Putih, warna yang menggambarkan kemurnian serta kesederhanaan. Seperti awan di langit, seterang cahaya mentari, juga seindah sinar rembulan. Warna ini kulihat lebih dominan pada bagian luar rumah tempat Cindy tinggal. Terdiri dari dua lantai dengan luas tanah tidak terlalu besar. Fasadnya yang minimalis memberikan kesan sederhana sekaligus modern.
Aku berdiri di depan pagar bermotif kayu yang diberi warna hitam, dipasang pada bagian kiri dengan cara membukanya didorong. Setelahnya ada jalan setapak yang ditemani beberapa tanaman hias. Menghibur mata tamu saat hendak menuju pintu masuk di sebelah kanan rumah, mungkin itu tujuannya.
“Tunggu dulu di sini,” Cindy mengatakannya tanpa melihatku, kemudian menuju ke dalam.
Aku ingin menghilangkan rasa gugup, kucoba mengamati lingkungan sekitar tempat yang selama ini Cindy huni. Tak banyak pepohonan tumbuh, namun ada sebuah taman yang sempat kami lewati tadi. Jumlah pohonnya dapat dihitung menggunakan jari, tetapi tidak dengan bunga-bunga mekar yang disusun rapi. Rata-rata merupakan rumah dua tingkat dan memiliki desain kekinian, sepertinya di sini termasuk kawasan elite.
Suara langkah kaki mendekat dari belakang bisa telingaku dengar. Aku berbalik perlahan berniat menyapa, mencoba agar terlihat sopan oleh warga sekitar.
Seorang wanita anggun, rupanya. Rambut hitam tidak terlalu panjang diikat bergaya ponytail. Memakai kacamata, serta make up yang rasanya cukup tebal. Pakaian formal layaknya pengajar, seorang guru? Atau barangkali dosen?
Niat untuk memberi sapa, aku mengurungkannya. Selain karena kedatangan wanita ini, perhatian diriku teralihkan oleh sikapnya yang waswas. Apa aku terlihat mencurigakan? Bisa jadi dia sudah lama mengawasi saat aku melirik sana sini.
“Kamu ... Vasnka, kan?” tanya wanita tersebut sambil menempelkan tangan di dagu.
Bagaimana dia tahu namaku? Apa kami pernah bertemu sebelumnya?
Aku dan wanita ini sama-sama merasa heran. Dia mengamatiku dengan jeli, tidak mengedipkan mata, tak ingin ada yang terlewat dari pengecekan.
Sedangkan diriku menyelam ke dalam memori, mengingat kembali kapan aku bertemu dengannya. Membuka satu per satu pintu kenangan terkunci, tetapi tak dapat aku temukan apapun yang kucari. Dia hanya seorang wanita asing di mataku.
Pintu rumah Cindy terbuka, gadis itu keluar dengan masih mengenakan seragam sekolah tanpa jaket merahnya. Ia mengambil sandal dan berjalan mendatangiku.
“Eh, dibatalkan saja. Tadinya Ibuku mau bertemu denganmu, tapi dia sedang tidak di rumah.”
Aku berdiam diri menatap Cindy yang telah melewati pembatas rumahnya. Mendengar apa yang dikatakan gadis ini membuatku sedikit lega. Aku tidak harus secepat ini bertemu dengan ayah ibunya.
Cindy berhenti ketika melihat seorang wanita yang juga berdiri di depan rumahnya, “Eh ... Ibu? Kok baru sampai?”
“Ibu kan sudah bilang kalau ada sedikit urusan, jadi agak telat pulangnya.”
Wanita ini ... Ibunya Cindy? Aku memejamkan mata. Baru saja perasaan lega menghampiriku, namun sudah kembali dibuat berantakan.
“... Dia?” tanya Ibunya Cindy melirik ke arahku.
“Oh iya ... dia ini laki-laki yang pernah kuceritakan, Bu,” jawab Cindy santai lalu mendekati Ibunya, “Dia yang menggangguku ketika di sekolah kemarin.”
“....”
Aku tidak dapat berkata apa-apa. Ingin menghentikan Cindy, sudah terlambat. Mau membela diri, akan tetapi yang dikatakannya itu benar. Tak ada pilihan selain menerima dan menghadapinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
When with You
Romance[Genre utama: Drama, Romance] [Sub-genre: Dark] [R15+] "Ketika." Sebuah kata sederhana yang mengikat berbagai memori. Indah maupun kelam. Penting atau pun tidak. Untuk kenangan, lebih-lebih keinginan akan suatu hal terjadi di masa depan. Waktu singk...