5. Level Up!

333 46 4
                                    

Suara kode pintu terbuka menggema di apartemen berlantai dua itu. Jackson masuk dengan muka kusut dan langkah pincang. Dua bungkusan di tangannya ia letakkan di atas meja dapur. Mark dan Youngjae yang sedang mencuci piring menoleh padanya. Alis Mark terangkat melihat membernya yang paling bersemangat itu terlihat lesu meletakkan kepalanya di meja dapur. Ia mengisyaratkan pada Youngjae untuk mendekatinya, tapi Youngjae dengan keras menggeleng. Jackson yang sedang dalam mood buruk adalah hal di luar kemampuannya. Maka, Mark berdecak dan segera mencuci tangannya.

"Otte?" Mark menarik kursi di samping Jackson.

Jackson tidak mengubah posisinya. Ia menarik napas panjang yang jelas terdengar berat, "Aku disarankan untuk beristirahat dari kegiatan grup. Dan menjalani perawatan intensif."

Pandangan Mark menyiratkan keprihatinan, namun ia juga lega mendengarnya. Setidaknya perusahaan tidak memaksakan mereka.

"Syuting besok adalah jadwalku yang terakhir," lanjut Jackson makin menyembunyikan wajahnya. Mark tahu, laki-laki yang sudah dikenalnya lebih dari setengah umurnya itu menangis.

Mark mendekap bahu Jackson. "Hey! Ini tidak seperti kau keluar dari grup. Level Up! tetap keluarga tempatmu kembali selama dan sejauh apapun kau pergi. Ingat? Kita bukan rekan kerja, kita keluarga."

Youngjae mendekat dan mengambil bungkusan di atas meja. "Yaa! Uro? Cengeng."

Jackson terkekeh tanpa mengubah posisinya.

Dari arah ruang keluarga, tempat mereka berkumpul masih terdengar teriakan Bambam dan Yugyeom yang tengah bermain game. Youngjae bergabung dengan mereka bersama bungkusan tadi. Camilan tengah malam mereka, ayam goreng.

"Oppadeul, ayo ke sini sebelum Yugyeom menghabiskan semuanya." Bambam berteriak sebelum disumpal dengan paha ayam oleh Yugyeom.

Mark mendekap dan menepuk-nepuk bahu Jackson sambil merematnya seolah memberikan kekuatan. Ia lalu menoleh pada anak-anak kelaparan yang sudah duduk mengitari meja di depan sofa. "Kami datang!"

_________

Jinyoung menyeret kopernya memasuki rumah minimalis dengan halaman yang penuh pepohonan rimbun itu. Pandangannya nanar pada pintu depan yang setengah terbuka. Masih jelas di ingatannya ketika akan berangkat ke Mokpo dulu, ia keluar dengan emosi meluap dan berkata di mana pun lebih baik daripada di sini pada ayahnya. Ayahnya yang tidak pernah menyetujui semua keputusannya.

Tangannya mengepal. Diam-diam, tanpa benar-benar memikirkannya dengan sadar, ia mengeluarkan ponsel. Bergantian antara pintu rumah dan tangannya, Jinyoung akhirnya membuka lock screen ponselnya dan menyentuh speed dial nomor satu. Menunggu beberapa nada sambung, panggilannya terbalas.

"Jie?" Entah kenapa, mendengar suara itu membuatnya senang sekaligus menambah beban di benaknya. Mark menepati janjinya. Beberapa hari yang lalu, Mark mengabarinya untuk menghubungi nomor ini. Kapan pun, ia pasti akan menjawabnya.

"Hai!" Suara Jinyoung keluar berupa bisikan.

Di seberang jaringan, Mark tahu ada yang salah dari suara itu. "Ada apa?"

Jinyoung tersenyum miris. Mark mengkhawatirkannya. Memang seharusnya, karena ini semua kesalahan Mark. Laki-laki itu telah mengacaukan rencananya.

"Aku hubungi lagi nanti," Jinyoung menutup sambungan itu tanpa merasa perlu mendapat persetujuan. Tiba-tiba ia kesal.

Kembali Jinyoung mendesah. Semua kebebasan yang pernah ia rasakan akan berakhir mulai hari ini. Bahkan di pikirannya, ia sudah membayangkan semua kerumitan yang akan segera dihadapinya. Ia menyesali keputusan ini.

__________

Mark mengerutkan keningnya heran. Jinyoung kembali bertingkah aneh. Ia menimbang-nimbang akan menghubungi kembali, tapi ia urungkan. Nanti saja, batinnya.

Dengan itu, Mark kembali bergabung menghabiskan camilan malam mereka.

"Ada sesuatu yang mengganggu pikiranku beberapa hari ini," celetuk Jackson tiba-tiba. "Aku pernah lihat Mark hyung memakai kalung yang mirip dengan ini." Jackson mengeluarkan bandul kalung di lehernya.

Mark sedikit tersentak. Seketika perasaan tidak enak mengganggunya.

"Maksudmu?" Bambam terlihat tidak begitu tertarik.

"Ah! Yang itu," Yugyeom mengangkat tangannya, "Aku juga pernah lihat. Kanji China. Nama keluarga Mark hyung. Tuan," lanjutnya lancar.

Youngjae mengangguk-angguk mengerti. "Lalu?" tatapannya beralih ke Jackson, menuntut penjelasan lebih lanjut.

Raut pemuda itu berubah serius. "Kemarin, aku melihat seseorang mengenakan kalung yang sama. Perempuan. Dia mungkin saja fans, tapi aku ingat Mark hyung pernah bilang kalau kalung itu tidak pernah ia tunjukkan ke publik. Jadi bagaimana dia tahu? Selain itu, kalung itu terlihat persis sama. Serius," ujar Jackson meyakinkan.

Jie?, kepala Mark kontan menyebut nama itu, mengabaikan tatapan bertanya semua member padanya.

"Kalung itu tertinggal di rumah. Kalian terlalu banyak berpikiran aneh." Mark segera menguasai dirinya. Jadi Jinyoung ada di Seoul?

"Oppa, kau tidak sedang berkencan dengan seseorang kan?" Bambam langsung dihadiahi jitakan oleh Yugyeom.

"Yang benar saja kau!"

"Aku hanya bertanya, Tiang Listrik," balas Bambam sengit.

Dalam suasana santai seperti ini, topik pembicaraan mudah sekali berganti. Lelucon dan perdebatan ringan dengan segera menenggelamkan prasangka-prasangka. Karena itu, tidak ada yang benar-benar menyadari gerakan mata Mark yang terlihat berbinar senang namun khawatir takut di saat bersamaan.

­­­­­________

Dari balik lensa kamera, syuting terlihat berjalan lancar. Seperti biasa, mereka berusaha membuat suasana menyenangkan dan akrab. Namun, Mark tahu mereka sedang tidak baik-baik saja. Meski berkali-kali ia tekankan pada dirinya sendiri untuk professional, tak urung ia mencuri pandang pada Jackson untuk memastikan keadaan laki-laki itu. Beberapa jam sebelum mulai, kakinya kembali terasa nyeri bahkan menjalar sampai paha atas dan pinggulnya. Youngjae sesekali menepuk punggung tangan Mark, mengingatkannya untuk mengontrol ekspresi wajahnya.

Sekitar tengah malam, syuting selesai. Mark, Jackson, Youngjae, Bambam, dan Yugyeom naik ke mobil van yang akan membawa mereka pulang. Semua orang terlihat mengantuk dan lelah, tapi Mark punya firasat buruk. Ia menahan tangan Youngjae sebelum gadis itu masuk mendahuluinya. Youngjae yang melihat wajah khawatir leadernya itu mengernyitkan alis.

"Wae geurae, Oppa?"

Mark terlihat berpikir sebentar, melongok ke dalam mobil kemudian menggeleng ringan, "Kau baik-baik saja?" Sesungguhnya ia tidak benar-benar menanyakan itu, hanya saja ia terlalu terganggu dengan firasatnya ini. Seperti akan terjadi hal buruk pada mereka semua.

Youngjae mengangguk, meski tidak paham. "Gwenchana."

Melepas tangan Youngjae, Mark ikut naik dan sekali lagi memeriksa sabuk pengaman Youngjae membuat Jackson yang duduk di samping Youngjae memandang tidak biasa. Terlebih ketika Mark juga memeriksa sabuk pengamannya berserta member yang lain. Masalahnya, Mark bukan tipe leader yang memerhatikan member sampai sedetil itu.

Namun Mark tak acuh, sampai benturan keras akhirnya membuktikan firasat buruknya. Entah apa yang terjadi, mobil yang mereka tumpangi berputar-putar dengan suara yang mengerikan. Suara teriakan dari suara yang ia kenal teredam. Semuanya berjalan sangat cepat. Mark tidak bisa merasakan tubuhnya atau mendengar suara-suara. Ia mati rasa. Napasnya berat. Pandangannya samar. Lalu gelap. Berdenging.

Resfeber [MarkJin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang