◀️ Saat Ini dan Masa Depan▶️⏭

1.5K 61 3
                                    

Terus terang, aku ingin mengabaikan perkataan Pak Henry. Aku percaya bahwa apa yang diceritakannya tidak ada sangkut paut dengan Mas Andro. Kalau memang bersalah, tidak mungkin Mas Andro bersedia menemui Yuni waktu itu. Lagi pula, tidak ada bukti bahwa kegilaan Yuni adalah akibat perbuatan Mas Andro. Namun, tetap saja aku penasaran ingin mendengar pendapat Mas Andro tentang kejadian itu. Aku juga ingin tahu, sampai sejauh mana hubungan Mas Andro dan Yuni. Akhirnya, aku mengambil keputusan untuk mendengar cerita dari sisi Mas Andro, aku tidak ingin memiliki ganjalan dalam hati tentang hubunganku dengannya. Semuanya harus jelas. Aku menimbang-nimbang, bagaimana sebaiknya berbicara dengan Mas Andro, tanpa harus membawa nama Pak Henry. Aku tidak ingin ada perselisihan di antara mereka berdua, terutama karena mulut besarku.

Malam itu sepulang dari kantor, seperti biasa Mas Andro menjemputku. Aku mengajaknya ke tempat makan favorit kami, sebuah tempat makan yang khusus menyajikan seafood, makanan kesukaan kami. Aku membiarkannya menyelesaikan hidangan di hadapannya sebelum memulai pertanyaanku. Menurutku, orang akan lebih bisa berpikir jernih dalam keadaan perut yang penuh.

"Hem ... Mas," gumamku, "boleh bertanya sesuatu?"

"Tentang apa?" Mas Andro menyalakan sebatang rokok kemudian mengisapnya dalam-dalam. Kepulan asap keluar dari mulut dan hidungnya, mengambang sebentar kemudian berembus mengikuti angin malam.

Aku memandangi asap itu menghilang bersama gelapnya malam. Berpikir bagaimana memulai pembicaraan ini. "Apa kau pernah mengetahui kasus tentang gadis bernama Yuni?

Mas Andro tidak langsung menjawab, sekali lagi dia mengisap rokoknya dan mengembuskan asapnya perlahan. "Ada apa dengannya?" jawabnya kemudian.

"Hanya gosip murahan yang beredar di kantor. Tidak penting juga kurasa." Aku mengangkat bahu, berlagak hal yang kutanyakan bukanlah sesuatu yang penting.

"Gosip murahan apa?" tanyanya. Walaupun nada bicaranya terdengar biasa saja, dia tidak bisa menyembunyikan rasa keingintahuan di wajahnya.

"Beberapa hal, hubungannya dengan petinggi kantor, dipecat lalu menjadi gila ...." Tanpa kentara, mataku mengawasi air muka Mas Andro. Hanya sekejap, raut mukanya sedikit berubah marah. Namun, langsung berubah menjadi tenang lagi.

"Kenapa kau menanyakan hal itu?" tanya Mas Andro sedikit curiga.

"Tidak, sih. Hanya ... beberapa orang mengatakan ada hubungannya denganmu." Aku tidak berani menatap matanya, takut dianggap aku menantangnya.

"Tidak ada urusannya denganku," jawabnya singkat.

Aku hanya tersenyum kecut, jawaban yang malah menambah ganjalan di hatiku. Namun, aku takut jika terus mendesaknya. Takut malah akan menghancurkan hubungan kami berdua. Hubungan yang tidak pernah dibumbui oleh pertengkaran. Hubungan yang membuatku selalu merasa bahagia. Aku takut jika harus kehilangan itu semua hanya karena ucapan Pak Henry tadi siang. Ucapan yang bahkan aku sendiri meragukan kebenarannya.

Tangan kiri Mas Andro meraih tanganku dan menggenggamnya. Mungkin dia dapat melihat kegundahan yang terbaca di wajahku. "Nggrid," katanya. "Aku sayang kamu. Janganlah hal-hal yang tidak jelas kebenarannya mengganggu hubungan kita. Cukuplah pernyataan dan perlakuan sayangku ke kamu menjadi bukti perasaanku. Yang terpenting adalah saat ini dan masa depan."

Tanganku diremas erat oleh Mas Andro. Ucapannya tidaklah salah, untuk apa aku memikirkan cerita yang tidak ada ujung pangkalnya itu? Kebahagiaanku saat ini, itulah yang lebih penting. Mas Andro yang hadir saat ini adalah milikku seorang. Dia tidak pernah menyakitiku dan kupikir dia pun tidak mungkin menyakitiku.

"Aku mengerti, Mas. Lupakan saja aku pernah menanyakan hal ini kepadamu," ujarku sambil tersenyum. Setelah malam itu, buatku yang paling penting adalah saat ini dan masa depan, seperti yang dikatakan Mas Andro kepadaku.

Masa depan itu ternyata datang lebih cepat daripada perhitunganku. Aku tidak menduga akan terjadi hanya beberapa bulan setelah pembicaraan kami malam itu. Sebut aku naif, tetapi tak terpikirkan olehku jika kehamilan itu datang dengan cepat. Walaupun aku yakin Mas Andro mencintaiku, tidak tahu apakah dia akan siap dengan kehadiran bayi ini. Apakah dia akan menerimanya? Atau, dia akan mengingkarinya? Untuk beberapa saat, aku hanya diam memandangi dua garis yang terbentuk pada testpack di tanganku. Dadaku bergemuruh, perasaan sukacita dan kekhawatiran bercampur aduk dalam diriku. Apa yang harus kulakukan?

Setelah berjalan bolak-balik di dalam rumah kontrakanku yang sempit dan berbicara kepada diri sendiri untuk satu jam lamanya, akhirnya aku menarik napas panjang. Baiklah, aku harus memberi tahu Mas Andro. Apa pun hasilnya nanti, aku harus siap menerimanya. Maka, setelah mengembuskan napas berkali-kali, aku mengetuk nomor ponsel Mas Andro. Jantungku berdetak sangat cepat sampai-sampai mengalahkan suara sambungan ponselku. Perutku terasa diremas-remas, setitik keringat mengalir dari dahi, rasa gelisahku memuncak dan aku merasa sangat mual. Buru-buru aku mematikan sambungan ponsel dan berlari ke kamar mandi. Aku muntah-muntah untuk beberapa saat, hanya air yang keluar dari mulutku dan mungkin sedikit sisa makan malam.

Sayup-sayup dari dalam kamar, aku dapat mendengar ponselku berbunyi. Pasti itu Mas Andro yang mencoba menghubungiku. Dengan sedikit terengah-engah, aku bangkit dan menerima panggilan itu.

"Halo?" ujarku lirih, masih terasa getir di dalam mulutku. Seharusnya, tadi aku meminum sedikit air putih terlebih dahulu sebelum menerima panggilan Mas Andro.

"Inggrid? Kau tadi menghubungiku?"

"Hem ... iya," kataku.

"Kau baik-baik saja?" Mas Andro sepertinya bisa merasakan kegelisahan dalam suaraku.

"Mas ...." Aku terdiam, menggantungkan kata-kata itu di udara. Mas Andro pun diam saja, menungguku meneruskan pembicaraan. Namun, aku hanya mengembuskan napas, berusaha mengeluarkan ganjalan yang menindih paru-paruku.

"Inggrid?" panggil Mas Andro khawatir. "Inggrid?" panggilnya sekali lagi.

"Mas, ada yang ingin kubicarakan." Aku kembali terdiam.

"Bicaralah," ujar Mas Andro sedikit tidak sabar.

"Aku ... hamil."

Lalu sunyi, hanya desahan napas Mas Andro yang terdengar dari seberang sana.

bersambung ... 

LAKNAT (Sampel Novel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang