3. Our normal life would be

498 59 4
                                    

6 AM

Angin dini hari menyelip masuk dari rekahan jendela. Mengalir turun membelai tirai yang setengah tertutup. Selapis selimut yang membungkus tubuh jinyoung tersingkap di bagian ujung kakinya. Jinyoung bergerak gelisah, berusaha mengembalikan kakinya ke dalam selimut. Matanya membuka kemudian. Mengernyit dalam karena langsung disapa silau lampu kamar. Mark duduk bersandar bantal di sampingnya. Terlihat serius membaca buku di pangkuannya.

Mengusap-usap kasar matanya yang terasa gatal, Jinyoung mengerang merasa sedikit tidak nyaman dengan tubuhnya. "Kapan bangun?" tanyanya dengan suara serak yang hampir tidak terdengar. Seperti ada yang tertahan di tenggorokannya. Segera ia berdeham untuk menormalkan suaranya.

Mark mengalihkan perhatiannya pada Jinyoung, lalu melirik jam yang menempel di dinding, "sejam yang lalu," jawabnya pendek.

Menggumam pendek, Jinyoung menutup matanya lagi. Ia menggeser posisinya, bergelung nyaman dan memeluk paha Mark. "Kau wangi," celetuknya dalam satu tarikan napas panjang.

Mark mengangkat buku yang dipangkunya agar tidak tertutup tangan Jinyoung. Ia melirik selimut yang sedikit terbuka di punggung Jinyoung, menyingkap kulit putih telanjang perempuan itu. Sigap, ia tutup bagian itu dan menepuk-nepuknya sayang. "Bangun tadi aku langsung mandi. Habis lengket." Nada malu-malu menutup akhir kalimat itu.

Sedetik setelah mendengar itu, Jinyoung membuka matanya sempurna. Sontak ia angkat tangannya dari paha Mark dan bergerak menjauh. Baru ia ingat bahwa ia telanjang di balik selimut itu. Dadanya sedikit menempel di paha Mark tadi. "Mark bodoh," katanya lalu menyembunyikan wajahnya dengan selimut.

"Gwenchana?" Meski lucu dengan sikap malu-malu Jinyoung, tak urung ia cemas juga. Sebab, mereka sudah sama-sama dewasa dan paham betul dengan apa yang telah mereka lakukan. Termasuk konsekuensi ke depannya. Dan, tanggung jawab yang harus mereka emban.

Jinyoung tidak menjawab. Ia hanya mengangguk kecil dan menggumam pendek. Pertanyaan Mark dan kesadarannya yang makin jelas membuatnya merasakan tepatnya bagian tubuhnya yang terasa tidak nyaman.

"Tapi sedikit perih," lirihnya kemudian. Pelan dan hati-hati. Ia sedikit malu mengakuinya.

Mark tidak berkomentar. Ia paham kondisi Jinyoung. Beralih menutup buku di tangannya, Mark ikut berbaring, menyamping merangkul pinggang Jinyoung. "Jinyoung-ah, pindah lagi saja, ya, ke Seoul."

Jinyoung tidak langsung menanggapi. Ia tidak punya jawaban. Tepatnya jawaban yang diinginkan Mark.

"Babe, I know you are not sleeping."

Selimut yang menutup wajah Jinyoung terbuka. Pandangan mereka bertemu. Manik Jinyoung bergerak tidak fokus. Ia ragu menyampaikan pendapatnya. "Masa internship-ku memang tinggal satu bulan lagi. Bahkan kurang," ungkapnya hati-hati. "Tapi, Mark, selain perkara jauh denganmu, aku sangat suka tinggal di sini. Damai ... dan tidak begitu ramai."

Raut wajah Mark berubah. Ia menantang mata ragu Jinyoung tanpa berniat mengeluarkan sepatah pun kata.

Jinyoung menunduk. Ia tahu, jawaban itu bukanlah hal yang ingin didengar Mark. Tapi Jinyoung tetaplah Jinyoung, yang akan berusaha mempertahankan keinginannya semampu yang ia bisa. "Lagi pula, apa yang mungkin akan berubah?" Nada suaranya memelan. "Aku tahu betul pekerjaanmu. Idol adalah pekerjaan paling sibuk sedunia. Seharian kesana kemari, berpindah ke sana sini, mengerjakan ini dan itu. Bahkan untuk tidur saja curi-curi waktu. Aku pun mungkin begitu. Meski tidak sesibuk kau, aku mungkin akan seharian di rumah sakit."

Ragu-ragu, Jinyoung juga menambahkan, "Sama saja, jarak yang berdekatan jadi tidak menjamin kita sering bertemu."

Tentu saja itu langkah yang salah. Jinyoung berhasil merusak mood baik Mark. Sepagi ini. Secepat ini.

Resfeber [MarkJin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang