20. White Lily

361 45 6
                                    

Siapa yang sangka jika panggung comeback hari itu adalah panggung terakhir untuk Mark. Sebisa mungkin, Mark menyimpan kenangan sepanjang durasi satu lagu itu di kepalanya. Teriakan semangat Circle Up! dari bawah panggung, gemerlap lampu yang menyorot, adrenalin yang terpacu dalam setiap gerakan dance, dan lirik yang merepresentasikan diri. Jinyoung benar. Panggung adalah cinta pertamanya. Panggilan jiwanya. Namun, bisakah ia mempertahankan cinta pertamanya, ketika hal itu melukai cinta sejatinya? Mark mungkin saja tidak benar-benar bisa mendefinisikan cinta sejati, tapi satu hal yang ia tahu bahwa ia mencintai Jinyoung melebihi cintanya pada dirinya sendiri.

Begitu jadwal mereka berakhir hari itu, Mark lebih dulu memacu langkahnya menuju dorm. Dengan cemas ia membuka kamar Youngjae di lantai atas, tempat ia meninggalkan Jinyoung pagi tadi. Sehabis menangis, Jinyoung sama sekali tidak mau berbicara. Mark tidak punya pilihan lain selain membawa Jinyoung ke dorm dan menyembunyikannya di kamar sebelum manajer mereka datang menjemput.

Menghela napas, Mark menyingkap selimut putih tebal di ranjang. Jinyoung tidak tidur. Ia berbaring menyamping, meringkuk memeluk bantal.

"Mau pulang?" Mark bertanya dengan lembut.

Jinyoung tidak menjawab. Ia malah menyembunyikan wajahnya dengan bantal di pelukannya.

"Sudah makan?" Dengan sabar, Mark bertanya lagi. Pagi tadi, ia sudah berpesan pada Jinyoung bahwa ada sereal dan susu di dapur yang bisa ia makan jika lapar.

Kali ini Jinyoung menjawab. Dengan gelengan.

Mark duduk di tepi ranjang, meraih pundak Jinyoung dan membalik tubuh perempuan itu agar menghadap padanya. "Ayo bangun! Kita makan di luar. Yang lain sudah menunggu."

Tidak mendapat respon yang berarti, Mark menarik hidung Jinyoung gemas. "Jangan manja. Ayo!" katanya dengan bibir melengkung simpul.

Di mata Jinyoung, senyum Mark kali ini sama sekali tidak terlihat menyenangkan.

Mark bangkit. Namun sebelum ia sempat mengambil langkah, Jinyoung bangun dan menarik ujung bajunya. Mata redup Jinyoung memancarkan ketakutan.

Mark paham. Maka, ia duduk kembali, meraih kedua pundak kekasihnya, "Tidak apa-apa," katanya seraya menatap mata Jinyoung. Ia juga merapikan rambut Jinyoung yang berantakan. "Aku akan secepatnya menyelesaikan urusanku di sini. Tidak akan lama. Aku janji. Hm?"

"Aku bersalah?" Suara serak lirih itu hampir tidak terdengar oleh Mark.

Mark mendesis seraya meletakkan telunjuknya di bibir, "Aniya. Tidak ada yang salah." Tersenyum, tangan Mark mengusap-usap pundak Jinyoung. "Sekarang bangun. Kita makan."

Secepat Mark menyelesaikan kalimatnya, Jinyoung kembali menahan Mark yang akan berdiri. "Kau ... tidak akan pergi kan?"

Mark melepas tangan Jinyoung yang mencekal lengannya. Ia usapkan telapak tangannya pada pipi Jinyoung, bergerak menarik lembut tengkuk perempuan itu, memberi ciuman singkat yang tidak Jinyoung duga. "Kau tahu jawabanku, Babe."

____________________

_____________

Jinyoung pulang. Ia disambut tatapan mendelik dari ibunya. Ayahnya tidak terlihat di mana-mana.

"Dari mana saja?"

"Rumah Minhyun," jawab Jinyoung sekenanya, berjalan lurus ke arah kamarnya.

"Sudah kau pikirkan kesalahanmu?" Ibu Jinyoung mengikuti langkah Jinyoung menaiki tangga.

Jinyoung menggumam pendek. Tenaganya serasa terkuras habis hari ini. Ia butuh tidur. Itu pun jika ia bisa.

"Apa? Jawab yang jelas!" Ibu Jinyoung menyergah tidak sabar.

Resfeber [MarkJin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang