of all the things left unsaid:
"a postscript"
//
Han Jisung merapatkan jaket birunya yang tebal, mempersiapkan diri untuk menghadapi udara November yang mulai turun sekian derajat mendekati awal musim dingin. Tas hitam ukuran sedang dengan ritsleting terbuka terletak di atas tempat tidurnya, seperti monster dengan mulut menganga yang menunggu santapan. Mengedarkan pandangan, ia menimbang-nimbang barang apa lagi yang harus ia masukkan ke tas. Apa lagi yang penting selain pakaian dan sejumlah uang?
Tidak foto-foto atau buku tentu saja. Foto adalah wadah memori, membawa lembaran-lembaran dua dimensi itu sama dengan membawa kepingan masa lalu. Sesuatu yang akan mengikatnya dan memberatkan langkahnya, hanya akan menyulitkan usahanya untuk memulai dari awal. Sedangkan buku, ia sudah tak butuh lagi. Memang sepertinya tidak ada yang lebih penting dari pakaian dan uang.
Ranjangnya berderit ketika Jisung mengubah posisi duduk, ia merogoh saku celana dan mengeluarkan selembar tiket kereta. Ibu jarinya mengusap permukaan kertas berbentuk persegi panjang yang agak kusut itu, huruf-huruf kecil yang tercetak dengan tinta hitam pudar menunjukkan destinasi dan waktu keberangkatan.
Ia sudah membuat sebuah pilihan, pilihan paling berani seumur hidupnya yang baru berjalan selama delapan belas tahun. Ia meninggalkan sekolah, meninggalkan ibunya, meninggalkan kota kecil ini dan masa lalu. Awal yang baru adalah satu-satunya yang Jisung inginkan sekarang. Ia telah menghancurkan dirinya sendiri menjadi serpihan, tugasnya kini memungut kembali serpihan-serpihan itu dan menemukan dirinya.
Mungkin bukan menemukan Han Jisung yang lama, tapi menemukan Jisung yang baru.
Mengangguk mantap, Jisung menyimpan tiketnya di dalam saku lalu menutup ritsleting tas travelnya. Tak lupa ia juga menyimpan dua batang rokok dan pemantik di dalam saku. (Memang kebiasaan buruk yang ia dapat di Suwon dulu, tapi agak sulit baginya untuk berhenti.) Ia memandangi kamarnya sekali lagi; sempit, dengan satu jendela kecil dan tempat tidur single yang tidak terlalu nyaman. Ia pikir ia tidak akan merindukan Cheongsan sama sekali.
Menenteng tas travelnya, Jisung lalu beranjak keluar dari kamar, tak repot-repot menutup kembali pintu di belakangnya. Di sofa reyot itu seperti biasa, sang ibu duduk termenung mengawang ke udara kosong. Seolah menunggu dunia berubah. Menyadari kehadiran Jisung, wanita itu menoleh dan memandangi anaknya, lama serta dalam. Pandangan itu seolah melucutinya, membuat Jisung tidak nyaman, gelisah. Entah sejak kapan seorang ibu yang seharusnya membuatnya merasa hangat malah membangkitkan teror yang mencekam.
"Mau ke mana?" Wanita itu bertanya, suaranya agak serak dan tertahan.
Hampir terasa seperti ribuan tahun lamanya sejak Jisung mendengar suara sang ibu. Begitu asing, namun familiar di saat yang sama, memicu serangkaian memori berdatangan memenuhi kepala.
KAMU SEDANG MEMBACA
of all the things left unsaid ✓
FanfictionSeungmin lost a friend, Jisung lost himself. sonnenblum © 2018