2. Pernikahan

151 17 4
                                    

Tae Hyung merasa seolah-olah ada yang jatuh ke dasar perutnya begitu mendengar nama itu. Orang itu yang memberi perintah untuk menghancurkan desanya, orang itu yang memberi perintah membunuh―dan secara tak langsung perintah membunuh orangtuanya―semua penduduk desa dan membuat anak-anak menjadi yatim piatu. Yeom Byeong Soo, gumam Tae Hyung dalam hati mengulang nama tersebut berulang kali.

***

            Ternyata butuh empat minggu lagi agar tulang rusuknya yang patah benar-benar sembuh. Dengan penuh semangat, Tae Hyung bangun lebih awal dari biasanya, dia berjalan ke luar dari kamarnya, melintasi halaman dan berdiri di tengah, lantas merenggangkan otot-ototnya yang kaku. Pertama-tama dia melakukan gerakan yang ringan dulu lalu ke gerakan yang paling rumit. Tae Hyung mengumpat sewaktu hendak melakukan gerakan yang dulu baginya gampang saja untuk dilakukan tetapi sekarang malah terasa sulit. Kebanyakan berbaring membuat tubuhnya jadi tak selentur dulu.

            Memutuskan untuk tidak memaksakan diri adalah jalan diambil Tae Hyung. Aku yakin bisa menguawasi gerakan itu lagi seiring berjalannya waktu, gumam Tae Hyung dalam hati, jadi dia melakukan gerakan yang ringan saja. Bulir keringat mengalir di kening Tae Hyung dan napasnya tersengal-sengal. Meski agak lelah dia tetap berdiri di tempatnya, kepala mendongak ke atas menatap birunya langit. Ketika mendengar suara langkah kaki, Tae Hyung menoleh cepat ke belakang dan menemukan tabib Yoon sedang melangkah menuju dirinya.

            “Kurasa, sudah selayaknya kita membicarakan ini,” ujar tabib Yoon membawa Tae Hyung duduk di dipan di bawah pohon ceri. “Pernikahanmu dan Yeon Hee.”

            Tae Hyung tertegun sebentar sebelum mampu mengeluarkan suaranya. “Ya, kurasa begitu,” katanya sambil menelan ludah. “Yeon Hee sudah diberitahu tentang hal ini?”

            “Aku memberitahunya semalam.”

            “Dan apa tanggapannya?” tanya Tae Hyung penasaran. Terkadang dalam kesendiriannya dia berharap semoga Yeon Hee menolak saja.

            “Dia menyerahkan semuanya padamu,” saat berkata seperti itu, tabib Yoon tak melepaskan pandangannya dari Tae Hyung, ingin melihat bagaimana reaksi pemuda di hadapannya menerima kata-katanya. “Jangan terlalu lama memikirkannya. Geon Ho berharap kau segera pergi karena dia tak bersedia memberi makan satu mulut lagi. Dia mengatakannya dua hari lalu.”

            Rahang Tae Hyung mengeras mendengarnya, tak suka bila seseorang meremehkannya. “Lusa,” kata Tae Hyung pelan namun tegas.

            “Lusa, baiklah. Sementara itu, kau dan aku akan mengurus beberapa dokumen lalu menyerahkannya kepada Hakim Hong.”

            Gagasan bertemu dengan hakim Hong agak membuat Tae Hyung merasa bahagia. Sibuk memikirkan tentang pernikahan mengalihkan semua fokus Tae Hyung. Setidaknya aku bisa menilai dia saat bertemu nanti. Dalam benaknya Tae Hyung sedang menyusun rencana pendekatan seperti apa yang akan dilakukannya. Teringat bila dia membutuhkan banyak emas untuk menyuap, Tae Hyung mengatakan pada tabib Yoon selepas menikah dia hendak memulai berdagang. Tabib Yoon agak terkejut mendengar niat pemuda ini sebab di matanya Tae Hyung lebih terlihat seperti gelandangan daripada pedagang.

            “Apakah aku perlu menyiapkan dokumen juga untuk itu?”

            “Tentu saja,” kata tabib Yoon dengan raut bahagia. “Aku bisa membantumu menyiapkan dokumennya kalau kau mau.”

            Tae Hyung mengangguk setuju. Lagi pula, tak ada orang lain yang bisa membantuku, pikirnya senang. Setelah itu tabib Yoon bertanya dari mana Tae Hyung belajar berdagang, barang-barang apa saja yang mau dijualnya nanti. Sewaktu pembicaraan mereka mulai melebar ke arah yang lebih privasi, Yeon Hee muncul untuk memberitahu jika sarapan telah selesai dihidangkan. Betapa bersyukurnya Tae Hyung karena kemunculan Yeon Hee mencegah dirinya untuk bercerita lebih banyak ke tabib Yoon.

Faceless Man Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang