Alysha 6.1

33 2 0
                                    

Dalam pelarianku, aku bertemu kamu

Kamu membuatku betah, membuatku merasa diterima

Membuatku merasa berharga

Namun setelah semua kisah, kamu menegaskan bahwa ada hati yang sedang kau tunggu
Dan sayangnya itu bukan aku
-A-

Kita selalu memiliki cara masing-masing dalam hal menepi, mencari kesunyian, menenangkan diri, berlari sejenak dari permasalahan.

Jika segala yang telah kurencanakan dan kuharapan tidak berjalan semestinya, aku akan selalu berakhir di perpustakaan. Meminjam belasan buku, berakhir dalam kamar selama beberapa hari. Tenggelam dalam kisah klise, dongeng lama, atau apapun yang bisa membuatku lupa akan kehidupan nyata.

Setelah waktu rehatku selesai, aku akan kembali menyusun langkah-langkah, harapan, dan juga doa-doa agar semua berjalan sepatutnya. Namun tidak kali ini. Rumah tidak bisa ditempati lagi. Frekuensi pertengkaran kian bertambah, bahkan masalah lap yang tidak pada tempat bisa dijadikan bahan keributan.

Buku tidak lagi mampu menahanku. Kamarku tidak cukup kedap suara. Kantuk tidak berani mendekatiku. Dan setelah segala usaha tiada hasil, aku memutuskan mengambil langkah.

***

Saat itu subuh dan matahari sudah sedikit naik, namun kamu baru memasuki mushollah dengan langkah tergesa, dengan sarung yang kau gunakan sekenanya. Saat itu, bagiku kamu hanya manusia yang kutertawai dalam hati lalu akan kulupakan setelahnya. 

"Alysha?" aku menoleh pada sebuah suara yang memanggil namaku.

Aku tersenyum dan menjabat tangannya. "Mas Arga, ya. Alhamdulillah aku nggak perlu repot-repot nyariin."

Dia Mas Arga. Orang yang kutemui melalui media sosial, yang bersedia kuekori dalam perjalanan kali ini.

Menuju tempat kumpul rombongannya, Mas Arga banyak bercerita dan lebih banyak lagi menyindir diriku.

Tidak apa, katanya. Tidak apa untuk menepi dan bersembunyi asal setelahnya harus kembali mengayuh sepeda lagi, meneruskan kehidupan kembali. Tidak semua masalah memerlukan jawabannya sekarang.

Aku tersenyum ringan dan mengangguk kecil. Lalu suara yang memanggil nama Mas Arga diiringi derap lari membuatku ikut menghentikan langkah.

Saat itu kedua kalinya dalam kurun waktu kurang dari lima belas menit aku mendapatimu melangkah tergesa dengan satu tangan menahan ikatan sarung. Aku menunduk, tersenyum kecil. Sepertinya dalam kisah kali ini, kamu yang menjadi porosnya.

"Astaghfirullah banget. Berangkat ditinggal, sekarang balik pun ditinggal ckckck abang macam apa dirimu, Bang."

Mas Arga mengenalkan diriku padamu, dan kala itu kamu mengenalkan dirimu sebagai Dewa.

Nama yang megah; Dewa.

***

Sepanjang perjalanan aku banyak diam, sementara dirimu tidak pernah berhenti bercerita. Meski keengganan kerap kali tampak dalam rautku, namun kamu tidak peduli. Kamu tetap berceloteh mengenai apapun. Apapun.

Aku ragu pada dirimu yang seperti ini karena disuruh Mas Arga menemaniku atau memang dirimu yang berniat merecoki diriku. Satu hal yang pasti, pelarianku kali ini tidak akan mudah. Sebab kamu sangat mengganggu. Batinku pada awalnya. Tapi siapa sangka justru dirimulah yang membuatku merasa betah.

Atensi kecil darimu saat menyuruhku memperhatikan langkah, tepukan kecil di bahu beserta kalimat penyemangat yang sayangnya tidak terlalu memberikan dampak namun sedikit berhasil menerbitkan sedikit senyuman, tawaran air minum yang lebih sering kutolak namun tetap berulang kali kau tawarkan, dan banyak hal lain yang membuatku lupa pada masalah-masalah yang kutinggalkan di belakang.

Benar, saat itu kamu benar-benar menjadi poros. Aku lupa alasanku melakukan perjalanan ini. Aku lupa alasanku berlari, aku lupa alasanku menepi.

Setelah perjalanan sulit dan panjang, bagiku yang pemula, kita sampai pada pos kelima. Saat itu menjelang maghrib, kita bergegas mendirikan tenda lalu sholat berjamaah.

"Dewa mana?" tanya Mas Arga pada kita semua yang menyadari bahwa adiknya belum bergabung untuk makan malam. Kemudian dengan tergesa, lagi, kamu datang dari belakangkudan mengambil duduk di sebelahku. "Maaf, dari buang air."

Aku menawarkan padamu teh hangat yang memang sengaja kusiapkan barangkali kau duduk di sebelahku. Benar, semua berjalan seperti yang kuharapkan. Saat itu semesta sangat mendukung kita bukan?

"Makasih, Ica." Aku mengangguk dan mulai mendengarkan Mas Arga. Katanya summit akan dilakukan pukul tiga pagi dan setelah ini kita diharapkan langsung istirahat. Katanya puncak masih enam jam lagi. 

Seperti kata Mas Arga, kita semua langsung istirahat, bangun pukul setengah tiga dan melakukan persiapan untuk melakukan perjalanan menuju puncak.

Sejak awal tujuanku ikut memang bukan untuk mencapai puncak, namun hanya sekadar menilik suasana baru, berkenalan dengan orang-orang baru, memulai sedikit kisah baru yang membuatku dipertemukan dengan dirimu.

"Mas Arga, aku nggak ikut, aku jaga tenda aja."

"Oh, okei." Mas Arga semudah itu mengerti.

Sebelum benar-benar pergi, Mas Arga menepuk pelan puncak kepalaku dan berkata, "Ada Dewa." Aku mengangguk dan tersenyum kecil merasakan kehangatan dan aura positif dari Mas Arga. Hal yang sudah lama sekali kurasakan sejak kepergian Mama.

Setelah Mas Arga dan rombongannya pergi, aku diberitahu oleh Mbak Irma, orang yang juga memilih tinggal, bahwa sekitar dua jam naik maka akan ada tempat yang cukup lapang untuk melihat matahari terbit. Apabila beruntung dan cuaca mendukung, maka akan tampak Mahameru.

Tepat saat aku selesai menyiapkan perbekalan, kamu keluar tenda dengan wajah panik, bertanya pada Mbak Irma, "Abang udah berangkat? Kapan? Udah lama? Sialan." Lalu secepat itu pula kamu masuk kembali ke dalam tenda, sedang aku dan Mbak Irma menertawaimu yang sepertinya memang sengaja tidak dibangunkan.

Selang dua detik kamu kembali keluar tenda dan memandangi diriku, seolah baru sadar bahwa aku ada di sana. "Loh, Ica?" Aku dan Mbak Irma kembali tertawa.

Kata Mbak Irma kamu terlalu riuh, itulah sebabnya Mas Arga kadang enggan mengajakmu dalam pendakian. Kata Mbak Irma juga, kamu dan Mas Arga seperti dua kutub yang berbeda namun sama-sama mampu menenangkan dengan cara yang berbeda pula.

Iya, akhirnya dirimu yang menemaniku melihat matahari terbit pertamaku di ketinggian 2000 meter lebih di atas permukaan laut.

Anehnya dua jam yang kita lalui berdua itu habis dalam keheningan. Kamu diam, begitu pula dengan diriku. Kamu sibuk pada hal-hal yang memenuhi kepalamu, dan sepertinya kamu juga lupa bahwa aku sedang bersamamu.

Aku mengikuti langkahmu dalam diam, menerka apa yang membuatmu tidak membuka obrolan. Sementara aku terlalu takut untuk memulai, takut mengganggu dirimu yang begitu khidmat meniti jalan.

Lalu kamu tiba-tiba menghentikan langkah dan berkata, "Kamu duduk aja, Ca. Tak buatin susu hangat. Atau mau subuhan dulu juga boleh."

Kita bergantian sholat subuh, lalu duduk berdampingan namun berjarak menunggu matahari terbit dengan kedua tangan yang masing-masing menggenggam segelas susu coklat panas.

Setelah sekitar lima belas menit tanpa suara, akhirnya kamu berbicara. Kamu membuatku mendengar hal yang tidak seharusnya. Aku ingin menghentikanmu namun tidak sampai hati sebab kalimat yang keluar dari mulutmu begitu deras seperti sebuah pelepasan yang hanya ingin didengar.

Kamu terlihat seperti sedang mengurai beban yang selama ini membebani pundakmu. Meski ada sisi diriku ingin membungkam mulutmu, tetap saja aku tidak bisa sebab saat itu aku menyadari posisiku. Aku hanya orang baru.

***

Tbc...


AlyshaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang