Tae Hyung tak pernah menyangka jika dia akan menjadi anak yatim piatu secepat ini setelah orangtuanya dibunuh oleh petinggi kerajaan―yang sangat disayangkan Tae Hyung tak mengetahui siapa nama petinggi tersebut―saat dia berusia lima belas tahun. Tak hanya orangtuanya saja yang dibunuh tetapi semua penduduk desa tempat dia tinggal juga dibunuh, rumah-rumah mereka dibakar, anak-anak gadis dibawa paksa untuk dijadikan budak dan anak-anak kecil dibiarkan menangisi mayat keluarganya.
Naluri Tae Hyung mengatakan padanya supaya dia bersembunyi atau lari saja dari sana ketika sebagian anak-anak seusia dirinya juga dibawa paksa oleh para prajurit istana. Tae Hyung mengendap-endap dengan cara merangkak di antara mayat-mayat dan kadang-kadang harus berpura-pura mati agar tak tertangkap. Sulit sekali menemukan tempat persembunyian ideal sementara banyak puing-puing rumah yang telah rata dengan tanah. Biarpun begitu, Tae Hyung tidak menyerah.
Entah karena Tujuh Dewa mulai kasihan padanya atau memang nasib Tae Hyung sedang mujur hari itu, dia akhirnya berhasil menemukan tempat sembunyi. Bukan dalam renruntuhan rumah tetapi di istal kuda―dan lagi-lagi Tae Hyung beruntung karena tak ada kuda di sana―milik keluarga terpandang di desanya. Tae Hyung kecil menutupi tubuhnya dengan tumpukan jerami, meringkuk diam seperti orang kedinginan sambil berdoa semoga tak ada satu pun prajurit istana menemukannya di sini.
Secara tiba-tiba duka akibat kehilangan orangtua melanda Tae Hyung. Walau dia berusaha tidak menangis tetapi air matanya tetap saja mengalir. Tae Hyung menekap mulutnya agar suara isakannya tak terdengar, sesekali dia mengintip dari balik tumpukan jemari sekadar memastikan bila dia masih sendirian di sini. Tae Hyung berusaha sekuat tenaga mencegah dirinya untuk tidak mengingat kejadian di mana dia melihat ayahnya tewas dengan usus terburai, sementara kondisi ibunya lebih mengenaskan―tombak tertancap di tenggorokannya. Satu jam lalu ibunya itu masih hidup bahkan tersenyum padanya dan ayahnya memberikan Tae Hyung pelukan sayang.
Siapa pun, tolong bangunkan aku dari mimpi buruk nan mengerikan ini.
Tae Hyung tak sadar jika saat ini matanya sedang terpejam entah untuk berapa lama. Sejenak kebisingan yang ditimbulkan oleh suara tangis anak kecil tak terdengar lagi. Ada kelegaan yang dirasakan Tae Hyung karena semua kejadian ini memang cuma mimpi. Dalam pikirannya Tae Hyung akan menemui ibunya dulu lalu setelah itu ayahnya. Dia tersenyum, menghapus pipinya yang basah dan bersiap-siap membuka mata.
Namun, realita yang dia hadapi justru tak seindah seperti ekspektasinya. Tae Hyung masih meringkuk dalam tumpukan jerami, tangisan anak-anak juga masih terdengar di mana-mana. Tangisannya sendiri berhenti, tubuhnya membeku seakan disirami bergalon-galon air dingin. Otak Tae Hyung sedang mencerna apa yang sedang terjadi sekarang. Seperti dihantam ombak besar Tae Hyung sadar bila ini bukan mimpi buruknya, sadar bila kedua orangtuanya telah tiada, sadar bila tadi dia cuma berharap kejadian ini tak nyata.
Dia semakin berduka sampai-sampai dadanya terasa sakit sekali. Tae Hyung tak peduli lagi jika ada yang mendengar suara tangisannya, justru baginya itu lebih baik supaya dia bisa menyusul kedua orangtuanya. Tapi, tak satu pun ada yang datang dan menangkapnya padahal Tae Hyung sengaja meraung-raung memanggil ayah dan ibunya. Hingga akhirnya suara Tae Hyung habis, sekujur tubuhnya lemas karena ternyata menangis sekuat itu menguras tenaganya.
Lelah menangis membuat Tae Hyung tertidur. Dia baru terbangun saat hari telah senja. Di tengah kesunyian yang mencengkeram dirinya, Tae Hyung mulai berpikir lagi tentang apa yang akan dilakukannya sekarang, harus ke mana dia pergi atau lebih baik tetap di sini sampai maut sendiri yang datang menjemputnya. Tetapi, suara nuraninya mengatakan bahwa dia tidak boleh menyerah dulu.
"Benar," kata Tae Hyung kepada dirinya sendiri. "Aku akan membalas dendam atas kematian Ayah dan Ibuku," gumam Tae Hyung berulang-ulang lalu tak sadarkan diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Faceless Man
FanfictionNiat untuk membalas dendam kedua orangtuanya seakan tak pernah surut dalam hati Tae Hyung. Dengan kemampuan langka yang dipelajari sejak berusia lima belas tahun, Tae Hyung mencari dalang di balik pembantaian yang terjadi sembilan tahun silam. Sampa...