BAB 3
Aku tak akan bercerita panjang lebar karena ini bukan cerita berpuluh-puluh bab.
Bisa saja kalian kecewa. Bisa saja kalian bosan mendengar kata Dinda.
Tapi aku tak akan merasa bosan menuturkannya.Aku berdialog dengan langit senja menceritakan bahwa setiap hari aku ingin bertemu dengannya.
Kecantikannya membuat laki-laki menatap. Namun kepribadiaannya yang membuatku ingin menetap.
"Nunggu jemputan?"
Aku menghampiri Dinda yang sedang duduk di depan halte bus sekolah. Hari sudah sore semua sudah pulang tapi ia sendiri menanti.
"Nunggu bus dateng tapi udah kesorean deh sepertinya sudah tidak ada bus yang lewat lagi." Ia memainkan jari tangannya. Gelisah.
"Ya jelas udah jam segini mana ada bus lewat. Kamu tumben pulang sore?"
"Ada perlu tadi sama temen. Kalau kamu?"
"Habis main bola sama anak-anak di lapangan belakang sekolah."
"Sampai sore gini? Kupikir kamu hanya tahu tentang belajar." Ia terkejut.
"Iya hehe. Kamu kali Din yang rajin belajar. Ngomong-ngomong kamu sudah kabarin orang rumah belum kalau pulang telat?"
"Ah iya. Belum Ndre lupa." Dinda menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Kok lupa yaudah deh kabarin dulu. Mau aku antar ke wartel atau ke telepon umum di depan SMP 4?"
Saat itu penggunaan handphone masih sangat jarang. Hanya orang tertentu yang bisa membelinya.
Bentuk handphone juga masih besar. Mereka menyebutnya handphone pisang.
Wartel atau warung telepon masih menjadi bisnis yang menjanjikan. Telepon umum berwarna biru hampir ada di setiap sudut jalan. Kita hanya perlu memasukkan beberapa koin ke dalamnya.
Kebetulan ada telepon umum terdekat dari sekolahku. Daerah sekolahku adalah kompleks pendidikan. Dalam bahasa Belanda dinamakan "milo". Aku juga kurang begitu paham tentang asal usulnya karena cerita ini kudengar dari guruku.
Tak heran bentuk sekolah di sini hampir-hampir mirip. Pintu dan jendela dengan ukuran yang hampir sama menjadi ciri khasnya. Kayu yang dipakaipun juga asli kayu jati.
"Kalau kamu mau aku bisa sekalian antar sampai rumah naik sepeda. Kalau kamu mau sih..." kataku dengan penekanan.
"Jadi ngrepotin kamu."
"Sama sekali gak repot Din. Aku seneng bisa bantu kamu. Yaudah yuk buruan keburu sore."
"Iya yuk. Makasih ya Ndre."
Dinda beranjak dari tempatnya menghampiriku. "Aku naik ya..." ucapnya ketika hendak membonceng.
"Oke Din. Wah maaf nih masih bau keringat belum mandi hehe."
"Aku juga belum mandi. Kita sama-sama bau haha."
"Hahaha iya juga ya."
Roda sepedaku berputar membawa kami ke SMP 4 yang berada kira-kira sekitar satu kilometer dari sekolah kami.
Matahari semakin turun dari batas peraduan. Meninggalkan candik ayu dalam heningnya sore itu.
Kami melewati setiap ruas jalan. Jalanan sudah sangat lenggang bahkan tak nampak batang hidung seseorang. Suara nafas Dinda mungkin bisa terdengar. Atau bahkan degub jantungnya pun aku bisa mendengarnya dari depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dinda
Fiksi RemajaAndre, lelaki yang tak pernah berpacaran bertemu dengan seorang gadis yang berhasil menggetarkan hatinya. Namanya Dinda, primadona di kelasnya. Selain pandai dan cantik Dinda adalah gadis yang lembut. Andre memberanikan diri untuk menyatakan perasa...