Pada saat itu aku menyadari sesuatu. Munculnya pilihan lain, yang jika kuambil dapat menuntunku ke jalan cerita baru. Tidak ingin aku menerkanya, namun indra pendengar dan penglihat milikku telanjur dibuat membisu.
Sebuah tanaman putri malu baru saja merekah dengan bunga indahnya yang berwarna merah muda di hadapanku. Seakan ini lebih menarik perhatianku meski di sekelilingnya ada bunga lain yang ikut bermekaran.
“Karena aku selalu memperhatikanmu.”
Aku yakin tidak salah mendengar kalimat yang barusan keluar dari mulut Vinca. Rangkaian kata itu hanya akan berakhir pada satu kesimpulan. Pernyataan yang sebenarnya ingin kudengar dari si perempuan pembawa kabur jas milikku.
Memejamkan mata, aku mencoba untuk bertahan dari cahaya yang kini sedang menyerangku. Vinca ternyata sudah memiliki cahayanya sendiri, maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Namun aku juga tak ingin malah menjadi yang meredupkannya. Mematikan sebuah lilin jauh lebih mudah daripada menyalakannya.
Tanaman putri malu hanya akan menguncup pada saat tertentu atau jika ada yang menyentuhnya. Berbeda dengan bunga bangkai, membutuhkan waktu sangat lama baginya untuk merekah, dengan masa mekarnya yang hanya sebentar.
Perumpamaan yang jomplang dan cukup nyelekit. Kurasa ini memang cocok selain umpama bunga mawar untuknya, Cindy. Terlebih lagi jika keduanya disatukan. Bayangkan saja, dibalik pertahanan bunga bangkai berupa bau busuk serta duri yang melekat di seluruh bagian tanaman, tersembunyi bunga mawar dengan kelopaknya yang indah dan warna yang menggetarkan mata.
Kurasa Cindy akan kembali memukulku jika mendengar itu. Pukulannya menjadi yang saat ini paling kuwaspadai, lebih dari kesinisannya. Ini hanya perkiraan, aku tahu saat ini dia sedang berdiam diri menguping pembicaraan kami di tangga menuju lantai dua. Jaket merahnya sempat terlihat ketika Vinca keluar ruangan dan memanggilku. Kalau ini salah, maka dapat dipastikan hari ini aku sangat ingin melihatnya.
Aku mundur beberapa langkah dan menengok ke arah tangga. Senyum kecil kusembunyikan dalam hati, merasa cukup senang. Kulihat Cindy menempelkan punggungnya ke dinding sambil memasang wajah serius mendengarkan. Dia mendekap sesuatu yang dibungkus tote bag berwarna cokelat muda dengan gambar menara eiffel. Kupikir itu yang membawanya kemari.
Wajah Cindy berubah seketika karena kaget dan panik setelah melihatku mengetahui keberadaannya. Dia terlihat mengambil ancang-ancang, lalu melemparkan barang yang dibawanya dan mendarat tepat di wajahku.
“A-aku tidak mendengar apa-apa!!”
Cindy mengatakannya dengan keras dan lari terbirit-birit, seperti seorang pencuri yang tertangkap basah. Beruntung saat ini bukanlah jam kegiatan ekstrakurikuler berlangsung. Namun teriakannya membuat seseorang keluar dari ruangan petugas kedisiplinan.
“Woy! Jangan ganggu tidur siangku!!”
Ah, ternyata sahabatnya Vinca. Tidak ingat namanya, yang cuma kutahu hanyalah aku tak ingin berurusan lebih jauh dengan orang seperti dia.
Dan juga, tidur siang? Apa itu yang mereka lakukan di ruangan petugas kedisiplinan saat tidak ada pelanggar? Yah, meskipun pada dasarnya ini memang jam istirahat. Mereka bebas melakukan apa saja.
“Kau!!”
Perempuan itu main asal teriak, sepatutnya ini termasuk pelanggaran karena telah mengganggu ketenteraman sekolah.
“Bukan aku,” kukatakan itu sambil refleks mengangkat kedua tangan setinggi bahu.
Tatapannya menjadi sinis seolah meragukanku. Lagi pula itu suara perempuan, apa dia tidak menyadarinya?
“Apa yang kau lakukan pada Vinca!?”
Kualihkan pandanganku ke Vinca. Jika sebelumnya sering menunduk malu atau sedikit menutupi mulutnya saat berbicara, kali ini Vinca malah sampai berjongkok dan menutupi wajah. Warna merah dapat kulihat pada telinganya. Sepertinya si putri malu kini sedang dibuat menguncup.
KAMU SEDANG MEMBACA
When with You
Romance[Genre utama: Drama, Romance] [Sub-genre: Dark] [R15+] "Ketika." Sebuah kata sederhana yang mengikat berbagai memori. Indah maupun kelam. Penting atau pun tidak. Untuk kenangan, lebih-lebih keinginan akan suatu hal terjadi di masa depan. Waktu singk...