16. Behind the page

328 45 10
                                    

Sebagai usaha terakhirnya mempertahankan kenangan bahagia tentang Jinyoung, Mark menutup seluruh tubuhnya dengan selimut. Semua lampu kamar dimatikan. Berusaha tertidur lelap agar hari cepat berganti sehingga kepalanya akan memikirkan pekerjaannya yang tertunda, bukannya Jinyoung dan ucapan selamat tinggal antara mereka. Keesokan harinya, ia tinggal berpikir bahwa Jinyoung, kekasihnya, hanya pergi ke luar kota. Lari dari rumah karena marah.

Nyatanya, pagi datang tanpa sedikit pun ia hilang kesadaran.

Tarikan napasnya berat dan dalam. Ada perih di antaranya.

Gontai ia membersihkan badan dan berjalan keluar kamar. Serta merta, pelukan keempat membernya menyambutnya. Tentu, bersama ucapan terima kasih dan maaf. Sungguh. Mark ingin marah. Ia ingin menumpahkan semua rasa kecewanya atas ketidakadilan keadaan. Dadanya sakit dan sesak. Ia belum sepenuhnya rela.

Tapi ia bisa apa? Ketika semua ini sejatinya adalah kesalahannya sejak awal. Ialah yang tidak menepati janji pada teman-temannya ini.

"Kisah yang berakhir bahagia bukan hanya tentang dua orang yang akhirnya bersama dan bahagia selamanya, tapi juga tentang dua orang yang berpisah namun membiarkannya sebagai masa lalu yang lewat begitu saja. Mark, aku bersumpah akan memaksa diriku untuk berhenti mencintaimu. Kau juga. Lakukan hal yang sama."

Dengan itu, Mark melepas genggamannya. Ia sudah hilang. Sebaris kalimat maaf menutup eksistensi Jinyoung dari alur perjalanan Level Up!

Harapnya, suatu hari nanti ia dan Jinyoung akan bahagia, meski tanpa satu sama lain. Tidak ada air mata yang keluar.

___________

Ini sudah kesekian kalinya Jinyoung menghela napas sepanjang hari ini. Ia merasa sangat mudah lelah akhir-akhir ini. Kepalanya sering pusing tanpa sebab yang jelas. Perutnya mual, tapi tidak ada yang keluar ketika coba ia muntahkan. Ia seakan menyadari sesuatu kemudian. Bahwa pengaruh Mark tidak hanya besar pada pikirannya, tetapi juga pada fisiknya.

"Jie, kupikir kau harus mengurangi minum alkohol." Tetiba saja, Brian duduk di depannya yang tengah menenggak sebotol yogurt di salah satu meja kantin rumah sakit, "You look so terrible," lanjutnya dengan mata memicing.

Jinyoung memutar bola matanya malas, "Ini yogurt," katanya ketus, "Dan, hey, apa kita sudah sedekat itu sampai kau memanggilku begitu?"

Brian mengedikkan bahu. "Kau juga boleh memanggilku dengan nama tanpa embel-embel," katanya tak acuh. Jinyoung berdecih sebal. Ia berniat pergi dari sana ketika pergelangannya ditahan pemuda itu, "Aku benci kisah cinta yang berakhir menderita," ujarnya yang mengundang kernyitan heran dari Jinyoung.

"Kau membuatku mendengar kisah cinta tak sampai ketika kau mabuk tempo hari."

Seketika mata Jinyoung membola dengan mulut terbuka lebar, "Bohong!" pekiknya tertahan. "Aku bukan orang yang cerewet ketika mabuk."

Brian terkekeh melihat raut panik Jinyoung. Ia memang berbohong. Minhyun-lah yang memberitahunya. Well, tidak secara langsung, tapi dari omelan panjang lebar perempuan itu ketika mengantar Jinyoung yang mabuk berat malam itu.

"Apa saja yang kau tahu?" Jinyoung bertanya masih dengan suara panik.

Tidak banyak. "Hampir semuanya." Senyum miring terpatri di bibir tebal pemuda itu.

Raut Jinyoung makin panik. Tanpa sadar ia menggeser kursinya makin dekat ke meja, lalu mencondongkan tubuhnya ke Brian. "Kumohon jangan beritahu orang lain," pintanya bersama tautan tangan di atas meja.

Brian sengaja terlihat berpikir. "Under one condition," ujarnya kemudian.

Tautan tangan Jinyoung berubah menjadi genggaman kuat. Ia memejamkan mata terlihat menahan emosi yang akan meluap. Rahangnya mengatup kuat. "What is it?"

Resfeber [MarkJin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang