2. Langit di balik jendela

594 58 4
                                    

Mark menginap. Selain karena terlalu lelah untuk tiga jam lebih perjalanan kembali ke Seoul, laki-laki itu beralasan bahwa ia telanjur jatuh cinta pada pemandangan di balik dinding kaca jendela kamar itu. Meski sudah beberapa kali melihat ini, Mark mengklaim, malam ini adalah penampilan terindahnya, yaitu langit hitam Mokpo yang diseraki kelip gemintang.

Jinyoung hanya mengangkat bahu tak acuh. Tidak begitu peduli dengan alasan yang pasti hanya dalih saja.

Karena itu, tanpa banyak bicara, Jinyoung membantu Mark menyingkirkan meja kecil di tengah ruangan itu, menggantinya dengan kasur lantai. Kini, kasur di sudut ruangan kamar telah berpindah tepat ke tengah-tengah bingkai jendela.

Mereka tidur bersisian, menghadap langit di luar jendela. Tak ada percakapan. Hanya hening yang diisi dengan desah tarikan napas mereka. Tadi, sebelum jadwal jaganya selesai, Jinyoung tidak sabar untuk bertemu kasurnya dan tidur lelap. Namun kini dengan Mark di sampingnya, sesuatu yang ia tidak yakin apa terasa mengganjal pikirannya dan menahan matanya untuk terpejam.

Bergerak pelan, Jinyoung berbalik menghadap Mark. Ia menatap laki-laki itu cukup lama sebelum bertanya asal, "Jadi kau jatuh cinta pada jendelaku?" Sebelah tangannya ia gunakan sebagai alas bantal.

"Hm?" Mark membalas tatapan Jinyoung. Alih-alih menjawab, ia malah merapatkan tubuhnya, mengambil tangan Jinyoung dan menggantikannya dengan lengannya.

Jinyoung kontan merona. Benaknya berteriak, 'terlalu dekat!'

Mark menerawang ke dalam mata Jinyoung dalam gumaman panjang. "Sudah empat tahun sejak aku debut, berarti ... tujuh?" Mark menggantung kalimatnya, menghitung dalam hati.

"Lebih," sangkal Jinyoung, mengerti akan apa yang sedang dibicarakan Mark.

"Ah iya," Mark membenarkan, "Selama tujuh tahun lebih itu, Jie, aku tidak merasa perasaanku berubah, meski kita sering berpisah dan bertengkar. Kau?"

Jinyoung menahan napas. Sejujurnya, ia beberapa kali hampir menyerah. Selama Mark tidak dalam jangkauannya atau disaat mereka berdebat dan bertengkar, keraguan kerap memengaruhinya. Ia terkadang merasa bahwa ia tidak cocok dengan Mark dan hubungan jarak jauh seperti ini. Ia terlalu punya banyak prasangka. Seperti mengira telah begitu naïf membatasi dirinya di sini sementara Mark bebas di luar sana, bertemu dengan lebih banyak perempuan yang pasti lebih cantik dari dirinya.

Dan kini, di depan Mark, rasa bersalah meremas dirinya.

"Mark, kau mencintaiku?" Suara itu lirih dan kering.

Mark menarik napas, "Jangan ragukan aku. Meski kita memang harus jadi rahasia untuk sedikit lebih lama lagi," ujarnya dengan senyuman yang jelas berusaha meyakinkan. "Maaf."

Jinyoung diam. Pikirannya terperangkap dalam sorot mata dan lengkung senyum favoritnya itu. Dadanya berdebar. "Maafkan aku."

Lugu dan ragu, Jinyoung membawa tangannya ke tengkuk Mark tanpa menggeser seinci pun pandangan matanya. Adrenalinnya meningkat. Ia usapkan jemarinya sebentar membuat Mark terkekeh geli. Jinyoung tersenyum kecil kemudian bergerak makin dekat, menghabisi jarak yang tersisa. Perlahan dan khidmat. Sepersekian detik setelah Jinyoung memejam, bibir mereka bertemu. Ringan, halus, dan menggoda bagai api di pucuk lilin aromaterapi.

Mark juga menutup kelopak matanya seiring dengan gerakan bibir Jinyoung dan remasan di belakang lehernya yang bergerak menyusuri kulit kepalanya. Ia tersenyum dalam sentuhan gemetar itu. Adalah hal yang sangat jarang Jinyoung menciumnya duluan. Walaupun terlihat tegas dan tak acuh, Jinyoung sebenarnya adalah gadis pemalu. Jenis kepribadian penyendiri yang lebih sering berbicara dengan kepalanya sendiri. Karena itu, Mark mengangkat tangannya, mengusap-usap punggung dan rambut Jinyoung, membantunya untuk cair dan santai. Selebihnya, Mark membiarkan gadisnya memimpin permainan.

Makin lama, tarikan napas mereka makin pendek. Sentuhan itu terasa makin menuntut. Ada kesan menggelitik yang menggoda perut mereka. Udara malam tidak mampu menahan keringat yang menyembul dari pori-pori kulit keduanya. Rupanya api kecil itu telah menyulut kobaran besar yang siap membakar mereka. Jinyoung seperti mendapatkan candunya. Rasa rindu yang tertahan terlalu lama antara mereka memberikan energi besar, merangsang indera mereka untuk saling merasakan.

Dalam jeda yang mereka ambil karena kebutuhan udara, Mark mencoba mengembalikan dirinya. Menarik napas lebih panjang untuk menahan hasratnya yang mulai tak tertahankan. Ia kembalikan pakaian Jinyoung yang setengah tersingkap, lalu mengusap lembut pipi dan sudut bibir merah itu. Matanya menatap lembut pancaran sayu gadisnya, "Jie, hentikan aku di sini, atau aku tidak akan bisa berhenti." Mark telah bersumpah, ia tidak akan pernah melakukannya jika Jinyoung tidak menginginkannya.

Jinyoung tersenyum. Mengikuti gerakan Mark, ia mengusap pipi laki-laki itu sebelum berkata dalam suara serak, "Kalau begitu, jangan berhenti."

Seketika Mark melebarkan matanya. "Kau ... kau yakin, Jie?" ucapnya dengan napas memburu.

Tidak ada jawaban. Tapi Mark tahu, senyum dan tatapan itu adalah kesiapan untuk berserah. Mantra yang mampu menyulap titik keraguan di hati mereka menjadi ketetapan hati tak terbantah.

Mark mencium kening Jinyoung lama. Ia lalu berdiri, menarik tirai abu gelap di kiri-kanan bingkai jendela. Bahkan dengan langit kesukaannya sekalipun, ia tidak akan rela membagi tubuh kekasihnya.

Lembut dan jauh dari ketergesaan, Mark dan Jinyoung menyelami satu sama lain. Menyentuh seluruh dalam satu lingkaran waktu, tanpa penghalang, tanpa keraguan. Melebur dalam keterusterangan. Meluruh pada sekat yang lesap.

Arus menuntun mereka kepada puncak. Menarik semua rasa untuk saling menangkap dan menenangkan bersama dorongan yang mendesak keluar dan membawa mereka bersua, mencair, lalu tergelincir bersama.

Ada janji tak terucap yang mereka amini; bahwa mereka tidak akan pernah saling melepas, tidak peduli apapun jenis keadaan yang mungkin akan mereka alami.

Janji yang berat.

tbc.

Resfeber [MarkJin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang