“Sakit, bukan?” tanya Tae Hyung dengan sinis. “Maaf karena aku tidak memberimu kematian yang singkat. Manusia sepertimu pantas merasakan penderitaan sebelum menjemput ajal.”
***
Alam pun tampaknya ikut murung sama seperti suasana hati Yeon Hee pagi ini―mendung. Dia hampir tidak bisa bersabar lebih lama lagi menunggu sadarnya Tae Hyung padahal ini sudah tiga hari sejak penyerangan tersebut. Tabib Yoon menjelaskan bahwa Yeon Hee mestinya tak perlu secemas itu karena kalau saatnya tiba Tae Hyung pasti akan bangun.Melakukan rutinitas paginya yaitu membasuh tubuh Tae Hyung menggunakan handuk basah. Diletakkannya tiga buah handuk kering di dekatnya dan sebuah wadah berisi air hangat. Setelah selesai, dia tak lupa menggantikan pakaian Tae Hyung. Sejujurnya, Yeon Hee sangat malu sekali karena harus melihat bagian-bagian privasi dari tubuh Tae Hyung. Jika bisa dia ingin meminta Ja Yeol saja yang melakukannya, tetapi dia tak mau pelayannya berpikiran aneh tentangnya. Sisa handuk terakhir digunakan Yeon Hee untuk membersihkan wajah Tae Hyung. Dia mencelupkan satu bagian handuk, memerasnya lalu dengan lembut mengusapkan ke kulit wajahnya. Lalu, hal yang ditunggu olehnya pun terjadi.
Sewaktu hendak bangkit dari dipan pakaiannya tersangkut dan saat menoleh dilihatnya mata Tae Hyung terbuka secara perlahan-lahan. Kalau saja Yeon Hee tak ingat bahwa sekarang masih pagi buta, dia pasti akan menjerit saking senangnya. Dia cepat-cepat meletakkan wadah yang dibawanya di kaki dipan lantas duduk di sisi Tae Hyung.
“Yeon Hee...” bisik Tae Hyung serak, gerakan tangannya yang lemah menggenggam tangan Yeon Hee. “Apa kau baik-baik saja?”
“Aku sangat baik,” jawab Yeon Hee dengan suara parau bercampur bahagia. “Jangan cemaskan keadaanku ataupun anggota keluarga yang lain.”
Seulas senyuman lemah menghiasi wajah pucat Tae Hyung. “Seseorang berencana membunuhku,” kata Tae Hyung pasti.
“Aku tahu. Bisakah kita tidak membicarakan tentang ini dulu?” Ada nada memohon dalam suara Yeon Hee. “Setidaknya tunggu sampai kesehatanmu pulih baru kita bicarakan.”
Tae Hyung mengangguk pelan. Sebelum hilang kesadaran dia sangat takut terjadi sesuatu pada keluarganya, sesuatu seperti yang pernah dialaminya sewaktu kecil dulu, tapi begitu melihat Yeon Hee ada di hadapannya, sehat tanpa luka goresan sedikitpun membuat hatinya lega.
Berteriak memanggil Ja Yeol, Yeon Hee meminta pamannya, Geon Ho dan Yu Gyeong untuk datang kemari. Melihat bahwa tuannya telah sadar sempat membuat Ja Yeol menangis haru. Dia pergi sambil sibuk menyeka air matanya dan kembali dengan sisa anggota keluarga yang lain. Semua orang―termasuk Geon Ho―tampak senang.
“Jadi, kau mengingat―” belum sempat Geon Ho menyelesaikan kalimatnya, Yeon Hee telah menyelanya.
“Oraboni,” ujar Yeon Hee bernada menegur. Dia tahu jelas apa yang akan ditanyakan Geon Ho pada suaminya.
“Baik, maafkan aku.”
Tabib Yoon menyusun rencana untuk memindahkan Tae Hyung ke dalam rumah saat malam nanti. Tae Hyung lantas bertanya mengapa mereka harus menunggu malam sementara mereka bisa melakukannya sekarang.
“Beberapa orang menganggap kalau kau suda tiada, Nak,” kata Tabib Yoon. Pria tua itu menceritakan bagaimana seluruh keluarga telah merekayasa kematiannya.
Sesaat Tae Hyung tak tahu harus berkata apa. “Yang kalian lakukan ini benar. Aku yakin pembunuh bayaran itu akan terus mengawasi untuk memastikan kematianku.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Faceless Man
FanfictionNiat untuk membalas dendam kedua orangtuanya seakan tak pernah surut dalam hati Tae Hyung. Dengan kemampuan langka yang dipelajari sejak berusia lima belas tahun, Tae Hyung mencari dalang di balik pembantaian yang terjadi sembilan tahun silam. Sampa...