8 - Tatapanmu

5 2 0
                                    

Di sebuah gazebo tua aku dan Cindy berhenti untuk berteduh dari derasnya hujan. Mengistirahatkan sejenak kedua kaki setelah berpacu dengan air hujan yang turun. Aku menunggu Cindy membenarkan sesuatu pada mata kanannya yang kuduga adalah lensa kontak, bulat berwarna hitam seperti pupilnya. Padahal dia sudah menggunakan kacamata, tidak benar jika itu hanya sekadar aksesori, kan?

Cindy mengatakan kalau akan membawaku ke rumahnya, padahal belum lama kami mulai saling berbicara. Tanpa pikir panjang aku langsung menoleh ke arah gadis itu. Kulihat dia sedang duduk di pojok kanan gazebo dengan bersandar pada pagar yang berupa kisi-kisi, bersama jaket merahnya yang telah dilepas dan diletakkan di pangkuan, tangan kiri memegang kaca muka, juga lensa kontak di tangan satunya. Aku masih merasa penasaran dengan benda kecil di tangan kanannya itu. Hitam menyeluruh? Setahuku lensa kontak yang normal berwarna sebagian dan transparan.

Cindy mendekatkan cermin pada wajahnya, lalu memasang lensa kontak dengan tampak sangat serius. Aku hanya perlu berbalik secepat mungkin agar tidak menganggu, namun diriku masih ingin melihatnya. Mengamati setiap bagian dari dirinya, agar aku terbiasa. Belum sempat menoleh, dia keburu menyadari kalau aku memperhatikannya.

“Kubilang jangan melihat ke sini!” teriak Cindy yang kemudian memutar posisi duduk membelakangiku. Seharusnya sejak awal begitu, pikirku.

Aku masih belum memalingkan pandangan, karena ada hal lain yang malah kembali menarik perhatian mataku dari Cindy. Tak bisa kukatakan langsung kepadanya, karena menurutku ini hal sensitif untuk perempuan. Namun bagi laki-laki tentu ini menjadi momen menarik, terutama yang sedang mengalami masa pubertas. Aku hanya dapat mengambil satu kesimpulan, yaitu kalau ternyata ia sangat menyukai warna merah. Cukup sampai di situ.

“Sebaiknya kau pakai lagi jaketmu, karena angin semakin kencang,” kukatakan kepadanya setelah kembali mengarahkan pandangan pada jalanan yang masih saja terkena serangan hujan. Itu lebih baik dari diriku yang sedang diserang bisikan kegelapan.

“Bukan urusanmu!” tentang Cindy tanpa memberikan jeda terlebih dahulu.

Dua atau tiga kali, aku telah mendengar kata-kata itu darinya. Berapa banyak lagi dan sampai kapan harus kudengar?

“Itu juga urusanku ....,” sanggahku balik, berniat menguji satu kali lagi untuk memastikan suatu hal dengan ungkapan sederhana. Memikirkan bagaimana reaksi Cindy nantinya, aku berharap ini sesuai perkiraanku.

“... Karena aku tidak akan bisa melihatmu di sekolah kalau kau sakit, bukan?”

“....”

Aku seperti berbicara sendiri, suasana hening yang malah terjadi. Mungkin kah Cindy tidak mendengarnya? Aku pikir dia akan mengentakkan kaki ke lantai gazebo seperti sebelumnya, atau semacam memukul pintu berkali-kali ketika di toilet tadi siang. Aku mencoba memikirkannya lagi, untuk apa dia melakukan itu? Kesal, pasti begitu. Dia melakukannya pada saat aku berbicara dengan Vinca. Itu berarti ... Cindy cemburu? Sepertinya itu tidak mungkin—untuk saat ini saja, kuharap.

Sebuah bayang-bayang menutupi bayanganku. Ada aura mengancam yang sangat besar kurasakan darinya. Aku menoleh ke atas dan melihat Cindy sedang menatapku tajam bersama dengan tangan yang mengepal kuat. Oh, tetapi setidaknya dia sudah memakai jaket sesuai dengan saran yang kuberikan.

“Bisa kau hentikan itu?” ucap Cindy dengan nada yang cukup mengerikan sambil menepuk-nepuk kepalan tangan kanan, seakan tidak sabar untuk melepaskannya padaku.

“Hentikan apa?” tanyaku dengan wajah datar dan membalas tatapan mata Cindy.

Mulai goyah, sepertinya Cindy merasa kebingungan karena aku dapat selalu bertahan dari senjata andalannya itu. Meski pada saat pertama kali mata kami bertemu aku sempat mengalihkan pandangan. Wajar saja, aku tidak pernah melihat yang seperti itu sebelumnya di sekolah. Berbeda jika di luar lingkungan sekolah, aku dapat menjumpainya di mana-mana. Mulai dari yang bernasib malang karena mau tak mau berperan sebagai korban, sampai mereka yang termakan rayuan busuk kegelapan dan menjadi seorang pelaku. Dua ketetapan itu belum dapat kupastikan mana yang ada pada diri Cindy saat kulihat matanya. Pelaku atau korban, menyakiti atau disakiti, peran mana yang harus kau pikul?

When with YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang