04

2.3K 468 75
                                    

of all the things left unsaid:

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

of all the things left unsaid:

"an avalanche"

//

Melalui jendela kelas yang berembun itu Seungmin dapat melihat samar-samar kenampakan halaman sekolah. Bentukan hijau pohon-pohon dan lapangan beton luas dilengkapi langit mendung, seolah ditangkap dengan lensa kabur yang enggan fokus.

Deras hujan mengetuk atap mengisi pendengarannya, mengalihkannya dari penjelasan panjang lebar sang guru matematika. Siapa peduli pada serangkaian rumus dan angka, sedari tadi Seungmin memang tidak fokus, isi kepalanya hanya Han Jisung dan Han Jisung. Ia menyerupai Hwang Hyunjin yang tengah dilanda cinta monyet, namun alih-alih berbunga-bunga atau membara, yang ada hanya risau dan gundah gulana.

Memikirkan Han Jisung mengubahnya semendung langit di luar, tapi tak bisa pula tidak memikirkan pemuda itu barang sedetik. Masih terbayang olehnya ekspresi Jisung ketika akhirnya mereka bertatap muka di perjalanan pulang, bagaimana teman lamanya itu kabur darinya seperti menghindari kejaran setan.

Jisung tidak perlu takut Seungmin akan menyemprotnya dengan sumpah serapah penuh kebencian, sungguh, Seungmin sudah memaafkannya jika itu yang ia khawatirkan. Kim Seungmin tak akan pernah sampai hati membencinya, seberapa rusaknya pun Han Jisung ia akan coba mengerti dulu. Untuk itu Seungmin ingin bicara, mengutarakan perasaannya, mendengarkan cerita Jisung pula. Namun nampaknya itu juga yang dihindari Jisung; berbicara padanya.

Dari dulu anak itu memang suka berahasia, hanya membagi keluh kesahnya dalam sekalimat dua kalimat serupa teka-teki. Keadaan rumahnya yang tidak nyaman pun Seungmin baru paham sekarang ketika usianya menginjak delapan belas. Segala omong kosong soal rumah berhantu, padahal Jisung tidak betah di rumah karena ibunya yang keras. Ya ampun, mengapa ia begitu terlambat menyadari hal itu?

Sepulang sekolah hari ini Seungmin tidak membuntuti Jisung seperti hari-hari kemarin. Ia membuka payung putihnya yang besar untuk menaungi dirinya dan Hyunjin, berjalan menembus hujan bersama si Hwang sambil membicarakan adik kelas manis yang disukai anak itu. Yeji tidak pulang bersama mereka karena ada kegiatan lain di sekolah. Selepas mengantar Hyunjin pulang sampai ke depan pintu rumah, ia berjalan sendirian ditemani rintik hujan yang meninggalkan bintik-bintik air pada payungnya.

Sepanjang jalan ia setengah melamun, sepatu sekolahnya beberapa kali tenggelam dalam genangan air bening maupun keruh, namun ia biarkan saja. Segerombolan bocah berlarian di jalanan komplek dan mencipratkan air dari genangan ke celana seragamnya, itu pun ia biarkan. Kota kecilnya tak pernah terasa lebih suram bagi Seungmin. Mungkin benar adanya bukanlah tempat yang menjadi perkara, namun bagaimana suasana hatimu dan memori yang kau buat di tempat tersebut. Gubuk reyot di tengah antah berantah bisa jadi tempat indah kalau kau punya memori indah di sana.

Seungmin punya memori indah tentang Cheongsan, sebagian melibatkan Hwang Hyunjin, sebagian lain melibatkan Han Jisung, atau keduanya, kadang juga dengan keluarganya. Han Jisung memberinya Cheongsan yang hangat dan bermandi sinar matahari. Kini Han Jisung pula yang memberinya Cheongsan yang suram dan kelabu.

of all the things left unsaid ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang