13. Keputusan

310 46 11
                                    

Selalu begini. Selalu Minhyun yang jadi korban di setiap kegalauan Park Jinyoung akan Mark Tuan. Tanpa bicara pun, Minhyun sudah paham begitu mendapati sahabatnya itu duduk menunduk di restorannya tanpa menggubris pelayan yang datang menanyakan pesanan. Hyunbin, yang siang itu menyempatkan diri membantu di restoran, mengenali Jinyoung dan segera memanggil kekasihnya yang tengah berkutat di dapur.

Dengan suara dan raut panik, Hyunbin mematikan kompor dan menarik tangan Minhyun buru-buru. "Temanmu yang mabuk waktu itu sepertinya mabuk lagi hari ini."

"Jinyoungie?"

Hyunbin mengangguk.

Minhyun berdecak seraya memutar bola matanya bosan. "Apa lagi sekarang?" desahnya. Ia kemudian membuka celemeknya dan memasangkannya pada Hyunbin, "Tolong tangani dapur sebentar. Aku akan kembali setelah bicara dengannya."

Laki-laki jangkung itu tersenyum lebar ketika Minhyun memeluknya untuk mengikat tali celemek di pinggangnya, "Siap, Ibu Ratu!" tukasnya dengan pose hormat.

"Konyol." Minhyun mencubit perut Hyunbin lalu mendorong punggung laki-laki ke arah dapur.

Hyunbin tertawa sampai menghilang ke balik pintu dapur.

Makin dekat, Minhyun makin yakin bahwa Jinyoung sedang menangis. Isakannya terdengar sangat kentara di antara tarikan napasnya.

"Jinyoung-ah?" sapa Minhyun pelan.

Tidak ada sambutan.

"Kau mabuk?" tanya Minhyun hati-hati sambil melongok untuk melihat wajah Jinyoung yang menunduk.

Jinyoung menggeleng.

Minhyun duduk di seberang meja. Mengamati sahabatnya yang makin menunduk dalam. Rambutnya yang tegerai menutup seluruh wajahnya.

"Mau makan?"

Jinyoung kembali menggeleng.

"Minum?"

Lagi, Jinyoung menggeleng.

Melihat itu, Minhyun mendesah prihatin. Sejujurnya ia lebih suka marah dan memberi nasihat agar Jinyoung meninggalkan Mark atau pergi dari Seoul—seperti biasa—tapi rasanya terlalu kejam bagi Jinyoung untuk mendengarnya saat ini.

Tidak kunjung mendapat respon, Minhyun melanjutkan, "Kamarku kosong, kau bisa menggunakannya."

Jinyoung kembali menjawab dengan gelengan.

Minhyun angkat tangan. Ia yang akan beranjak pergi berubah tidak tega ketika melihat air mata Jinyoung menitik, lolos dari usapan kasar perempuan itu di pipinya sendiri. Maka, ia bangkit dari duduknya dan memeluk sahabatnya itu.

Tangis Jinyoung pecah seketika. Ia mengeratkan kepalan tangannya di pangkuan, berusaha untuk menekan kembali emosinya, namun gagal.

Minhyun makin mengeratkan pelukannya sembari tersenyum dan mengangguk sopan pada beberapa orang yang memperhatikan mereka heran.

_____________________

Yang Jackson tahu, setelah sesi latihan singkat mereka sore hari itu, Mark mengunci dirinya di ruang latihan dance mereka yang terletak di lantai basement perusahaan. Ia menggeleng mengisyaratkan pada member lain untuk jangan mengganggunya. Setelah memerintahkan yang lain untuk pulang, Jackson kemudian memilih untuk menunggu Mark. Biar bagaimana pun, ia mengkhawatirkan sahabatnya itu.

Sementara di dalam, Mark tidur telentang di tengah-tengah ruangan. Sound system menguarkan musik yang sengaja ia setel dengan volume keras, seakan-akan dengan itu, ia dapat memisahkan dirinya dari dunia luar sejenak.

Lengannya beralih menutup matanya. Ia tidak punya keputusan sama sekali. Semua pilihan yang mampu ia pikirkan tidak bisa menyelamatkan semua pihak. Rela tidak rela, harus ada yang ia lepaskan: Jinyoung dan hatinya atau teman-teman dan mimpinya.

"Hyung, mungkin ini terdengar kejam dan tidak berperasaan, tapi kau harus memilih antara kami atau dia."

Mengingat kembali kalimat Jackson membuat dadanya bergejolak, mendorong sesak naik ke matanya yang memanas.

"Dan ... mungkin aku memang tidak tahu apa-apa tentang kau dan dia, tapi paling tidak lihat kami yang sudah menahan diri selama ini. Kita sudah bekerja sangat keras. Pada akhirnya, semua hal sulit yang kita lalui bersama membawa kita ke titik ini. Bukankah ini mimpi kita? Bukankah kita berjanji untuk terus bersama, berlima selamanya?"

Seketika Mark bangkit. Ia menatap nyalang sekitar dengan mata merah basah. Ia kecewa pada dirinya sendiri dan keadaan. Melihat pantulan dirinya di cermin besar itu membuatnya marah. Ia berlari lalu mengempaskan tinjunya sekuat tenaga pada permukaan keras cermin itu. Tangannya sakit, luar biasa sakit, tapi ia seakan belum puas. Ia mengulangi perbuatannya sampai tangannya memerah dan berdarah. Namun pada kenyataannya, kaca itu hanya retak sedikit.

"Aku mungkin akan mati jika kau pergi."

Ucapan Jinyoung pagi ini membuat Mark merasa tidak berdaya, bahkan untuk sekadar untuk menyakiti dirinya sendiri. Tubuhnya lemas, merosot ke lantai. Ia menyandar di dinding, lalu membentur-benturkan kepalanya putus asa.

___________

Setelah sekitar tiga jam Minhyun membiarkan Jinyoung melanjutkan tangisnya sendirian di meja restoran, sahabatnya itu akhirnya bangun dan berjalan lurus ke arah kamar mandi. Hyunbin yang mendapat tugas tambahan untuk mengamati Jinyoung segera melaporkan itu pada Minhyun.

Keluar dari kamar mandi, Jinyoung menutup kepalanya dengan handuk lalu membelokkan langkahnya ke arah tangga, bermaksud naik ke lantai dua menuju kamar Minhyun. Kepala dan tubuhnya meminta istirahat.

Baru saja sampai di anak tangga pertama, seseorang menahan tangannya. Jinyoung menoleh tanpa tenaga.

"Minhyun sudah menyiapkan makan siang. Ayo!" Tanpa menunggu jawaban, Hyunbin menarik pelan tangan Jinyoung, menggiringnya ke salah satu meja yang terletak paling dekat dengan dapur. Di sana, sudah ada Minhyun, tersenyum dan menarik kursi untuk Jinyoung duduki. Ia lalu melepas handuk dari kepala Jinyoung dan membantu mengikat rambut panjang sahabatnya itu yang terurai asal.

"Paling tidak, kau butuh tenaga untuk menangis lagi nanti."

Hyunbin yang mengambil tempat di seberang meja itu mengernyit mendengar perkataan Minhyun barusan. Kalimat penghiburan yang aneh, pikirnya.

Lima menit duduk mengitari meja itu, tak ada satu pun yang memulai mengambil makanan. Well, sebenarnya Hyunbin sedari tadi ingin meraih sumpitnya, namun ditahan oleh Minhyun. Mengacu pada kebiasaan, Minhyun tahu cara ini sedikit banyak bisa menarik Jinyoung keluar dari diamnya. Ia hanya perlu bersabar sedikit lagi.

"Jalmokgesseumnida ...." Tanpa sadar, Hyunbin dan Minhyun melepas napas lega mendengar lirihan Jinyoung itu. Mereka segera mengikuti Jinyoung yang meraih sumpit dan mulai makan.

Namun, di suapan ketiga, Jinyoung berhenti. "Minhyun-ah." Tatapannya lurus pada manik hitam Minhyun yang memberikan perhatian penuh padanya. "Aku pasti sudah gila," lanjutnya.

Hyunbin benar-benar tidak mengerti dengan drama sahabat kekasihnya ini. Jika semenyiksa ini, kenapa tidak dilepas saja?

"Aku akan pergi dari Mark. Lalu karena aku membuat masalah di rumah sakit, ayah pasti akan mengungkit tentang melanjutkan sekolah ke Kanada. Lagi pula, setelah itu ibu juga akan kembali melancarkan rencananya untuk menjodohkanku dengan anak temannya di sana. Sempurna. Aku hanya perlu menjalaninya tanpa komentar kan?"

Minhyun terdiam.

Kontras dengan ucapannya, air mata Jinyoung kembali menitik dari kedua sudut matanya. "Minhyun-ah, katakan ... kenapa aku tidak bisa sebebas kalian?"

_____________

a.n:

Terima kasih pada teman-teman semua yang sudah vote dan juga komen. Itu membuat saya bersemangat!! >,<

Resfeber [MarkJin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang