⏮◀️Sebuah Tanda▶️⏭

1.1K 57 0
                                    

Sebuah guncangan di bahu membuatku membelalakkan mata. Aku menatap nyalang ke sekeliling ruangan. Butiran-butiran keringat meleleh dari dahiku. Seluruh tubuhku basah oleh keringat. Napasku memburu. Jantungku berdetak cepat dan tidak teratur. Aku terengah-engah seperti habis berlari jarak jauh.

"Inggrid? Apa kau baik-baik saja?" Suara Irma menyadarkanku. Wajahnya terlihat cemas, sepertinya dialah yang mengguncang tubuhku tadi.

Aku mengangguk perlahan. "Ya, aku baik-baik saja," ujarku lirih.

"Ada apa? Aku bisa mendengar teriakanmu hingga kamar depan. Apa kau bermimpi buruk?"

"Mimpi buruk. Sangat buruk." Aku tidak bisa menahan isakan yang menyumbat kerongkonganku semenjak tadi.

"Badanmu sampai gemetar begini." Irma mengusap-usap kedua lenganku dengan tangannya. "Kubuatkan teh hangat, ya?"

"Jangan pergi," ujarku segera. Kutahan lengannya saat kulihat dia beranjak akan pergi. "Tetaplah di sini."

Irma memandangku dengan khawatir lalu merentangkan tangannya dan memelukku. "Tenanglah. Itu hanya mimpi, kan? Tidak sungguhan terjadi," bisiknya di telingaku. Tangannya sibuk mengelus-elus punggungku hingga aku sedikit tenang.

"Tapi, mimpi itu terasa begitu nyata," isakku. "Begitu menakutkan."

"Apa kau ingin menceritakannya? Soal mimpimu itu?" tanya Irma ingin tahu.

Aku menarik napas dalam-dalam, masih berusaha memahami bahwa kejadian itu hanyalah mimpi belaka. Rasa takut, kesakitan, dan kengerian begitu nyata kurasakan. Bahkan, aku merasa bau apak wanita itu masih tertinggal di kamarku. "Itu semua seperti bukan mimpi ...," bisikku bingung. Namun, aku memberanikan diri untuk menceritakannya kembali kepada Irma. Aku dapat melihat perubahan padanya, sedikit kengerian tersirat di raut wajahnya.

" ... semuanya terasa begitu nyata," gumamku saat mengakhiri cerita.

Irma terdiam memandangku. "Semuanya baik-baik saja, itu hanya mimpi. Tidak ada hal buruk yang terjadi. Bayimu pun baik-baik saja," ujarnya menenangkanku.

"Aku tahu," ujarku lirih. Namun, mengapa wanita gelandangan yang ada di upacara pernikahanku bisa muncul di dalam mimpiku? Apakah alam bawah sadarku begitu mengkhawatirkan kejadian dengan wanita gelandangan itu? Sampai terbawa dalam mimpi? Mengapa mimpi itu begitu menakutkan?

"Lebih baik kamu mengganti pakaian," kata Irma memotong lamunanku. "Basah banget sama keringat, nanti kamu malah masuk angin kalau tidak ganti."

Irma menuntunku turun dari tempat tidur. Saat kakiku menapak pada lantai yang keras, sedikit demi sedikit realitas menghampiri diriku. Semua tampak sama, tidak ada yang berubah, kamarku tampak seperti biasa, tidak ada kegelapan dan tidak ada wanita itu. Perlahan, jantungku sudah mulai berdetak normal.

Melihatku yang sudah tenang, Irma kembali berkata, "Aku akan membuatkan teh hangat. Kamu tidak masalah kutinggal sendiri, kan?"

Aku mengangguk, menyetujuinya untuk keluar kamar. Melihat punggung Irma yang menjauh, aku mendesah lega. Apa jadinya jika dia tidak menemaniku malam ini?

Waktu sudah menunjukkan pukul dua pagi, mataku tidak lagi mengantuk. Maka, kuputuskan untuk menghampiri Irma di dapur.

Irma mengangsurkan secangkir teh panas yang masih mengepul ke hadapanku. Tanganku menggenggam kedua sisi cangkir untuk memindahkan sedikit kehangatan itu ke dalam tubuhku. "Ir, aku sungguh bersyukur kamu ada di sini malam ini. Terima kasih, ya."

"Apa, sih, kamu, kok, jadi formal begitu," ujar Irma sambil mengibaskan tangannya dengan tidak sabar. "Dengar, kapan pun kamu butuh bantuan, jangan pernah sungkan menghubungiku."

Aku tersenyum penuh rasa terima kasih ke arah Irma. "Ir, apakah aku akan kehilangan bayi ini?" gumamku resah.

"Hush! Jangan bicara begitu!" hardik Irma. "Kenapa harus berpikir seperti itu, sih?"

Aku tidak menjawab, hanya memandang Irma dengan tatapan cemas. Aku sendiri tidak mengerti mengapa perasaan ini tiba-tiba muncul begitu saja. Mengapa sebuah mimpi buruk dapat mengacaukan pikiranku.

"Nggrid." Irma mencondongkan tubuhnya. Dia menatap mataku lekat-lekat, seperti sedang mencari pikiran apa yang sedang merasukiku. "Sesuatu telah mengganggu pikiranmu, aku bisa lihat dari raut wajahmu."

Aku menggeleng pelan. "Aku hanya tidak mengerti, mengapa wanita itu bisa begitu menghantuiku? Siapa dia? Apa hubungannya denganku? Mengapa dia ingin melukaiku dan bayi dalam kandunganku?"

Irma berjalan melingkari meja makan dan duduk tepat di sampingku. Tangan kanannya meraih bahuku, sedangkan tangan kirinya melingkari bagian tubuhku. Dia mendekapku dengan erat dan berbisik dengan suara yang menenangkan. "Inggrid, wanita itu bukan siapa-siapa, tidak ada hubungannya denganmu. Semuanya akan baik-baik saja, kamu jangan terlalu pikirkan. Ingat kesehatan bayimu."

"Bisakah kau mengantarku ke dokter? Untuk menyakinkanku bahwa bayi ini baik-baik saja?" pintaku kepada Irma.

"Tentu saja, apa pun yang kamu butuhkan."

"Pekerjaanmu bagaimana?" Sebetulnya, itu adalah pertanyaan yang tidak perlu. Saat Irma menyanggupi permintaanku, tentu dia sudah mengetahui konsekuensinya.

"Aku akan minta cuti, tenang saja. Kamu tahu, kan, cutiku masih banyak."

"Aku akan menceritakannya kepada Mas Andro dan mungkin bisa memintanya pulang lebih cepat. Jadi, aku tidak perlu merepotkanmu lebih lama," kataku tidak enak.

"Ya, kamu memang harus memberitahunya. Bukan karena merepotkanku, melainkan agar kamu bisa lebih tenang."

"Kamu benar," ucapku menyetujui. "Kekhawatiranku tentang kehilangan bayi ini pun terdengar tidak masuk akal, kan?" tawaku pelan. Tanganku membelai perut yang mulai buncit ini. Aku masih bisa merasakan detak jantung buah cintaku dengan Mas Andro ini. Dia baik-baik saja di dalam sana. Namun, belaianku tiba-tiba terhenti. Aku merasakan tekstur berbeda pada perutku. Kuangkat kausku untuk melihat. Aku terpekik kaget. Sebuah tanda bekas sayatan yang memanjang pada perutku dari kiri ke kanan begitu jelas terlihat.

"Ir, jika itu hanya mimpi, mengapa ada bekas sayatan di perutku?"

bersambung ...

LAKNAT (Sampel Novel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang