2.Berdegup

82 11 7
                                    

Aku berjalan di koridor sekolah. "Sial.. Aku terlambat lagi" batinku sesampainya aku di depan kelas. Pintu kelas disekolah ini sering di tutup ada maupun tidak ada guru yang mengajar.

"Semoga gak ada guru.. Amin" ucapku pelan sembari membuka pintu kelas dengan mata tertutup sebelah.

BUK! Sebuah penghapus papan tulis mendarat tepat di dahiku.

"Headshot!!!" teriak anak yang bernama panjang Jawara Sajti Negara, seorang murid yang semua guru sudah menyerah terhadap kenakalannya. Anak itu berdiri di depan kelas selagi murid-murid lainnya menyorakinya karena takut menjadi sasaran selanjutnya.

Sambil tersenyum kesal, ku ambil penghapus yang menempel didahiku dan melemparnya kembali dengan kecepatan penuh sembari berteriak: "full counter..!"

Dengan lincah anak tersebut mengindari penghapus yang melesat kearahnya itu. "Eits.. Gak kena~" ucap anak tersebut memperlihatkan seringai kemenangannya.

"Gak kena dari mananya!?"

Seorang murid perempuan menggebrak meja selagi melirik jahat kearahku dan jawa.

Ya, anak nakal yang bernama Jawara Sajti Negara itu biasa dipanggil Jawa. Murid-murid lainnya mungkin takut memanggilnya seperti itu karena dia tidak menyukainya. Tapi aku dan dia berbeda lagi urusannya...

"Hey Tifa... Aku tahu kau sedang pms, tapi tolong kasihanilah meja itu... Dia sangat berjasa dalam-eh tunggu, ada apa dengan jidatmu? T-tunggu, jangan mendekat, t-tu-aaaaaa!!"

Anak perempuan itu bernama panjang Latiffah Haydar, dia lebih sering dipanggil Tifa. Dia terlihat cantik dan berkesan tomboy. Dia memiliki cita cita untuk menjadi komikus terkenal, itu yang sering dia katakan tapi aku tidak pernah melihat dia menggambar sekali pun. Aku juga ingin bilang kalau dia teman masa kecilku, tapi itu terlalu mainstream, jadi aku menyebutnya 'teman masa lampau'.

Kelihatannya Tifa sedang sibuk menarik rambut pirangnya Jawa. Aku tidak akan mengganggu mereka dulu. Aku berjalan memutari mereka dan melihat Jawa memegang kepalanya yang tidak berdaya.

Kenapa Jawa tidak pernah melawan jika Tifa menindasnya, Jawa juga sering membela Tifa jika ada yang menggodanya. Aku sudah lama memikirkan ini, apakah Jawa punya rasa terhadap Tifa?. Kesampingkan dulu hal itu, sepertinya aku melihat sesuatu yang menarik di dahi Tifa.

"Hey. Apa yang kau lihat Ara? Apakah jidatku terlihat begitu indah bagimu?" kata Tifa setelah melepaskan tangannya dari rambut jawa dan menunjuk kearah dahinya. Aku tidak tau kenapa jawa terlihat kecewa setelah Tifa berhenti menjambaknya.

Setelah melihat Jawa aku berbalik melihat ke arah dahi Tifa dan mencipitkan kedua mataku. Lalu, aku menyadari satu hal.

Gubrak!. Aku melempar tasku ke tempat dudukku dan berlari keluar kelas dengan sekejap dan berkata:

"M-maafkan aku Tifa! Aku sumpah aku akan bertanggung jawab!"

"Alfa Ara Aksara!!!"

Aku masih bisa mendengar Tifa yang geram sedang meneriaki namaku dari dalam kelas.

PAINTEARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang