Kematian Berjalan

37 6 0
                                    

"Lex... A... Arggghhh..." itu suara terakhir Ibu. Tentu Ayah dan kedua Kakakku sudah lebih dulu melepaskan suara terakhir mereka ke udara. Kakiku tergenang darah. Semuanya meregang nyawa. Kulihat tubuh yang menggeliat, nafas yang terbatuk, aku bahkan menggoyang-goyang tubuh Ibu. Tentu Ayah juga. Kedua kakakku? Entahlah, terakhir kulihat mereka terjatuh, menggelinding, saat akan sampai di anak tangga terakhir untuk mencapai kamar mereka.

Tinggal bibiku saja. Ya, bibiku yang bahkan tidak bersuara, hanya merapal doa yang bahkan tidak kudengar. Tapi dia tidak mati.

Bibiku adalah pembantu di rumahku. Kesetiaannya sudah melebihi lima tahun. Usianya juga seperti seorang nenek. Mungkin tepatnya dia sudah harus menggendong cucu. Atau memang dia sudah memilikinya? Entahlah.

Dan perkenalkan, aku Alex. Kematian berjalan bersamaku, dan kejadian itu adalah sepuluh tahun yang lalu.

***

"Jadi haruskah kita mengambilnya Pak?"

"Tentu, ambil Alex, ini terlalu berbahaya untuk ditangani kepolisian. Jangan sampai ada jatuh korban lagi dari pihak kita." ucap seorang ketua detektif. Mereka menyelidiki kasus pembunuhan masal yang diketuai oleh seorang remaja perempuan. Gerombolan geng yang tidak mudah untuk di ringkus. Menyandera, memiliki senjata berat, menculik, meminta tebusan, dan tidak hanya itu. Kelompok itu tidak bisa mati.

"Tapi, mengambil Alex saja sudah berbahaya Pak," ucap seorang polisi junior. Asisten dari ketua detektif itu.

"Bawa Bibinya, kamu tahu kan? Cepat! Kita tidak bisa membuang-buang waktu lagi." Asisten itu memberi hormat. Mengangkat kepalanya, menegakkan badannya, lalu pergi berlari mengerjakan perintah yang telah diberikan oleh ketua detektif.

Kantor kepolisian pusat tampak sibuk. Tentu dengan ratusan telpon masuk dari berbagai elemen masyarakat untuk mengadu pada mereka. Tentang keluarga mereka yang menjadi korban dan juga tentang keselamatan mereka sendiri. Lingkungan sudah semakin tidak aman, mengkhawatirkan, dan diberlakukannya jam malam.

Kudengar suara langkah kaki di lorong penjara yang sepi. Lorong yang hanya ada satu ruang untukku saja. Lorong yang khusus dibuat untukku, karena aku adalah salah satunya yang luar biasa. Kasus tidak tertangani dan tidak dapat diadili.

Kudengar suara langkah kaki itu, ada dua. Seorang melangkah dengan sangat tegas, ya kuyakin itu sipir penjara. Satu lagi siapa? Aku tidak mengenali suara langkah kaki ini dalam gelap. Langkahnya terseret. Seperti memaksanya untuk berjalan walau tidak mampu. Hanya ada satu orang yang terbesin dalam pikiranku.

Mungkinkah Bibi?

Kunci itu memutar kode kombinasi gembok yang terdengar berkarat dan tidak terawat. Pintu besi dengan berat puluhan kilogram dibuka, tampak cahaya senter menerangi kamarku setelahnya.

"Alex, apakah kau di dalam?" tanya petugas penjara itu. Aku yang sejak tadi membaringkan tubuhku di atas kasur bertingkat ini pun turun. Aku mengankat tangan kananku. "Bagus, ada pengunjung untukmu dan untuk hari ini, kamu akan keluar dari penjara ini. Mohon kerjasamanya," mataku masih silau dengan sorotan lampu senter itu. Bahkan sebelah tanganku berusaha menghalangi cahayanya. Aku hanya mengangguk dan berjalan keluar kamar dengan langkah gontai.

"Bibi?!" ucapku bahagia. Senyumku lebar melihat wajahnya yang tetap sama. Walau ada keriput di sudut matanya, dan sedikit mengekerut karena usia.

"Nak Alex, lama tidak berjumpa," ucap Bibi dengan suara yang parau. Mungkin karena usianya yang kini benar-benar sudah sangat tua. Aku melepas rinduku, memeluknya erat, dan tawa serta tangis menjadi satu dalam pertemuan tidak terduga. Aku menoleh kepada petugas penjara. Dia tidak bicara dan hanya memintaku untuk terus jalan sampai ke ruang kunjungan antara napi dan pengunjung. Langkah kakinya terseret, ya ternyata benar itu Bibi.

DEATH: Kematian Itu Disekitar KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang