***
Panas terik sinar matahari melewati dedaunan dan ranting yang menjulang tinggi. Dengan jaket tebalnya Cindy menyendiri di tempat favoritnya seperti biasa. Namun kali ini ada yang berbeda, terdapat harapan kecil bahwa ia yakin laki-laki yang menyatakan perasaan padanya kemarin kembali menemuinya.
Bukan untuk memberinya jawaban, melainkan ingin melihat terlebih dahulu seberapa besar ketertarikan laki-laki itu padanya.
Saat hujan maupun cerah, hari-hari telah berlalu tanpa ada yang terjadi, sementara Cindy masih menyimpan harapan. Sebuah harapan yang tak kunjung digapai. Ia belum pernah merasakan ini, dihantui rasa kekesalan karena menganggap laki-laki itu hanyalah pembual dengan mengatasnamakan cinta.
"Tiba-tiba nembak tanpa ada perkenalan dulu, apa-apaan coba."
Sedang asyik bergumam kesal, Cindy berhenti berjalan menyusuri koridor kelasnya ketika melihat Vasnka datang dari arah yang berlawanan, berjalan dengan santai sambil menatap ke luar jendela. Ini kesempatannya, Cindy meyakinkan diri dan bersiap-siap untuk memberikan tatapan tersinis yang pernah dia perlihatkan. Bahkan ia sampai mencoba menyipit-nyipitkan mata agar kelopak matanya terasa lebih lentur.
Cindy merasa tidak tenang hanya berdiam diri menghitung langkah kaki Vasnka yang semakin dekat. Dengan kedua tangan mengepal, ia berjalan menuju ke arah laki-laki itu dan menatapnya sinis.
Saat itu juga ia malah dibuat terbelalak, mendapati Vasnka hanya terus berjalan dan tidak menghiraukan tanpa melirik sedikit pun kepadanya. Ini membuat Cindy bergeming kesal, ia tidak pernah diabaikan seperti itu oleh siapapun, dalam keadaan apapun.
Tak dapat membendung amarah, Cindy berbalik dan meneriakinya dengan sekuat tenaga, "HOIII!!!"
Orang-orang di sekeliling yang sedang menikmati waktu istirahat pun dibuat terkejut lalu memperhatikan Cindy. Sangat disayangkan, ternyata laki-laki itu sudah tidak ada lagi di jangkauan matanya. Sudah dibuat kesal lagi malu, ini semakin menyebalkan. Dengan maksud menutupi rasa malu, Cindy mengeluarkan tatapan andalan dan mengembalikan keadaan seperti sebelumnya, membuat siswa siswi lainnya berpura-pura tidak melihat kejadian memalukan itu. Satu lagi hari yang benar-benar merepotkan, pikir Cindy.
Setibanya di rumah, Cindy merebahkan diri ke sofa berwarna coklat yang lunak dan lembut di ruang tamu, merasakan kenikmatannya dan mengabaikan tas yang dilemparkan ke sofa lain di depannya.
"Huuuuhhhh...," helaan napas panjang Cindy terdengar Ibunya yang berada di dapur hingga membuatnya penasaran.
"Kamu kenapa, Sisi?"
"Nggak kok, Bu. ...Cuma masalah cinta."
"Eh?? Cinta?" Ibunya semakin penasaran dan bergegas mendekati Cindy.
"Duh, kebiasaan deh. Coba dirapihin dulu tasnya, terus ganti bajunya juga."
"Nanti duluu, Bu. Hari ini aku capek banget," keluh Cindy sambil menaikturunkan kakinya.
Ibunya duduk di sofa sambil merapikan tas Cindy, dia begitu penasaran karena baru kali ini putri semata wayangnya membahas tentang cinta. "Jadi, siapa cowok yang kamu suka itu?"
"Bukan aku, Bu. Tapi ada cowok yang nembak aku kemarin-kemarin."
"Loh? Kalau emang begitu bukannya kamu harusnya senang? Seperti apa dia?" Pertanyaan terus dilontarkan Ibunya demi menggali informasi sedalam-dalamnya.
"Gimana aku mau senang kalau tiba-tiba dia hilang begitu saja. Dia cuma nembak, setelah itu nggak peduli apa jawabanku," jawab Cindy yang kemudian beranjak ke sisi Ibunya.
"Apa benar begitu? Bukan karena kamu yang justru mengabaikannya?"
"Kok Ibu jadi bela dia??" Cindy merasa tidak diuntungkan, ia menyandarkan kepala di bahu Ibunya mencoba bertingkah manja untuk membuatnya berubah pikiran.
Cindy tahu kalau tanpa disadari telah membuat orang-orang di sekitar menjaga jarak, membuatnya tidak mudah untuk didekati.
"Aku hanya mencoba agar tidak mudah terperdaya, mana yang benar-benar baik atau tidak..," Cindy melirihkan suara, membuat Ibunya tersenyum, memejamkan mata, dan membelai kepala dari satu-satunya anggota keluarga yang dimilikinya tersebut.
"Waspada itu memang perlu, tapi kamu nggak bisa selamanya begitu kan? Apa kamu mau hidup menjomlo?" Canda Ibunya sambil mencolek-colek pipi Cindy yang digembungkannya seperti bakpao ketika mendengar kata sensitif itu.
"Ibu, sepertinya aku mencium bau gosong."
"Aduhh iya!" Ibunya dengan gesit menuju ke dapur. Momen ini digunakan Cindy untuk segera pergi agar Ibunya tidak lebih banyak menginterogasinya lagi, "Aku ke kamar ya, Bu."
"Ehh? Ceritanya kan belum selesai, Sisi. Seenggaknya kasih tau Ibu siapa namanya dong." Upaya terakhir dilakukan Ibunya ketika sudah melihat anaknya menaiki tangga.
"Aku nggak tau, Bu!"
***
Terdiam mematung, menatap satu sama lain, menanti siapa yang akan mulai melanjutkan pembicaraan sementara kulihat rintik hujan perlahan turun satu per satu di antara kami.
Tidak adanya penghalang hujan di atas kepala membuatku berjalan mendekati Cindy agar terhindar dari serangan hujan yang bertubi-tubi-walaupun sebenarnya itu cukup kusuka. Perasaan ketika air hujan yang jatuh membasahi tubuh sedikit demi sedikit seakan membuat setiap penderitaanku hilang bersamanya.
Cindy bergeser sedikit dan terlihat waspada ketika aku berdiri di sampingnya yang hanya berjarak tidak lebih dari satu depa. Aku merasa mencium sesuatu yang harum, kurasa itu berasal dari parfumnya, atau mungkin samponya? Hanya berdua dengan seorang gadis di belakang gedung sekolah dengan hawa yang dingin, ini cukup berbahaya. Apalagi untuk laki-laki sepertiku yang jarang-atau bahkan tidak pernah-berada di situasi semacam ini.
Kegelapan dalam diriku berkoar-koar seperti ingin memanggil kegelapan yang lain datang. Tak dapat dipungkiri bahwa gadis di depanku ini begitu menarik perhatianku, karena tentunya aku masih seorang laki-laki normal. Hanya kami di sini, tidak ada siapapun yang akan melihat, aku bisa saja menyerangnya jika aku tidak mempedulikan bagaimana ia akan jatuh ke dalam kegelapan yang menyakitkan.
Cindy yang kupikir dapat merasakan aura negatif keluar dari tubuhku tiba-tiba menoleh dan menatap sinis, "Apa?"
Aku yang sedari tadi meliriknya pun membuang muka. Dalam hati terasa kekecewaan sebab tidak dapat menikmati lebih lama kesempatan yang ada, namun juga bersyukur karena dia dapat meredam bisikan setan yang terus memancingku.
Menarik napas yang panjang, mengeluarkannya, lalu menjernihkan pikiran. "Aku nggak menyangka kalau sampai sekarang kau masih mengingatnya."
"Pastinya dong! Aku nggak bisa begitu saja mengabaikan dan melupakan perasaan orang lain kepadaku."
"Terus kenapa setelah aku mengatakannya kau langsung pergi begitu saja?"
"Y-yaa.. mau bagaimana lagi, itu baru pertama kalinya," ungkap Cindy sambil memalingkan wajah agak tersipu yang belum pernah kulihat sebelumnya-bahkan mungkin siapa saja.
"Eh? Seriusan?" Kupikir alasan yang digenggamnya ialah karena sudah terlalu banyak yang menyatakan cinta membuat dia sudah terbiasa, bosan, dan akhirnya mengabaikanku.
Rumor yang mengatakan kalau tidak ada satupun laki-laki di sekolah ini yang mendekatinya ternyata memang benar. Dia mampu membuat jarak yang pasti di sekitarnya dengan sebuah dinding. Dinding ciptaannya yang tak terlihat begitu tebal dan mampu dia buka tutup sesuka hatinya, mengeluarkan aura ancaman serius jika ada yang berani mendekat tanpa seizinnya. Begitu indah dan semakin menarik perhatianku, namun cukup berbahaya.
Dia salah perhitungan, inilah yang pasti membuatnya terganggu. Aku memecahkan sebagian dinding miliknya sehingga tidak mampu sepenuhnya mengabaikanku. Itu sama sekali tidak terpengaruh padaku, melainkan kuyakin dirikulah yang telah berhasil mempengaruhinya.
Karena aku juga memasang dinding yang sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
When with You
Romance[Genre utama: Drama, Romance] [Sub-genre: Dark] [R15+] "Ketika." Sebuah kata sederhana yang mengikat berbagai memori. Indah maupun kelam. Penting atau pun tidak. Untuk kenangan, lebih-lebih keinginan akan suatu hal terjadi di masa depan. Waktu singk...