Warnet Pesugihan

26 3 0
                                    

"Jangan main di sana San! Masih banyak warnet lain!" ucap Lingga menarik lengan Sandi.

"Eh, bodok jangan dipelihara! Disana murah, sepi, kapan lagi?! Akhir bulan?! Mikir?!" Bentak Sandi. Lingga sebenarnya juga sudah mengetahui tentang hal itu. Dirinya yang bukan penggemar berat game online harus menemani Sandi yang merengek seminggu ini untuk ditemani mencari warnet murah meriah.

"Oke deh, semoga ada game lu ya di sana!" Balas Lingga jengkel. Sandi sudah menyiapkan sepeda motor maticnya untuk segera menuju warnet tersebut. Walau ini masih jam enam pagi di hari minggu.

"Iya, serius ada, udah tenang aja sih."

Mereka pun melaju di minggu pagi yang dingin. Padahal sudah bulan September tapi hujan juga belum turun. Lingga duduk di belakang sedangkan Sandi yang menjadi supir. Jarak antara kos dan warnet yang mereka tuju cukup jauh. Butuh waktu 15 menit di jalan kota yang sepi.

"Ini warnetnya?" Lingga merasa ragu. Setelah memakirkan sepeda motor miliknya, Sandi langsung masuk ke dalam warnet. Lingga masih di luar. Melihat papan nama berbentuk kotak neon dengan nama Booster Gaming yang bahkan tidak lagi utuh hurufnya. Lingga menghela nafas panjang.

Sandi sudah mendapatkan posisinya, asyik mengangkat sebelah kaki ke atas kursi dan memakai headset. Lingga masih melihat keseluruh ruangan warnet. Dirinya mengakui kalau warnet ini tidaklah buruk. Dengan kondisi komputer, keyboard, mouse, headset, speaker, kursi yang nyaman, ruangan smoking area dan non-smoking yang dipisah, bahkan ada ruangan tersendiri dengan komputer yang berisisian dengan jumlah lima untuk mereka yang ingin bermain game bersama teman-temannya dalam satu tim. Hanya satu yang merasa janggal di warnet ini. Pencahayaannya yang benar-benar mengandalkan lampu dengan daya rendah. Mirip seperti lampu yang sering ditemuinya di kandang-kandang hewan. Berwarna orange yang bahkan seperti tidak berguna. Benar-benar redup.

"Mas, komputer yang itu sudah ada yang pake, yang lain saja." Ucap seorang operator warnet memperingatkan Lingga. Satu komputer yang paling ujung yang mana menyala sejak dirinya masuk. Berbeda dengan komputer lainnya yang mati dan hanya komputer itu satu-satunya yang hidup. Tentu juga komputer yang digunakan Sandi.

"Mas, saya gak ngegame, mau youtuban aja bisa?" tanyaku dan respon operator warnet itu tampak bingung. "Saya cuma nemenin temen saya yang itu Mas. Saya bukan gamer soalnya," tunjuk Lingga ke arah Sandi.

"Oh, ya sudah, mas pake komputer yang ada di sebelahnya aja, tapi gak usah pake billing. Jadi langsung aja di pencel tombol X ya. Nanti bayarnya sama temennya aja." aku pun mengangguk paham.

Sandi duduk tepat di ujung, dekat dengan pintu masuk. Lingga duduk di sebelahnya dan mengikuti petunjuk dari operator warnet. Setelah menyalakan komputer, sekali lagi dia melihat kesekeliling. Ternyata mereka berada di ruangan smoking area. Ruangan non-smoking tampaknya sudah penuh. Pelanggan khas warnet yaitu anak-anak usia sekolah dasar.

"San, sepi di sini," ucap Lingga dan Sandi tidak menghiraukannya.

Lingga menghela nafas panjang lagi. Sadar kalau dia sudah terjebak dengan ajakan Sandi dan menyesal karena dia bisa menghabiskan hari liburnya ini dengan tidur seharian. Aroma bekas rokok memang cukup terasa walau tidak begitu pekat. Lingga hanya merasa cukup terganggu dengan komputer yang ada di deretan yang sama dengannya dan masih menyala sejak tadi.

"Oke, kali ini, kita nonton... Ah, ini dia," Lingga memilih mencari video kartun animasi dari Jepang yang tidak lagi disiarkan oleh stasiun televisi di Youtube. Beberapa kartun seperti pokemon, hikaru no go, dan ghost at school menjadi tontonan maraton baginya. Terpancar dari wajahnya ada tawa dan juga bahagia. Dia mulai mengakui kalau hal ini tidaklah buruk.

Sampai suatu hal benar-benar mengusik ketenangannya.

Monitor komputer itu berkedip, tepat Lingga merasakan di sudut pandangannya tampilan layar itu beberapa kali berpindah. Lingga menoleh. 

"Apaan sih?! Ganggu aja," Lingga beranjak dan mendekati komputer itu. Layar yang semula menampilkan pemandangan, kini berubah telah terbuka sebuah aplikasi permainan di layarnya. "Padahal mousenya aja gak gerak," Lingga berusaha mengabaikan kecurigaannya.

Lingga kembali ke tempat duduknya. Menghadap monitor dan menonton video yang sempat tertunda. Memasang headset dan meningkatkan pengaturan suara.

Kali ini, sudut matanya terusik lagi. Mouse di komputer itu bergerak. Menekan beberapa kali. Lingga langsung menoleh namun sayangnya mouse itu berhenti. Tapi sekarang Lingga lebih waspada. Walau mencoba untuk kembali fokus menonton video, matanya sesekali bergerak untuk melirik. Berharap menangkap kejadian yang sempat diragukannya barusan.

Dan lagi, mouse itu bergerak, diikuti dengan layar monitor yang menampilkan program satu ke program lainnya. Bahkan beberapa kali tuts keyboardnya pun timbul tenggelam.

"San! San! Komputernya ada yang mainin San!" Respon spontan Lingga berhasil membuat Sandi menghentikan permainannya.

"Apaan sih?! Ganggu aja?! Udah tenang nonton aja?!" Sandi melepas headsetnya dan menoleh ke arah monitor Lingga, tapi Lingga masih berusaha menarik-narik tangan Sandi.

"Lu liat deh San! Liat!"

"Iya, liat komputer Lu?! Apaan sih?!"

"Bukan, bukan San?! Itu loh?!" Sandi pun menoleh ke arah yang ditunjukkan Lingga. Komputer paling ujung yang masih saja bergerak sendiri mousenya, layar monitor yang berpindah-pindah programnya, dan juga tuts keybord yang tertekan bergantian.

"Alah, paling operator iseng. Bentar, tunggu di sini?!" Sandi yang sedang asyik, terganggu pun memilih untuk berpikir logis. Beranjak meninggalkan Lingga yang memilih untuk berdiri mendekati pintu masuk warnet. Berdiri sejauh mungkin dari komputer miliknya maupun komputer yang paling ujung. 

Sandi menarik tangan operator warnet dengan paksa.

"Mas, jelasin nih! Jangan kayak gini dong kalau usaha! Liat temen saya ketakutan! Kalau mau ngeprank tahu diri juga! Masih pagi ini!" 

Merasa disudutkan, operator warnet itu mencoba membela diri dan menjelaskan semuanya.

"Mas! Saya di sini juga cuma kerja. Gini ya, ini tuh udah biasa, ntar lagi juga ada hal yang lain," dan benar, kursi yang tadinya telah rapat dengan meja, bergeser dan tertarik kebelakang. Tanpa ada angin, tanpa ada tali, tanpa ada apa pun. Mereka pun diam. "Tuh, liat kan?"

Lingga malah sudah membuka pintu warnet setengahnya. Sedangkan Sandi tidak lagi menghiraukan game yang sempat ditinggalkannya.

"Disini sempat ada anak mati kesetrum mas, udah lama, lupa sebelum saya di sini pokoknya. Makanya jadi ada hantunya. Yang punya kasih sesajen ya itu biar tetap gak bangkrut walau udah kena hantu juga. Jadi komputer yang paling ujung itu dibiarin nyala seharian dan tiap hari. Oke? Ngerti ya?"

"Wah, gak bisa gitu dong Mas! Saya mau uang kembali kalau tahu begini!" protes Sandi. Sayangnya operator itu tidak menyetujuinya. Memilih kembali ke tempatnya semula dan mengacuhkan Sandi.

"Kalau gak suka, pulang aja Mas! Lagian murah juga kok, gak bakal rugi kan!" ucap operator itu menantang Sandi.

"San, pulang yuk, gila aja ada hantu orang mati di sini. Udah relain aja duitnya." Sandi yang merasa jengkel pun langsung mematikan komputer miliknya. Lingga sudah lebih dulu menunggu di sepeda motor. 

"Asem, tahu gini, gak ke sini deh." Keluh Sandi.

"Kan gue bilang juga apa, mending gak usah jauh-jauh juga cari warnet murah. Belum tentu juga sesuai sama harapan Lu," timpal Lingga. Mereka kembali pulang ke kosan dengan perasaan yang membingungkan. Tentu minggu pagi mereka ini menjadi pengalaman yang tidak menyenangkan.

~Fin~

DEATH: Kematian Itu Disekitar KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang