17. Life Line

343 47 14
                                    

Bukan. Jinyoung bukannya ingin bunuh diri dengan melompat dari jembatan di atas sungai Han. Ia masih punya cukup ketakutan dan akal sehat untuk menahan dirinya, meski ia merasa tak ada hal benar yang mampu kepalanya pikirkan.

Katakan saja, ia mencoba mencari bantuan dari pesan-pesan yang tertulis pada pegangan jembatan itu. Dan ... dari boks telepon kecil berwarna putih di depannya. Di atasnya tertulis: Apa kau sedang kesusahan? Kami akan mendengar ceritamu.

Yang Jinyoung tahu, mereka akan menerima semua cerita orang yang putus asa tanpa perlu saling mengenal. Atau bahkan menyebutkan nama.

Langit pagi hari itu masih gelap. Lampu-lampu jalanan menguarkan cahaya kemerahan. Hanya suara deru kendaraan yang berlalu lalang terdengar. Tidak ada orang lain di jalur pejalan kaki itu selain Jinyoung. Mengeluarkan tangan dari saku jaket, Jinyoung menekan salah satu tombol di sana dan mengangkat gagang telepon itu ke telinga.

"Ini saluran kehidupan. Ada yang bisa saya bantu?" Tidak butuh waktu lama untuk mendapat sapaan lembut seorang perempuan dari seberang jaringan.

Mata redup Jinyoung memandang jauh ke depan. Pada riak air sungai Han. Di bawah kakinya mungkin adalah bagian terdalam sungai itu. "Ne," lirih Jinyoung, "Apa aku akan langsung mati jika melompat dari sini?" Dalam hati, ia mengolok-olok keteguhan hatinya.

Dengan suara lembut yang tenang, suara itu menjawab yakin, "Anda tidak benar-benar ingin melakukannya."

Pegangan Jinyoung pada gagang telepon itu mengerat. "Benar. Jika benar ingin mati, aku bisa dengan mudah menyuntikkan potassium ke nadiku."

Perempuan yang menerima telepon itu menggatur napasnya sebelum kembali berbicara. "Benar. Saya percaya, Anda bisa menghadapinya."

Jinyoung tersenyum getir. "Tapi ini berat. Terlalu berat untuk kutanggung sendiri. Aku takut."

"Anda bisa bercerita apa saja. Saya ada di sini." Perempuan penerima telepon itu membuka aplikasi catatan di monitor komputer di depannya.

"Aku hamil." Jinyoung sendiri terkejut dengan kalimatnya sendiri. Orang bilang, hal tak terduga sekalipun bisa kau lakukan pada detik-detik genting hidupmu. "Dan, aku tidak bisa mengatakan padanya. Juga pada orang-orang yang lain."

Perempuan penerima telepon itu mengerti konteks yang sedang dihadapinya. "Kenapa? Hubungan one night stand?" tanyanya sembari mengetikkan sesuatu.

"Tidak. Bukan," jawab Jinyoung seraya menggeleng. "Kami saling mencintai. Sudah  lebih dari tujuh tahun, tapi tidak banyak yang tahu. Dia idol. Karirnya akan hancur jika orang-orang tahu." Kepalanya menunduk makin dalam. Bercerita begini membuat  Jinyoung merasa seperti menelanjangi dirinya sendiri. Namun, fakta bahwa ini adalah percakapan antara orang asing membuatnya tidak begitu peduli pada pandangan yang akan ia terima.

Perempuan penerima telepon itu berjengit mendengar kalimat itu. "Anda masih sering menghubunginya?" Ia segera menepis kecurigaan bahwa telepon ini hanya main-main.

"Kami putus beberapa hari lalu." Jinyoung menahan dirinya dengan berpegangan pada besi jembatan, "Aku sangat ingin menemuinya. Aku tahu ini egois, tapi aku tidak kuat sendiri. Aku tidak bisa. Aku membutuhkannya lebih dari apa pun... Tolong!"

Hening sesaat. Mendengar racauan kalut Jinyoung, perempuan penerima telepon itu merasa perlu memberi jeda.

"Apa sebaiknya aku gugurkan saja?"

Perempuan penerima telepon itu sudah menduga pertanyaan ini. Maka, ia memandang ke depan dengan tatapan lembut seakan sedang berbicara langsung dengan Jinyoung. Jarinya berhenti mengetik. "Ibu saya pernah berkata bahwa hal paling menakjubkan dari perempuan adalah melahirkan seorang anak dan berbagi nyawa dengannya. Sebagai anak, rasa syukur terbesar saya adalah telah terlahir. Cinta Ibu adalah cinta tanpa syarat ."

Resfeber [MarkJin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang