12. Jangan Marah

3.1K 199 54
                                    

Sudah tiga hari ini, Ify merasa ada yang aneh dari sikap Rio. Bagaimana tidak aneh jika Rio yang selama ini ia kenal itu cuek, dingin dan nggak perhatian mendadak jadi, agak sedikit manis sih. Ya walaupun jika orang lain melihatnya biasa, tapi tidak bagi Ify. Ini Rio! Yang selama hampir empat tahun berpacaran sekalipun Rio tidak pernah memberinya bunga. Dan pagi ini, Ify bingung bagaimana harus mengatakannya. Yang jelas, saat dia masuk ke dalam mobil Rio. Setangkai mawar biru kesukaannya tengah tertidur indah di jok yang biasa ia duduki.

"Aneh, ya? Sama aku juga ngerasa aneh. Ck, harusnya tadi nggak dengerin saran mama." Racau Rio melihat ekspresi bingung dari wajah Ify.

Ify tersenyum beralih menatap Rio dengan setangkai bunga yang kini di tangannya. Dia lantas mendekat mencondongkan kepalanya untuk bisa memberikan hadiah pada Rio.

"Nggak kok, aku suka. Makasih sayang!"

Rio tersenyum tipis seraya menyalakan mesin mobilnya.

"Tahu gitu, aku kasih kamu bunga tiap hari aja dari dulu." Ucap Rio santai. Mendengar hal itu, Ify kontan mendesis, namun bibirnya tampak menahan senyum.

"Maunya."

"Iya dong masa di cium pacar nggak mau." Ify menatap Rio bingung, ini beneran Rio bukan, sih?

"Sejak kapan kamu jadi genit gini?"

"Aku nya emang genit dari dulu, kamu aja yang nggak sadar." Menyadari sepertinya dia salah bicara, Rio segera menoleh. Dan benar saja Ify tengah menatapnya curiga.

"Genitnya sama kamu aja Paijah. Jangan suudzon dulu."

"Paijah siapa? Aku bukan Paijah, ih Rio mah jangan panggil gitu. Nyebelin! Dasar Paijo!"

Rio terkekeh. Seperti biasa tangannya selalu reflek meraih puncak kepala Ify. Namun kali ini Ify menyamparnya tanpa ampun.

"Galak Jah."

"Jah jah emang aku gajah. Ih jangan panggil gitu kenapa, sih?"

"Katanya mau panggilan khusus."

"Tapi bukan Paijah, aku maunya ai!"

Rio diam.

Ify menoleh karena Rio tak kunjung menyahut. "Kenapa?" tanyanya bingung, melihat ekspresi Rio yang berubah menjadi dingin.

"Nggak." Rio menggeleng pelan. Tangannya berputar, membelokkan setir mobilnya di pertigaan jalan.

"Nggak tapi mukanya jadi nyeremin gitu. Emang aku salah ngomong, ya? Segitunya nggak mau panggil aku ai. Apa dulu pernah ada cewek yang kamu panggil gitu? Hayo ngaku!"

"Ngomong apa sih kamu. Nggak usah nuduh, bisa?"

Ify tercenung, sedikit terkejut dengan intonasi Rio yang seperti ingin membentaknya. Kenapa dia jadi marah? Padahal beberapa hari lalu Rio sudah berjanji tidak akan membentaknya lagi.

Mungkin sekarang Ify sudah terbangun dari mimpinya. Pada kenyataan yang ada, Rio tidak akan pernah bisa bersikap manis padanya.

"Apaan sih? Siapa juga yang nuduh. Aku kan cuma nanya, kalau gak ya tinggal jawab aja nggak, kalau iya ya mungkin aku nggak sepenting cewek itu."

Ify melengos kesal karena sampai enam puluh detik Rio masih diam. Membuat pikirannya menjadi kemana-mana. Apa iya Rio dulu sebenarnya pernah berhubungan dengan seseorang sebelum mengenal dirinya? Ah kalaupun iya, kenapa Rio nggak cerita aja. Lagian Ify juga pasti mengerti, karena toh itu hanya masa lalu. Di dunia ini mana ada sih orang yang sama sekali nggak punya kenangan? Iya, kan?

"Mau turun, nggak?" Ify langsung membuka pintu mobil Rio dan keluar tanpa menoleh atau mengucapkan satu katapun pada pemuda itu.

"Shit!" Geram Rio memukul setir mobilnya. Sudah tiga hari ini Rio berusaha tidak peduli dengan gadis berkaca mata tebal itu. Sudah tiga hari pula, Rio berusaha untuk tidak menghampiri gadis itu. Dan sudah tiga hari ini, Rio berusaha mati-matian mengenyahkan nama Aira yang selalu tanpa sadar menghinggapi pikirannya.

Mencintaimu (Lagi) SEGERA TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang