Amarah dan nafsu yang membara, keberanian serta kekuatan yang memuncak, dan indahnya cinta yang bermekaran. Diselimuti ringannya jiwa yang selalu menginginkan ketenangan dan kebebasan. Merah dan putih, warna yang tak akan pernah hilang dari perhatianku.
Bayang-bayang kegelapan selalu menghantuiku. Dalam keadaan sadar atau pun tidak mereka selalu menarikku ke bagian terdalam. Di dunia yang kejam—namun indah—ini tidak ada lagi yang dapat disebut sebagai kebebasan sejati. Rantai hitam penuh dosa selalu mengekang tanpa ampun hingga tiba masanya hari pembalasan.
Kulihat telapak tanganku setiap terbangun dari mimpi, yang indah maupun tidak, seperti hari ini. Meyakinkan diriku bahwa hidup serta dunia ini juga akan memiliki akhir, meninggalkan jejak yang samar atau bahkan tidak sama sekali.
Mata dan telingaku tidak dapat berpaling dari setiap tangisan dan jeritan. Warna merah dan putih tertutupi noda hitam yang semakin menumpuk waktu demi waktu. Bak menonton film lawas hitam putih, itulah yang kulihat dalam keseharianku. Aku sudah terbiasa dengan semua hal ini—sejak kecil, kurasa.
Irama tetesan air hujan yang terdengar dari luar kamar indekos menyambut pagiku dengan indah dan menenangkan di awal November. Aku membuka pintu kaca dan menuju balkon untuk menikmati sejuknya pagi sejenak. Rumahku adalah surgaku, sepertinya itu istilah yang tepat untuk menggambarkan keadaan saat ini.
Dari luar tampak seperti bangunan tua, namun bagian dalamnya sangat terawat. Dikelilingi rerumputan dan pepohononan yang hijau, serta lingkungan yang tidak terlalu bising melengkapi alasan mengapa aku menyukai tempat ini. Sudah kuanggap seperti rumah sendiri karena tidak ada tempat lain yang bisa disebut rumahku.
Aku tinggal di lantai atas dengan pemilik di lantai dasar. Indekos ini sebenarnya memiliki tiga kamar di lantai atas yang dapat disewakan, namun beberapa tahun lalu pemilik lebih memilih menjadikan satu kamar di bagian ujung kiri sebagai gudang, menyisakan kamar tengah yang masih kosong.
Pemilik merupakan wanita lanjut usia yang tinggal sendirian. Sesekali cucu perempuannya—empat tahun lebih tua dariku—datang berkunjung. Aku mengenalnya semenjak dia pernah diminta oleh pemilik untuk mempersilahkanku menggunakan kamar tengah yang kosong sebagai galeriku. Aku bersyukur karena dapat memiliki galeri sendiri, meskipun bukanlah seorang pelukis profesional aku dapat menjual lukisanku demi memenuhi kebutuhan hidup selain dari kerja paruh waktu. Ditambah lagi pemilik yang begitu baik denganku, terkadang beliau meminta bantuanku dan mengajak makan bersama. Cukup dekat memang, mengingat beliau membutuhkan seseorang untuk berada di sampingnya dan diajak berbicara—meskipun aku lebih sering hanya menjadi pendengar.
Kulirik setiap kala berkunjung, sebuah lukisan buatanku berupa apel merah membusuk di sebagian sisinya yang ada di ruang utama. Diletakkan di dinding dengan lampu kecil yang menyoroti seolah membuatnya tampak begitu istimewa dibandingkan dengan hiasan lain di sekitarnya. Beliau tertarik saat pertama kali melihatnya di kamarku, dan aku pun memberikannya.
“Ini mengingatkan akan masa muda sekaligus masa tuaku saat ini hahaha,” itulah yang beliau katakan dengan nada santai dan sedikit tertawa di bagian akhir.
Setiap yang hidup akan mati dan membusuk. Kurasa diriku sudah mati sejak lama, membusukkan hati kecilku dan membuatnya hancur berkeping-keping. Meskipun begitu, setiap noda hitam yang melekat padaku seakan meleleh jika ada setitik saja cahaya sejati yang kulihat. Senyuman kecil namun begitu tulus, contoh kecilnya. Aku terbiasa dengan yang namanya kegelapan, tapi tidak dengan kehangatan yang memancarkan kilauannya.
Aku sadar, jatuh begitu dalam menuju kegelapan memanglah tidak baik. Tetapi yang kulakukan hanyalah bertahan, tanpa harus—dipaksa—menjadi kegelapan itu sendiri. Memanfaatkannya untuk menghilangkan kegelapan lain dan menerbitkan cahaya yang tersembunyi, begitulah prinsipku.
Semester ganjil di tahun ke-2 SMA akan segera berakhir. Tahun pun tak lama lagi berganti, melupakan serta mengulang kembali hari dan bulan dengan memori yang berbeda. Namun, di sini aku masih—dan selalu—sama. Menjalani rutinitas kelabu yang menurut sebagian orang membosankan, menghindari warna-warni dunia yang melalaikan. Berbicara jika ada yang memulai pembicaraan, atau aku yang akan memulai jika memang ada yang kubutuhkan saja.
Manusia dapat hidup karena saling memanfaatkan, tanpa harus memiliki hubungan tertentu seperti yang disebut dengan teman. Terlihat cukup indah jika itu memanglah sebuah pertemanan yang sesungguhnya. Namun aku tidak membutuhkan itu jika yang dilakukan kebanyakan orang saat ini hanyalah membuat ikatan pertemanan palsu dan menanam ranjau di belakang temannya sendiri.
Pada dasarnya manusia condong kepada kesenangan, hingga dapat membuatnya lupa diri. Ramainya industri hiburan di sana sini membuktikan bahwa orang-orang muak dengan kehidupan fana mereka. Namun apa yang mereka lakukan tanpa disadari hanyalah menambah gelapnya dunia. Orang-orang yang berada di atas semakin ke atas dan yang di bawah semakin ke bawah. Yang berdosa semakin merajalela dan yang tidak berdosa ikut terseret ke dalamnya tanpa mengetahui dimana letak cahaya kebenaran disembunyikan. Padahal keduanya sama-sama hanya akan menuju kegelapan yang membinasakan.
Pertahananku terhadap gelapnya dunia yang terus-menerus menyerang dari berbagai sisi tetap kujaga. Sayangnya aku hanyalah manusia biasa, yang suatu saat nanti bisa saja ikut terperosok—siapa tahu.
Duduk diam di kelas menatap ke luar jendela, langit yang tak lagi bersedih membuatku sedikit kecewa. Berdiskusi dengan diri sendiri tentang permasalahan dunia ini yang semakin tidak waras merupakan santapan lezat waktu senggangku.
Baik dan buruk, dua sisi berlawanan yang terpisahkan oleh keadaan. Hanya batasan kecil dan tipis, bukan dengan jarak yang tebalnya sepanjang tembok cina. Kebaikan di mata seseorang bisa saja merupakan keburukan di mata orang lain. Yang patut diwaspadai bukanlah orang jahat—karena sudah dipastikan ia benar-benar tidak baik. Kewaspadaan harusnya diberikan pada orang baik, karena dengan sebuah keadaan saja dapat membuatnya menjadi orang paling jahat.
Mengelilingi lingkungan sekolah layaknya penjaga keamanan saat jam istirahat juga merupakan rutinitasku. Berharap ada kejadian unik yang terjadi sehingga aku bisa mempelajarinya. Namun yang sering kulihat lagi-lagi hanyalah hal yang sama. Pembahasan mengenai gosip hangat yang sedang ramai, membangga-banggakan kelebihan pacar pada teman-temannya, kemesraan yang diumbar sepasang kekasih di bawah pohon, dan bahkan pem-bully-an yang ditutupi dengan maksud berupa sekadar candaan.
“Apa liat-liat?” Kalimat itu terasa kembali kudengar, mengingatkanku pada seseorang.
Saat memeriksa sekeliling kusadari aku berada di tempat pertemuan pertamaku dengan Cindy, terlihat berbeda jika kulihat langsung dari luar gedung. Tempat ini ternyata cukup terisolasi, meskipun kutahu ini memang merupakan bagian belakang sekolah.
Aku ke sini dari sebelah kiri gedung, jauh di depanku ada dinding bata tak terurus yang menghalangi siapapun masuk dari sana. Dia berdiri di tempat yang sama seperti waktu itu. Berada cukup jauh di depanku dengan tatapan sinisnya, meskipun kali ini kurasa lebih sinis. Apa ada yang salah? Bukan, sepertinya dia terlihat sedang marah.
“Ah..,” aku baru saja mengingatnya. Sudah satu bulan semenjak aku menyatakan perasaan padanya. Setelah menembaknya pada waktu itu kulihat dia tidak memberikan respon dan langsung kembali berjalan masuk ke gedung guru.
“Kenapa..,” suaranya terdengar samar-samar, aku menoleh penasaran setelah ikut menyandarkan diri pada dinding di antara dua jendela dengan maksud tetap menjaga jarak darinya.
“Kenapa kau tidak menanyakan apa jawabanku?” Dia melanjutkannya.
“Maaf?” Aku ingin memastikan apa yang dikatakannya.
“Kubilang... Kenapa kau tidak menanyakan apa jawabanku atas pengakuanmu waktu itu!?” Dia terlihat malu-malu saat mengatakannya. Haha mana mungkin, pikirku.
Tapi itulah yang terjadi, meyakini bahwa aku telah membuka sedikit celah dalam hatinya, melupakan adanya rasa curiga yang mengganggu.
Kegelapan bukanlah dirinya jika tidak ada cahaya. Dibalik gelapnya langit malam ada bintang yang tersembunyi, antara bersembunyi untuk menunggu waktu keluar yang tepat atau bersembunyi menanti ada yang melihat dan mengeluarkannya.
Cahayaku atau milikmu yang akan bersinar lebih dulu? Atau kita berdua akan sama-sama tenggelam dalam langit yang hitam?
Yang manapun itu, aku hanya ingin mencoba untuk bisa berada di sisimu.
KAMU SEDANG MEMBACA
When with You
Romance[Genre utama: Drama, Romance] [Sub-genre: Dark] [R15+] "Ketika." Sebuah kata sederhana yang mengikat berbagai memori. Indah maupun kelam. Penting atau pun tidak. Untuk kenangan, lebih-lebih keinginan akan suatu hal terjadi di masa depan. Waktu singk...