Hembusan angin perlahan menusuk tubuhku bersama suara derasan air hujan yang bergema di telinga, memaksaku kembali mengingat coretan kuas lama yang masih terasa indah.
Duduk di sebuah gazebo kayu menunggu redanya hujan, kuambil buku sketsa A5 yang ada di dalam tas kecil dan membukanya. Aku telah mengisi hingga lembar terakhir dengan coretan pensil membentuk sketsa tertentu—bukan wajahnya. Setiap membuka kembali buku sketsa ini terlintas dalam benak mengapa aku tidak pernah menggambar wajahnya.
Menyukai keindahan, itu adalah hal yang lumrah. Siapa yang tidak menyukainya? Kurasa hanya mereka yang tidak tahu-menahu akan ciptaan Tuhan. Aku tidak ingin menggambarnya karena kuyakin hanya Tuhan yang dapat memperlihatkan keindahan sejati pada dirinya. Namun kutahu bagiku ini cukup berlebihan; aku terlalu mencintainya.
Sketsa pada setiap halaman buku ini merupakan momen berhargaku ketika bersamanya, Cindy Claudia. Seorang gadis penuh teka-teki yang sangat kucintai—sekaligus kubenci.
Diawali pada halaman pertama setelah sampul tebal yang transparan.
Dua tahun lalu pada tanggal dan bulan yang sama seperti hari ini, di masa SMA, di musim hujan yang sangat kusukai, aku melihatnya. Menikmati kesendirian dengan bersandar pada dinding di belakang sekolah yang dingin sambil menatap langit menangis. Mengenakan jaket merah yang terlihat cukup tebal, seakan mampu membuatnya bertahan dari apapun saat itu juga.
Lugu, polos, anggun, dan menawan mungkin itulah yang pertama kali orang lihat ketika baru bertemu dengannya—termasuk diriku. Tidak begitu populer, namun dia berbeda dari yang lain. Siapapun tidak dapat mengalihkan pandangannya jika dia lewat. Aku tidak menyangka dapat menjumpainya di tempat seperti ini.
Semua bayangan itu buyar ketika aku membuka jendela sekolah yang besar—sehingga menimbulkan suara cukup keras—untuk melihatnya lebih dekat.
“Apa liat-liat?” kata gadis yang berada sekitar lima meter di sisi kiri tempat ku berdiri dengan tatapan sinisnya.
Aku hanya terdiam sambil melipat kedua tangan di jendela dan berpura-pura tidak melihatnya di sana. Terkesan agak jahat mungkin, aku terbiasa membalas sesuatu sesuai dengan tindakan yang kuterima. Meskipun terkadang aku lebih memilih untuk tidak menghiraukannya.
Aku tidak bisa begitu saja berkata, “Oh hai! Cuacanya lagi nggak bersahabat ya,” atau mungkin, “Apa yang kau lakukan di sana? Apa nggak kedinginan?” misalnya.
Reaksi yang diberikannya tadi cukup mengagetkan, padahal ia bisa saja bersikap tak acuh seperti yang biasa seisi sekolah katakan. Ia dikenal dengan kebiasaannya yang jarang berbicara kepada sembarang orang, tidak jauh berbeda denganku. Namun pastinya tetap ada perbedaan di antara kami yang orang lain tidak dapat duga, yaitu alasan tersembunyi dibalik itu semua.
Aku baru melihatnya di tahun ke-2 SMA, ini hal lain yang membuatku bertanya-tanya. Tidak ada informasi murid pindahan sebelumnya, padahal dia satu angkatan denganku dan ruang kelasnya tidak jauh dari ruang kelasku. Meskipun tidak terlalu kenal, tapi aku dapat mengenali setiap orang di angkatanku—kurang lebih.
Terlalu nyaman menikmati suasana yang begitu menyejukkan membuatku tak menyadari kalau ternyata dia sudah tidak ada di tempatnya tadi berdiri. Apa aku menganggunya? Mungkin saja, pikirku. Aku pun memilih kembali menikmati waktu, menanti hingga bel istirahat selesai berbunyi menghentikan alunan suara hujan yang kudengar.
Sejak kejadian itu, hari demi hari aku sering berpapasan dengannya dan dia tak sekali pun berhenti menatapku dengan sinis.
Hal ini ternyata tidak hanya kurasakan seorang diri. Sempat kudengar di kelas bahwa ternyata ia bersikap seperti itu hanya kepada setiap murid laki-laki. Di kalangan perempuan, meski tidak banyak berbicara dia tetap bersikap ramah dan selalu tersenyum sehingga tidak dijauhi, bahkan malah dikagumi oleh segelintir kaum hawa. Mereka menganggapnya sebagai sosok perempuan dingin yang dapat mematahkan keinginan setiap laki-laki jika ingin mendekati. Hanya dengan tatapan sinis tidak ada lagi yang mau repot-repot berurusan dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
When with You
Romance[Genre utama: Drama, Romance] [Sub-genre: Dark] [R15+] "Ketika." Sebuah kata sederhana yang mengikat berbagai memori. Indah maupun kelam. Penting atau pun tidak. Untuk kenangan, lebih-lebih keinginan akan suatu hal terjadi di masa depan. Waktu singk...