Aku merindukan rona senja
Merindukan kilau pelangi setelah hujan reda
Rindu warna-warna dalam hidupku
Ini tersebab kau yang pergi
Dan segala hal dalam hidupku, menjadi hitam putih
-A-Alysha menutup notebook yang berisi puisi-puisi klisenya. Meletakkan di pangkuannya. Pandangannya terangkat, menatap lurus pada fajar yang akan menjelang. Di loteng inilah sebagian besar waktunya ia habiskan. Menatap langit, mega, fajar, dan senja. Semua yang menarik perhatiannya, sekaligus penenang hatinya.
Mentari merangkak naik. Alysha masih diam dalam kebungkaman. Tiba-tiba matanya terasa perih, tak lama setelahnya bulir air mata mengalir. Selalu seperti ini. Entah luapan rasa apa yang mengisi hatinya hingga membuatnya semelankolis ini. Oh, atau mungkin pikirannya yang penuh akan sosok di masa lalu yang sialnya hingga kini sangat sulit untuk ia lupa.
Alysha menunduk, acuh pada fajar yang sedang indah-indahnya. Hingga sebuah nama tertangkap oleh matanya.
Abdi.
Sebuah nama yang tertulis di sampul notebooknya. Pria yang begitu dicintainya namun juga paling dalam menancapkan luka. Memang sudah kodratnya, jika cinta dan luka selalu berjalan bersama.
Alysha membuang napas kasar sebelum beranjak. Membersihkan piyama biru yang sedikit berdebu dan berbalik untuk masuk ke dalam rumah. Emosinya pagi ini sedang tidak stabil. Dan sangat tidak baik berlama-lama di bawah fajar yang cukup memukau pagi ini.
Ah, Alysha lupa, fajar memang selalu menakjubkan setiap harinya.
Langkah Alysha rupanya terdengar oleh ibunya yang sedang memasak di dapur. Sebab tak lama setelahnya terdengar suara ibu Alysha yang menginterupsi dirinya agar membantu memasak di dapur. Notebooknya ia masukkan ke dalam saku baju piyamanya.
"Masak apa Ma?" Alysha berdiri di samping ibunya yang sedang memotongi beberapa sayuran.
"Mama pingin bikin cap cay nih," ucap ibu Alysha menyerahkan pekerjaannya pada Alysha. Ibunya berputar untuk mengambil bahan yang lain di kulkas belakang mereka.
"Ma," lirih Alysha dengan setetes air mata di pipinya.
Ibunya tak mendengar lirihan Alysha dan terus mencari sesuatu di dalam kulkas.
Alysha menelan ludah, mengangkat wortel dalam genggamannya dengan tangan gemetar. "Ma, sejak kapan wortel warnanya abu-abu?"
Ibunya mematung. Namun hanya sesaat, dan setelahnya langsung beranjak untuk memeluk Alysha. Alysha menangis sesenggukan di bahu ibunya. Tangannya masih menggenggam wortel yang katanya berwarna abu-abu itu.
"Sudah ya, kamu ke kamar aja," ucap Ibu Alysha dan mencium kening anak semata wayangnya tersebut.
Alysha meletakkan wortel yang basah akan keringat di telapak tangannya di atas meja makan dan berjalan lunglai ke dalam kamar.
Seperti permintaan Alysha dua bulan yang lalu, semua warna di dalam rumahnya telah dihapuskan. Diganti dengan warna-warna monokrom. Hitam, putih, dan abu-abu.
Syukurlah ia memiliki kedua orang tua yang begitu menyayanginya dan menuruti segala keinginannya.
Pagi yang melelahkan. Tak biasanya Alysha cengeng seperti ini. Mungkin sebab periode bulanannya yang masih hari kedua.
Alysha mengeluarkan notebooknya untuk diletakkan di atas nakas. Tidur terlentang dengan pandangan mengarah ke langit, rupanya membuat dirinya kembali mengantuk.
Hari Minggu memang waktu yang sangat tepat untuk tidur pagi.
***
Sebuah ketukan pintu membangunkan Alysha dari tidurnya. Matanya melirik jam yang berada di atas meja.
Pukul 08.55 AM
"Al?" suara ibunya yang di susul tiga ketukan pada pintu membuat Alysha segera bangun.
"Iya Ma, sebentar," sahut Alysha sembari mengikat rambut panjangnya yang sedikit berantakan.
Pintu terbuka, menampakkan Ibu Alysha yang sudah cantik dan wangi. Sangat berbeda dengan Alysha yang cuci muka saja belum.
"Kenapa Ma?"
Terlihat Ibu Alysha yang seperti ragu ingin mengatakan sesuatu. "Itu, ada Abdi nyariin kamu."
Alysha mematung. Sebuah rasa bahagia membuncah, namun kecewa setelahnya. Sebuah rindu akan segera terbayar lunas, namun kenyataan bahwa Abdi tidak lagi sendiri menampar Alysha bersamaan.
Akhirnya Alysha hanya mengangguk mengiyakan dan berjalan mendahului Ibunya.
Sebuah punggung pria berkemeja abu-abu tertangkap matanya. Alysha rindu sosok itu. Bawah sadar Alysha ingin lari dan memeluk tubuh itu. Namun syukurlah kesadaran masih memegang kendali.
Abdi sudah berkekasih Alysha.
"Ada apa Di?" suara Alysha membuat tubuh itu bergerak menghadapnya.
"Main aja," ucap Abdi sembari mengikuti Alysha untuk duduk di hadapannya.
Mereka hanya diam dalam beberapa detik yang sangat panjang. Sebuah meja diantara mereka juga tidak ingin memecah kesunyian. Alysha enggan memulai percakapan. Sementara Abdi masih memilah kata untuk diucapkan.
"Di rumah aja Al?" akhirnya Abdi membuka suara. "Minggu loh ini," lanjut Abdi berusaha mencairkan suasana.
"Iya nih, nggak ada yang ngajakin keluar soalnya," balas Alysha tanpa maksud apapun.
"Yaudah, nih aku ajakin. Al, jalan yuk?" ucap Abdi dengan senyuman yang begitu Alysha puja dulunya. Namun kini, dia tidak berhak berbahagia sebab senyum yang pada saat ini tertuju untuknya sudah bukan miliknya.
"Eh, apaan sih? Bukan gitu. Ucapanku yang tadi bukan kode loh ya." Alysha malu. Apa Abdi telah mengira bahwa ucapan Alysha yang lalu merupakan sebuah kode untuk ajakan keluar? Salah besar dia.
"Iya, tahu. Kalaupun kamu gak bilang gitu, aku tetep mau ngajak kamu pergi." Abdi terkekeh. Mungkin sebab keberhasilannya menangkap rona merah di pipi Alysha.
"Eh? Kirain cuma mampir," ucap Alysha mati-matian menahan keinginan untik berteriak kegirangan.
"Sengaja dateng sih. Lagi kangen kamu soalnya hehe," ucap Abdi tanpa tahu efek dari kalimatnya.
"Apaan sih." Alysha berusaha membuang muka. Namun rupanya lagi-lagi Abdi berhasil melihat rona pipinya. "Yaudah aku mau siap-siap dulu." Segera Alysha beranjak dari sana. Jika tidak, mungkin Abdi akan mendengar degup jantungnya yang tidak karuan. Dan itu akan semakin mempermalukan dirinya di hadapan... mantan pacarnya?
Alysha lupa, hubungan diantara mereka masih samar. Meskipun diam-diam, Alysha sudah mengetahui hubungan antara Abdi dan Karin. Untuk saat ini saja, biarkan Alysha bersikap seolahmereka masih bersama, seolah tidak ada Karin diantara mereka.
Alysha berjalan ke kamarnya dan mendapati ibunya yang sedang menatap Alysha dengan pandangan yang sulit diartikan.
Alysha menghentikan langkahnya. "Kenapa Ma?"
"Kamu... Mau keluar ya?"
Alysha menghela napas. "Alysha nggak papa Ma, Alysha bisa jaga diri."
"Tapi.." ucapan Ibu Alysha menggantung. Namun tiada kalimat penerus setelahnya. Hanya gelengan dan sebuah pelukan.
Alysha membalas pelukan Ibunya. Ia mengerti kekhawatiran ibunya. Tapi Alysha memang sedang baik-baik saja. Semoga.
10 menit kemudian, Alysha sudah keluar dari kamarnya. Tidak, Alysha tidak mandi tentu saja. Sebab jika ia mandi terlebih dahulu, Abdi pasti sudah mati kebosanan.
"Yuk," ajak Alysha pada Abdi yang kini sedang menatapnya.
Abdi berdiri dari duduknya. "Cepet banget. Kamu nggak mandi ya," tebak Abdi yang seratus persen benar.
"Kamu tahu sendiri mandiku seberapa lama. Jadi mending ayok berangkat sekarang biar nggak siang-siang amat."
"Yaudah-yaudah." Abdi mengalah seperti biasanya.
Mereka berpamitan pada Ibu Alysha sebelum meninggalkan rumah dengan cat putih tersebut.
***
1/3
Tbc...
KAMU SEDANG MEMBACA
Alysha
General FictionNamanya Alysha. Dan luka, mengubah segalanya. Copyright © 2019 || Nanda Rs