.

"Marah?" Sebuah gelengan di berikan oleh gadis itu. Rio menyanggah dagunya dengan tangan kiri yang ia tumpukan di atas meja.

"Dina emang bilang suka sama aku. Tapi sumpah aku nggak nerima dia." Jelasnya, berusaha membujuk Aira agar mau mendongak dan menatapnya.

Berhasil! Aira mulai menatap Rio meski dengan wajah kesalnya, "Tapi Dina bilang ke temen-temen kamu mau dia ajak jalan."

"Iya, dan itu sebagai syarat dia nggak bakalan ngejar aku lagi."

Aira masih menunjukkan wajah kesalnya, "Apapun itu." Setelah berkata singkat, Aira menunduk lagi. Kembali membaca dan menganggap tidak ada Rio di sini. Dia sungguh kesal pada dirinya sendiri, karena tidak berani mengatakan pada semua orang tentang hubungannya dengan pemuda yang tengah duduk di hadapannya ini.

Diamnya Aira menyulut emosi Rio. Jelas ini bukan kesalahannya, tapi Aira terus menuduhnya layaknya tersangka. Bukan salahnya jika wajah tampannya ini banyak di minati oleh para gadis, kan?

"Salah siapa coba sekarang yang minta diem-diem. Kalau kamu masih marah, jangan salahin kalau aku-"

"Iya-iya aku nggak marah lagi, jangan bilang apa-apa ke mereka." Potong Aira mendongak, bibirnya mencebik kesal. Apapun yang ia lakukan itu tidak akan bisa menang, jika yang menjadi lawannya adalah Rio.

"Nice girl." Rio tersenyum seraya mengusap rambut Aira. Dia lantas bangkit, kemudian membungkukkan sedikit badannya.

"Kamu lucu kalau cemburu, jadi makin suka." Bisiknya kemudian beranjak pergi. Bukan niat sok keren, Rio hanya menghindari serangan Aira. Karena dia sangat hafal dengan tingkah gadis itu jika tengah malu, maka pukulan keras akan ia dapatkan di wajahnya. Yah, harus Rio akui meski terlihat polos dan penakut, Aira mempunyai tenaga yang cukup kuat untuk membuat pipinya panas.

Rio tersenyum tipis, dalam benaknya sekarang, terbesit wajah Aira tadi siang. Tak ada senyum di sana, melainkan kedua matanya yang tampak sendu. Sama sekali bukan Aira yang dulu ia kenal. Gadis polos yang selalu menebarkan senyum tulusnya pada semua orang. Bahkan di saat gadis itu mendapat hinaan, Aira tetap berusaha menampilkan senyumnya. Hal yang membuat kebekuan Rio saat itu menghangat.

Gadis pemalu yang tak banyak bicara. Rio senang dan merasa nyaman ketika bersama Aira dulu. Meski tak banyak hal yang mereka bicarakan saat bersama. Karena memang pada dasarnya dia ataupun Aira tidak pandai berbicara. Dan saat itu, kehadiran Aira di sampingnya sudah lebih dari cukup untuk Rio.

Mencintaimu (Lagi) SEGERA TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang