"Aku mencintaimu, Cindy."
Heningnya suasana kembali kurasakan seperti saat pertama kali aku mengatakan itu kepadanya.
Cindy memutar-mutar payungnya ke kanan dan kiri dengan tidak terlalu cepat. Ia kemudian menundukkan payung, sehingga aku tak lagi dapat menengok wajah merahnya yang manis dan elok.
"... Kau tidak perlu mengatakannya berulang kali sebanyak itu."
Apa yang Cindy maksud? Itu adalah kali kedua aku secara langsung menyatakan perasaan padanya. Selebihnya kukatakan dalam hati. Jika soal sebelum ini, yang hanya untuk meyakinkan diri kalau aku memang mencintainya, kukatakan dengan suara rendah. Tidak mungkin dia mendengarnya. Kalau pun terdengar, sebetulnya itu bukan suatu masalah bagiku. Sebab dia jadi semakin mengerti, kalau aku memang benar jatuh cinta padanya.
"Aku baru melakukannya dua kali."
"Nggak, nggak. Itu lebih dari dua kali tau! Kau berkali-kali mengatakannya dan terus menyebut namaku!" ucap Cindy kekeh, yang berarti dia memang menyadari gumamanku sebelumnya.
"Apakah itu menganggumu?"
Cindy kembali memainkan payungnya. Antara karena gugup atau justru jemu membahas persoalan ini lagi dan lagi.
"... Kalau kau mengatakan itu terus-menerus, aku tidak tahu bagaimana harus menjawabnya."
"Maaf. Aku tidak memperhatikan perasaanmu. Kukira kau enggan memikirkannya dengan serius."
"Apakah kau pikir aku selalu bersikap apatis?"
Memang begitu, iya kan? Cindy selalu mengeluarkan aura seperti itu, sehingga orang-orang yang melihatnya pun beranggapan demikian. Semua berubah jika ia sudah tersenyum dan memperlihatkan emosi lain. Namun sayang sekali, itu adalah momen langka yang harus dilindungi.
"... Kau tahu, aku tidak bisa dengan mudah memberikan jawaban, seperti yang kau lakukan pada perempuan itu. Jika aku menerima ...."
"Jika kau menerima?" aku mengulangi karena penasaran, mengabaikan pandangan Cindy yang sepertinya sok tahu tentangku dan Vinca.
"... Kalau aku menerimamu, aku tak dapat membayangkan apa yang akan terjadi nanti. Mungkin keseharianku akan lebih membosankan daripada sekarang."
Cindy mengatakannya dengan blak-blakan, seolah anggapan sebelumnya kalau gadis itu memikirkan perasaan orang lain dengan serius hilang.
Aku menahan diri, dan mencoba bertanya pilihan lain yang bisa saja diambilnya. "Seandainya kau menolakku, bagaimana?"
"... Aku juga tidak dapat membayangkannya. Mungkin tidak akan ada lagi laki-laki lain yang mau dengan bodohnya mendekatiku."
Apa dia sengaja melakukannya? Cindy menyisipkan kata-kata hinaan yang jelas mengarah kepadaku. Seperti ini kah serangan yang biasa dia lakukan kepada orang-orang? Selain menggunakan kekuatan fisik seperti kemarin. Meski tidak ada rumor kalau Cindy pernah menyerang dengan menggunakan tangannya.
Aku berjalan mendekati Cindy untuk mendahului. Karena ia tidak mau bergeser dari sisi kanan, maka aku melewati sebelah kirinya.
"Dengan kata lain, sampai saat ini tidak ada laki-laki yang berani dan berhasil mendekatimu?" balasku terhadap celaan Cindy dengan tampak membanggakan diri.
"Jangan terlalu percaya diri! Setidaknya dulu pernah ada ...." bantah Cindy sambil memutar badan ke arahku. Membuatku ingin mengetahui masa lalunya, tetapi saat ini masih ada hal lain yang lebih penting.
"Oh? Kalau sekarang tidak ada kan? Jadi tidak masalah."
"Apanya yang tidak masalah!?" Cindy menyipitkan matanya menatapku, sambil menaruh tangan kiri di pinggang.
KAMU SEDANG MEMBACA
When with You
Romance[Genre utama: Drama, Romance] [Sub-genre: Dark] [R15+] "Ketika." Sebuah kata sederhana yang mengikat berbagai memori. Indah maupun kelam. Penting atau pun tidak. Untuk kenangan, lebih-lebih keinginan akan suatu hal terjadi di masa depan. Waktu singk...