Part VIII

67 20 26
                                    


Sebuah ruangan tertutup, cukup gelap, hanya ada meja dan kursi baja. Cermin besar di tengah. Kemudian dikelilingi tembok putih, selayaknya ruang interogasi di kantor polisi, ruang interogasi para kriminal.

Kian, yang sebelumnya dicegat beberapa orang tak dikenal dengan mobil, ada di ruangan itu dengan wajah penuh kebingungan. Ini benar-benar aneh, tempat macam apa ini, pula memikirkan dia dalam bahaya, nasib apa yang akan menantinya.

Sejurus kemudian, pintu ruangan itu terbuka, terdengar langkah kaki seseorang dari luar mendekat untuk masuk. Seorang pria paruh baya masuk, berbadan tegap, gagah. Cukup tinggi, berkumis dan berjanggut sedikit. Pria itu memakai setelan yang keliahatan mewah. Kian menatap pria itu lalu menelan ludahnya. Pria itu berdehem ingin mulai bicara.

"Apa kabar, Kian?" Suara yang berat, berwibawa keluar dari mulutnya.

Kian masih termangu tak percaya menatap pria di depannya, dia seakan takut, dia mengenali pria itu.

"Kok diam saja, ha?" Lanjut pria itu.
"Kenapa enggak menyapa ayahmu sendiri, ha?"

Pria itu tenyata adalah ayah Kian.

Pria yang menyuruh orang-orang alias bawahannya untuk membawa paksa Kian ke semacam ruang interogasi itu. Kian tak bisa berkata-kata, pastinya dia syok.

"Hmph, enggak bisa ngomong dia, kamu kaget pasti, kan? Bisa ketemu ayahmu di tempat kayak gini. Kalau kamu tanya ini di mana, ini masih di rumah keluarga kita, Kian. Ya, kita punya ruangan semacam ini, hebat, kan?"

Kian masih terdiam. "Ayo jawab apa kabar kamu? Sudah berapa... hampir tujuh bulan kita enggak ketemu lho. Gimana, apa berhasil daya juang hidupmu?"

Muka ayahnya mendekati Kian. Masih sama bagi Kian, mata yang tajam, wajah sangar yang masih sama, dengan beberapa kerutan karena umur.

Kian menunduk, dia tak mau jawab.

"Saya mau mengasingkan diri, hidup mandiri, jauh dari pengaruh ayah! Tekad saya!" Ayahnya menirukan ucapan Kian.
"Itu yang kamu ucapkan waktu itu. Terus? Gimana? Ayo mulai jelaskan, Kian!"

Seru ayahnya, suaranya jadi menggema. Dia mulai duduk di kursi di depan Kian, menanti jawaban, kata-kata pertama Kian di ruangan itu.

Kian masih tertunduk.

"Ayolah, jawab aja, hmm? Perkembangan kamu so far. Hei, Kian." Katanya pelan, suaranya jadi semakin berat.

"Ayo lihat ayah, ayahmu, hei."

Ayahnya jadi menyiul-nyiul sambil menjetikkan jari.

"Ha, ha unbelievable! Dia enggak mau lihat ayahnya! Ck ck!" Ayah Kian melihati Kian yang menunduk terus-terusan itu.

"Kian Edgar Dartayuda. Ayo mulailah berkata-kata. Ayahmu ini kangen, okay? Tuh ayah jujur! Ayo sang calon pewaris keluarga Dartayuda, Ayah akan terus nungguin kamu sampai berhari-hari bahkan demi nunggu jawaban kamu!" Ayahnya menggebrak pelan meja tapi cukup membuat mejanya bergetar.

"Ayo aja mau berapa hari di sini, ha? Ayah enggak akan keluar dari sini, kamu juga!"

"Tapi, tuan gimana dengan perusahaan—" Salah satu bawahannya yang ada di situ bicara tapi terpotong.

"Kenapa memangnya? Ini lebih pentinglah! Anak saya ini, anak laki-laki kedua saya, calon pewris sah! Kamu diem aja tolong!"

"I-iya, ma-maaf tuan." Bawahannya membungkukkan badan.

"Oke Kian kalau kamu enggak mau ngomong juga, no problem."

Ayahnya mengisyaratkan bawahannya bergerak, mulai menggeledah badan Kian.

Gadis Yang SempurnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang