of all the things left unsaid:
"a thunder storm"
//
Kamar tidur Hwang Hyunjin seperti sebuah kapal yang membawa Kim Seungmin berlayar melintasi garis waktu. Tempat itu layaknya fenomena heterochronia—sebuah tempat yang lain, dengan zona waktu yang berbeda pula dari dunia di luar. Bergerak lambat dalam langkah-langkah berat, tidak rela melepas memori yang merapuh.
Tidak ada yang berubah. Dindingnya masih berlapis cat abu-abu muda yang selalu Yeji sebut warna kumal. Meja belajar Hyunjin berantakan, penuh tumpukan kertas dan buku yang tidak tertata. Ia bahkan tidak mengganti tempat tidur tingkat tua yang dulu ia pakai bersama saudara kembarnya semasa tinggal di rumah lama mereka, di mana mereka harus berbagi satu kamar. Masa kegelapan, Hyunjin menyebut potongan waktu dalam perjalanan hidupnya itu. Hanya saja, tempat tidur tingkat itu terlalu bersejarah untuk dilempar ke tukang rongsokan.
Televisi 32 inci itu juga tidak berubah—ada yang jauh lebih besar sekarang di ruang keluarga. Video game yang mereka mainkan masih sejenis, kudapan yang disediakan ibunya Hyunjin kurang lebih sama ditempatkan di mangkuk putih lebar yang sama pula.
Mereka, Seungmin dan Hyunjin, hanya berdua saja. Satu-satunya perbedaan yang membuat Seungmin sadar mereka masih berada di garis waktu yang sama dengan dunia luar.
Spasi kosong di antara mereka berdua seakan masih mengikat sisa-sisa energi seseorang yang dulu selalu mengisi posisi itu. Seungmin tidak bisa tidak membayangkan Han Jisung duduk di sana, di tengah agak ke belakang, menonton mereka main game sambil tak henti mengisi mulutnya dengan keripik kentang. Jisung selalu menghabiskan jatah camilan mereka.
Seolah sudah sepakat, Seungmin dan Hyunjin tidak menyentuh mangkuk camilan itu sama sekali. Anggap saja Han Jisung hadir di sini dan akan mengosongkan mangkuk itu sampai bersih.
Hyunjin melempar gamepad-nya pada Seungmin seperti biasa, menyumpah pelan sebab tak pernah berhasil mengalahkan si pemuda Kim barang sekali sejak masa sekolah dasar dulu. Dalam memainkan game apa pun, Seungmin selalu menggunakan strategi, terlalu menganggap serius kegiatan yang bagi Hyunjin sekadar bersenang-senang melepas penat. Curang, pikir si Hwang. Kalau ia juga harus menguras otaknya untuk main game, apa bedanya dengan mengerjakan tugas sekolah yang menumpuk?
Berbaring di lantai sambil memandangi langit-langit kamar Hyunjin yang berupa hamparan putih, dua remaja itu tenggelam dalam diam. Rintik hujan mengetuk atap menciptakan ritme monoton, seolah menghitung detik. Cahaya putih dari lampu taman merambat masuk melalui jendela, menerangi sebagian wajah mereka di kamar yang temaram.
Banyak yang mengganggu pikiran Kim Seungmin akhir-akhir ini (sesungguhnya memang selalu ada yang mengganggu pikirannya.) Dadanya terasa begitu sesak, seolah gelisah dan gundah itu memadati rongga dadanya, harus segera ia muntahkan semua supaya merasa lega. Ia tidak yakin Hwang Hyunjin masih bersedia menampung air kotornya, pasalnya laki-laki itu tampak agak muak setiap Seungmin menyebut nama Jisung.
KAMU SEDANG MEMBACA
of all the things left unsaid ✓
FanfictionSeungmin lost a friend, Jisung lost himself. sonnenblum © 2018