9 Nyawa

84 6 0
                                    

"Ndra, beneran gak sih kucing punya 9 nyawa?"

"Apaan sih lu Feb? Ngelantur deh kalau ngomong!" ucapku kesal. Pertanyaan acak selalu saja Febri utarakan kepadaku. Apalagi melihatku sedang asyik membaca novel.

"Lagian kamu sibuk sendiri. Masak sohibnya dateng main ke rumah dianggurin," Febri pun mengomel. Ya, seperti dugaanku.

"Hm... Kan kamu mau nebeng internet kan? Mending nonton Oppa-oppa-mu itu deh di Youtube dari baca buka-buka video serem gak jelas gitu." Aku membenahi posisi bacaku. Punggungku terasa sakit akhirnya karena membaca sambil tengkurap.

"Iya, iya, eh, iKon comeback Ndra...!" Dan, Febri pun histeris.

Malam minggu hampir di tiap minggu, Febri akan datang ke rumah. Karena orangtuaku juga jarang ada di rumah, apalagi malam minggu akan mereka habiskan dengan meeting bersama klien atau rekan kerja, aku selalu mengundang siapa pun untuk menemaniku di rumah sendirian. Dan sebenarnya, bukan cuma Febri yang kuundang. Tapi Febri yang bertahan. Alasannya, rumahku angker. Jujur ini hal yang mengada-ada. Akibat ulah Sania yang mengaku-ngaku anak Indigo dan melihat banyak hantu di rumahku, teman sekelasku yang lain pun tidak lagi datang ke rumah. Mungkin Sania dendam padaku. Tapi aku tidak ambil pusing. Toh, masih ada Febri.

Febri salah satu temanku yang kukenal kecanduan internet. Lucu sih tiap di sekolah dia benar-benar gak bisa lepas dari hapenya. Walau fakir quota, Febri selalu membeli paket chatting atau internet hemat. Sekedar mengikuti perkembangan para Idol Korea dari Twitter. Kalau lagi kepengen banget, dia akan merampas hapeku untuk menonton video di Instagram atau Youtube. Untuk itu, Febri selalu setia menemaniku karena aku menyuapnya dengan koneksi internet di rumah. Lumayan loh, koneksi internet seharga sejuta dia pakai sendiri khusus malam minggu. Apalagi kakak laki-lakiku, Bram, juga pasti sibuk hangout sama temen geng motor besarnya atau sama pacarnya yang entah sudah berapa kali ganti-ganti.

"Ndra, haus nih," aku menghiraukannya. Tanggung tinggal satu halaman lagi ganti bab baru. "Ndra... Haus..."

"Astaga Feb, tinggal turun aja sih, di kulkas banyak minuman tuh, pilih aja sanah!" ucapku agak membentak. Febri bangkit dari meja belajarku, memencet tuts laptopku untuk memberi jeda dari video yang lagi asyik dia tonton. Lalu mencubit kakiku.

"Rasain!" Balasnya. Sakit sekali cubitannya. Akan kubalas nanti kamu Feb. Lihat saja.

Karena jengkel, aku melanjutkan ritual membacaku. Tanpa memperdulikan Febri, yang penting novel ini harus segera selesai kubaca. Banyak novel yang mengantri untuk kubaca. Selain sudah beli banyak ditiap bulannya, aku juga harus memberikan video review untuk para penggemarku di Youtube. Jadi ya, banyka hal yang menungguku.

"Ndra, gue lihat kucing di dapur," Febri kembali ke kamarku, membawa sebotol cola ukuran besar dan satu gelas kristal. "Lu gak pernah cerita Ndra kalau punya kucing, lucu loh, bulunya lebat gitu,"

Kututup buku novelku dan langsung kusergap Febri dari belakang.

"Kucing APA?!"

"Apaan sih Ndra?! Kaget tahu?! Itu loh, kucing yang mahal itu loh, lu kan pasti beli kan, apa sih namanya? Anggora? Persia? Itu lah, ada kok di dapur,"

Mendengar hal itu, aku langsung saja menarik tangan Febri dan mengajaknya ke dapur. Tidak banyak lampu menyala di rumahku. Memang sudah dari awal Ibu dan Ayah selalu mendidikku untuk tidak boros memakai listrik. Tapi untuk situasi ini, aku menyesal kenapa hal itu menjadi kebiasaan. Aku melangkah dengan hati-hati untuk sampai ke dapur.

"Ndra... Apaan sih? Ngapain sih kita?"

