▶️Hubunganku Dengannya

2.6K 91 6
                                    

Aku tahu, pernikahanku bukanlah peristiwa yang berjalan dengan wajar, melainkan suatu hal yang sedikit dipaksakan. Aku sudah mengandung dua bulan saat pernikahan itu terjadi. Semua persiapan dijalankan dengan terburu-buru, tetapi untungnya berjalan dengan lancar. Acara pernikahanku tidaklah mewah, hanya sebuah upacara sederhana, yang dihadiri oleh keluarga inti dan teman-teman terdekat kami.

Memang, aku mengenal Mas Andro tidak lebih dari setahun, delapan bulan lebih tepatnya. Sore itu, seperti biasa aku berjaga di belakang kasir sebuah minimarket yang cukup dikenal. Sudah beberapa kali aku melayani Mas Andro, tetapi tidak pernah sekali pun terjadi pembicaraan di antara kami. Hanya saling sapa yang menjadi keharusanku sebagai seorang kasir, tidak lebih dari itu. Namun, hari ini berbeda, saat aku memindai belanjaannya satu per satu, dia mulai membuka pembicaraan.

"Sudah lama, Mbak, kerja di sini?" katanya memulai.

"Lumayan, Pak, sudah sekitar lima tahun."

"Oh," katanya sambil manggut-manggut. "Tidak pengin kerja yang lain?"

"Kalau lebih baik, sih, ya, pengin, Pak. Tapi, belum ada yang terima." Aku memasukkan barang belanjaannya ke dalam plastik dan mengangsurkan ke hadapannya. "Jadi, total semuanya seratus delapan puluh tiga ribu rupiah."

"Pakai debit BCA bisa?" tanyanya seraya menarik kartu debit dari dalam dompet.

"Bisa, Pak." Aku mengambil kartu debit yang diangsurkannya kepadaku dan memasukkannya ke mesin EDC. "Silakan, Pak, pinnya."

Setelah menyelesaikan transaksi, Mas Andro menyerahkan sebuah kartu nama kepadaku. "Ini kartu nama teman saya, dia sedang mencari admin. Coba kamu kirim surat lamaran dan CV, siapa tahu cocok."

"Terima kasih, Pak." Awalnya, aku menerima kartu itu tanpa keinginan untuk melamar. Kupikir, percakapan itu hanyalah basa-basi tak berujung. Namun, salah satu teman kerjaku mengatakan untuk mencobanya saja. Toh, tidak ada ruginya juga, begitu kata temanku itu.

Akhirnya, aku memutuskan untuk mengikuti perkataannya. Memang tidak ada ruginya mencoba, kan? Jika diterima, ya bagus, kalau tidak, ya bukan masalah, toh aku masih memiliki pekerjaan di minimarket ini. Jadi, malamnya, setelah pulang bekerja, aku mampir ke warnet 24 jam yang ada di dekat kontrakanku untuk mengirimkan surat lamaran dan CV kemudian berdoa bahwa semuanya akan berjalan dengan baik.

Dua tiga hari setelahnya, aku berharap ponselku berbunyi dan mendapatkan undangan wawancara, tetapi tidak ada apa pun. Sampai seminggu lebih, tetap tidak kabar. Bahkan, Mas Andro pun sudah tidak pernah datang lagi ke minimarket. Di titik itu, aku mencoba melupakan lamaran pekerjaan itu. Mungkin benar dugaanku di awal, itu hanyalah basa-basi belaka.

Aku tidak tahu berapa lama tepatnya ketika telepon itu datang. Seorang wanita di seberang sambungan mengaku sebagai HRD perusahaan tempat aku melamar. Dia memintaku untuk datang esok hari pada pukul sepuluh tepat. Tanpa pikir panjang, aku mengiakan permintaannya sambil bertanya dokumen apa saja yang harus kubawa.

Singkat kata, sebulan kemudian, aku mulai bekerja di perusahaan itu sebagai staf administrasi. Gajinya lebih besar daripada saat di minimarket, fasilitas karyawan seperti BPJS pun terpenuhi, Sabtu dan Minggu libur, menurutku itu sudah jauh lebih baik daripada pekerjaan lamaku.

Di tempat kerja yang baru itu, aku sering berjumpa dengan Mas Andro. Awalnya, kupikir dia memiliki hubungan bisnis dengan Pak Henry, pemilik perusahaan tempatku bekerja, tetapi ternyata aku salah. Dia hanyalah teman Pak Henry. Yang kutahu, Mas Andro memiliki usaha di bidang ekspor-impor barang-barang kerajinan tangan. Makanya, dia sering bepergian ke luar kota untuk mengurus barang-barang dagangannya.

Kedekatanku dengan Mas Andro berjalan dengan cepat, tiba-tiba kami sudah menjadi pasangan yang tidak terpisahkan. Kehidupanku sepertinya berubah, dunia terlihat jauh lebih indah. Walaupun beberapa kali aku mendengar pembicaraan miring tentang hubungan kami bahwa status sosialku sangatlah jauh berbeda dari Mas Andro, kekasihku itu selalu bisa menenangkan keresahanku. Jadi, aku belajar tak mengindahkan gunjingan orang-orang di sekitarku. Aku menganggap mereka hanyalah iri atau mungkin mereka juga menaruh perhatian kepada Mas Andro, tetapi tidak digubris olehnya. Sampai beberapa bulan setelahnya, Pak Henry memanggilku ke ruang kantornya.

"Inggrid," mulainya berbicara, "sepertinya, kamu memiliki hubungan khusus dengan Andro, ya?"

Terus terang, aku sedikit jengah dengan pertanyaan Pak Henry ini. Mengapa dia menanyakan masalah yang masuk ke ranah pribadi?

"Hem ... i-iya, Pak," jawabku dengan nada menggantung. Aku tidak tahu maksud dari pertanyaan Pak Henry ini maka kubiarkan perkataanku menggantung di sana.

"Dengar, saya bukannya mau mencampuri urusan pribadimu," tambahnya, seperti mengetahui isi pikiranku. "Tapi, saya rasa lebih baik kamu tidak dekat-dekat dengan Andro."

Dahiku berkerut, perasaanku saat itu antara tersinggung dan heran. Menurutku, tidak pada tempatnya Pak Henry memintaku seperti itu dan bingung mengapa dia mengatakan hal itu.

"Memangnya kenapa, ya, Pak?" tanyaku sebisa mungkin menahan perasaan tersinggung di dadaku. "Saya pikir, Bapak berteman baik dengan Mas Andro."

Pak Henry menggeleng pelan. "Kelihatannya saja seperti itu. Saya memang sudah mengenalnya selama lima tahun, tapi ... entahlah, saya selalu bersikap waspada jika berada di dekatnya. Ada sesuatu dalam dirinya yang ...." Pak Henry berpikir, mungkin sedang berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk mengambarkan perasaannya.

"... tidak tahulah," lanjutnya kemudian. Menyerah karena tidak menemukan kata-kata yang tepat untuk mengambarkan maksudnya.

"Saya tidak mengerti, Pak," ujarku terus terang.

"Begini ... beberapa tahun yang lalu, saat saya baru mengenal Andro, ada karyawan kantor ini yang bernama Yuni, Wahyuni. Dia sama sepertimu, tinggal sendirian di kota besar, jauh dari orang tua dan memiliki hubungan dengan Andro. Awalnya, semua biasa saja, tapi selang beberapa bulan, tiba-tiba dia mengundurkan diri dari pekerjaan. Sempat menghilang untuk beberapa lama, lalu kembali lagi ke kota ini."

"Saya sempat bertemu dengannya saat dia sudah kembali. Lebih tepatnya, gadis itu mencari saya. Saat melihatnya, saya sungguh tidak mengira bahwa itu adalah dia. Sangat jauh berbeda. Penampilannya lusuh, cara bicaranya tidak jelas, seperti orang ngelantur. Hanya satu kata yang diucapkan waktu itu, 'Andro', jadi saya pikir gadis ini pasti mencari pria itu. Maka, saya menghubungi Andro, saya masuk ke dalam untuk berbicara dengannya lewat ponsel. Saya katakan keadaan Yuni dan sepertinya gadis itu mencarinya. Saya minta dia untuk datang dan dia setuju. Lalu, setelah mematikan ponsel, saya kembali ke lobi untuk memberi tahu Yuni. Tapi, gadis itu sudah menghilang. Resepsionis bilang, Yuni seperti kalut, berbicara sendiri dan lari keluar. Kami sempat mencarinya di luar, tapi sepertinya dia sudah menghilang."

Aku hanya terdiam mendengar cerita Pak Henry. Masih berusaha memahami apa hubungan cerita gadis bernama Yuni ini dengan hubunganku dan Mas Andro.

"Apakah gadis itu hilang akal karena Mas Andro?" tanyaku pelan.

Pak Henry terdiam sejenak. "Saya hanya berasumsi seperti itu. Saya tidak menuduh siapa pun. Dulu, saya pernah mendesak Andro untuk menceritakan hubungannya dengan Yuni, tapi semua yang dia ceritakan hanyalah kisah percintaan wajar. Tapi, dalam hati, saya selalu merasa ada sesuatu yang aneh pada diri Andro. Sesuatu yang tidak bisa saya jelaskan. Oleh karenanya, saya tidak pernah dekat secara personal dengan Andro. Sebatas hubungan rekan bisnis, itu saja."

"Saya merasa berterima kasih Bapak sudah menceritakan tentang hal ini kepada saya. Tapi, saya mohon maaf, sepertinya ini adalah ranah pribadi saya, Pak." Aku berkata lirih, takut membuat Pak Henry tersinggung.

Mendengar perkataanku, Pak Henry hanya mengangkat bahu. "Saya mengerti, saya bukannya ingin memintamu berpisah dengan Andro atau bagaimana, tapi sepertinya saya memiliki kewajiban untuk memberitahukan kisah Yuni kepadamu. Apa pun keputusanmu, itu adalah urusan pribadimu dan Andro. Saya tidak berhak untuk mencampuri."

Melihat Pak Henry sepertinya sudah tidak akan meneruskan pembicaraannya, akhirnya aku meminta diri untuk kembali bekerja. Namun, sesaat ketika aku akan keluar dari ruangannya, dia berkata dengan sungguh-sungguh kepadaku.

"Inggrid, tolong pikirkan keputusanmu baik-baik."

bersambung ...

LAKNAT (Sampel Novel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang