of all the things left unsaid:
"an overture"
//
23 Agustus 2015
Kim Seungmin tidak pernah pusing-pusing memikirkan bagaimana alam semesta bekerja. Bagaimana benang takdir dirajut sedemikian rupa dan dipotong seenaknya oleh sebuah gunting tak kasat mata pada titik waktu tertentu. Bagaimana objek-objek di dunia saling tarik menarik, dan bagaimana sebuah interaksi dapat memicu serangkaian peristiwa, baik atau buruk.
Namun kadang secuil waktu dari 24 jam yang ia miliki ia habiskan untuk merenungkan bagaimana ia bertemu Han Jisung dan berteman baik dengan bocah itu.
Maret 2013, pagi hari musim semi yang sejuk dan tenang di ruang kelas 1-2 adalah kali pertama Kim Seungmin bertukar sepatah dua patah kata dengan Han Jisung. Tidak, hari itu bukan hari di mana ia bertemu Jisung untuk pertama kalinya walau benar mereka baru bercakap-cakap hari itu. Rumah mereka hanya disela tujuh rumah dan satu belokan, bisa dibilang mereka tetangga.
Sebelum hari pertama masuk SMP, Seungmin tidak memiliki memori apa-apa tentang Jisung selain bahwa anak itu sering berlarian mengelilingi perkomplekan sambil berteriak-teriak hingga ibunya lelah mengejar. (Jangan tanya Seungmin apa yang sebenarnya Jisung lakukan, ia pun tidak paham.)
Han Jisung, waktu itu, dengan penuh percaya diri menaruh tas punggungnya di sebelah bangku Seungmin dan menawarkan pertemanan. Senyumnya lebar dan matanya berbinar penuh antusiasme. Seungmin menyambut perkenalan diri yang ramah itu dengan sama ramahnya. Mendapatkan teman baru di sekolah kan tidak mudah, bahkan di kota kecil dengan populasi kurang lebih 5000. Ia harus bersyukur seorang teman menghampirinya tanpa perlu ia meminta. Sebenarnya ia punya Hwang Hyunjin, tapi Seungmin mengenal si Hwang sejak mereka masih pakai popok, jadi tidak terhitung teman baru.
Entah siapa yang pertama mengajak pergi ke kantin bersama, atau pergi main menangkap belalang di kebun belakang sekolah, keduanya—tiga dengan Hwang Hyunjin—menjadi tak terpisahkan. Sungguh, bukan karena Jisung teman yang payah Seungmin sampai heran mengapa mereka bisa berteman. Jisung punya dunia sendiri, definisi lucu dan menyenangkan baginya membuat alis Seungmin bertautan. Di mana keduanya menemukan titik temu masih misteri bagi Seungmin.
Satu hal yang Seungmin ketahui dengan pasti, Jisung tidak pernah gagal membuatnya tersenyum.
Baik dulu, maupun sekarang; ketika usia mereka beranjak lima belas dan tiupan lembut angin penghujung musim panas menerpa wajah-wajah polos mereka. Musim gugur menjelang, meski pepohonan di Cheongsan tampak tak rela melepaskan dedaunan mereka yang belum sepenuhnya memerah.
Sekolah dimulai lagi besok.
Di hari terakhir liburan ini, Seungmin, Jisung dan Hyunjin duduk bersisian di teras rumah keluarga Hwang, masing-masing memegang es krim dan sibuk menjilati makanan manis nan dingin itu. Lelehan stoberi dan susu mengalir sampai ke tangan Jisung, menetes-netes ke tanah halaman rumah Hyunjin. Di samping kirinya, Seungmin mengamati dengan wajah mengerut jijik sementara Hyunjin melayangkan tepukan keras ke lengan Jisung dari samping kanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
of all the things left unsaid ✓
FanfictionSeungmin lost a friend, Jisung lost himself. sonnenblum © 2018