"Kucing yang kamu maksud itu Feb, kalau bener kucing gue, kucing gue itu..." aku menghentikan ucapanku. Kini tepat sudah aku siap menyalakan saklar lampu. Jemariku sedikit ragu untuk bergerak. Merayap lambat dan menghitung dalam hati. Ya, hitungan ketiga harus segera kunyalakan lampu.

"Ih, ngomong itu yang sampai selesai..." protes Febri dan aku menutup mulutnya dengan tanganku.

"Kucing gue udah lama mati Feb, makanya beneran kucing gue apa kucing liar!" ucapkau berbisik dengan tatapan yang sangat serius. Febri langsung mengerti maksudku.

Dan lampu dapur pun berhasil kunyalakan.

Seekor kucing, aku tidak percaya, itu Monica. Ya, itu Monica. Nama kucing betinaku yang mati setahun yang lalu. Mati karena tertabrak mobil saat kukejar dan dia berlari menuju jalan depan rumahku. Mobil melaju menghantam tubuhnya. Darah bersimbah dari perutnya yang terburai isinya. Aku menangis kala itu. Kucing kesayanganku yang sudah menemaniku bertahun-tahun harus mati mengenaskan. Aku juga ingat menguburnya di halaman rumahku. Walau Ayah menolak untuk menguburnya, tapi Ibu membiarkanku. Aku benar-benar patah hati waktu itu. Dan kini, aku menangis lagi.

"Ndra... Ndra... Kok lu nangis sih?" Aku terduduk lemas. Melihat kucing itu asyik memakan sesuatu di dekat meja dapur, di lantai, entah apa yang dia makan. Aku mengingat bentuknya, gemuknya, bulunya yang lebat, pipi yang gempal, dan kalung itu. Ya kalung yang melingkar di sana, di lehernya, kalung itu, tanda pengenal itu, Monica.

"Itu kucing gue Feb, itu Monica!" ucapku tersedu.

"Jangan bikin takut dong Ndra! Katamu dia mati! Kabur kali terus balik lagi!" aku beranjak dan langsung membuka pintu belakang. Menuju halaman tepat dimana Monica pernah kukuburkan. Febri mengikutiku yang tiba-tiba saja berlari. Mencoba menghentikanku tapi luapan rasa sedihku sudah sampai ke ubun-ubun.

Kuburan itu, terbongkar. Tanah bekas digali, papan nisan dari kayu yang dibuatkan Ayah tergeletak.

"Tuh, bener kan Feb, ini kuburannya," Febri pun menjauh dariku. Aku tahu mungkin dia takut. Aku pun begitu. Tapi ini jelas hal yang tidak pernah kumengerti.

"Duh, merinding gue Ndra! Sumpah! Mending lu telpon abang lu deh, cepet, atau bokap nyokap lu, pengen pulang gue malah takut gini jadinya," Aku mencoba menenangkan Febri yang panik. Aku pun juga panik. Astaga malam apa sih ini?

Kami pun bergegas. Masuk ke dalam rumah, melewati dapur dan Monica masih di sana. Asyik menjilati tubuhnya sendiri. Ya, Tuhan, tubuhku gemetar hebat.

Sampai di kamar, ku raih handphoneku dan menelpon abangku. Febri langsung mengunci pintu kamarku. Menutup gorden jendela. Dan mematikan laptopku. Bersembunyi di balik selimut. Sedangkan aku dengan ketakutan dan memaksa abangku untuk pulang. Kutelpon juga Ibu dan Ayah untuk segera pulang.

"Semoga mereka cepet datang Ndra... Sumpah apaan sih malam ini?"

"Iya, aku juga pengen mereka cepet pulang,"

"Bener kan omongan gue, kucing punya 9 nyawa,"

"Jangan ngelantur kamu Feb, kucingku mati tahun lalu, terus hidup lagi gitu? Terus itu baru nyawa ke dua kalau gitu, sisanya? Masih banyak berarti? GILA KAMU!"

"Tapi gue juga liat buktinya kan? Kuburan yang diobrak-abrik! Ndra lu gak ngerjain gue kan!"

Dan malam itu kami menunggu dengan waktu yang terasa lambat berjalan. Bahkan kami saling berdebat hebat dengan apa yang kami lihat. Semoga saat keluargaku datang, aku tidak lagi melihat Monica. Semoga dia pergi dan semoga itu hanyalah halusinasi kami. Yang sudah mati tidak boleh kembali lagi.

~FIN~

DEATH: Kematian Itu Disekitar KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang