Alysha 5.2

23 3 0
                                    

Setelah kejadian yang membuat satu kota gempar tersebut, Alysha baru bisa diajak bicara tiga bulan kemudian. Tidak banyak, tapi setidaknya ada kemajuan.

Selama itu ia berada di sebuah rumah rehabilitasi untuk perlahan mengembalikan kesehatan jiwanya dari trauma.

Hari-hari setelah kejadian yang traumatis tersebut dilalui Alysha dengan diam, tatapannya menerawang jauh, mulutnya enggan mengeluarkan sepatah kata, bahkan untuk berkegiatan sehari-hari ia harus dibantu oleh suster di sana.

Entah kapan Alysha akan kembali menemukan senyumnya, yang pasti tidak dalam waktu dekat.

Dua orang suster memandang Alysha di ambang pintu kamarnya. Alysha baru saja disuapi untuk makan siang. "Dia Alysha yang 'itu'?" tanya salah seorang suster pada suster lain yang ditugaskan merawat Alysha; Sarah.

"Iya, yang 'itu'."

"Gimana sih kejadian sebenernya?"

Sarah menutup pintu kamarnya dan berjalan di lorong, menimbang-nimbang harus dari mana ia memulai bercerita.

Yang sebenarnya terjadi ialah Alysha mengidap skizofrenia sejak Ayahnya meninggal. Ayah yang selama ini dekat dengannya dijemput maut secara tiba-tiba dalam sebuah kecelakaan tanpa tanggung jawab, tentu hal tersebut membuat kejiwaan Alysha terguncang. Ia terluka sangat dalam.

Sampai beberapa waktu berlalu, Mama Alysha sadar bahwa ada yang salah dengan putrinya. Beberapa waktu Alysha sering melamun, di waktu yang lain Alysha berbicara sendiri, dan kerap kali Alysha berkisah pada Mamanya mengenai hal yang tidak pernah terjadi.

Mama Alysha mengambil langkah untuk memberhentikan Alysha dari sekolah.

Mamanya takut untuk membawa Alysha ke rumah sakit. Ia takut berjauhan dengan satu-satunya harta paling berharga yang ia punya. Singkatnya, Mamanya tidak berani menghadapi fakta yang sebenarnya.

Dan dia tidak tahu bahwa ketakutannya itu yang akan membawa akhir dari hidupnya.

Sepanjang hari dihabiskan Alysha duduk di beranda belakang rumahnya. Mama Alysha enggan memasukkan Alysha ke rumah sakit atau memberikan pengobatan selayaknya, sebab ia berkeras menganggap bahwa putri satu-satunya itu baik-baik saja.

Sebagai gantinya, ia mengupah Mbak Asih untuk merawat Alysha selama dua tahun belakangan saat Mama Alysha bekerja.

"Skip bagian itu, langsung ke bagian yang 'itu' aja."

"Ish, dengerin aja kenapa sih," ucap Sarah sedikit geram sebab temannya yang tidak bisa bersabar.

Satu minggu sebelum malam tahun baru, tepat saat Alysha berulang tahun ke-17, polisi mendapat telepon dari Alysha yang mengatakan bahwa di rumahnya terjadi perampokan dan pembunuhan.

Namun faktanya tidak demikian.

Harta benda di rumah itu tidak ada yang hilang, semuanya lengkap. Tidak ditemukan sidik jari orang lain di pisau yang digunakan untuk menusuk jantung dan perut Mama Alysha selain sidik jari Alysha sendiri.

"Jadi beneran yang ngebunuh Mamanya dia sendiri?"

Sarah mengangguk membenarkan.

Melalui cctv dapur, diketahui bahwa saat jam makan malam, seperti biasanya Mamanya menyuapi Alysha makan.

Mamanya kembali ke kamar lebih awal, meninggalkan Alysha yang masih menikmati coklat hangatnya.

Hingga pukul sebelas, Alysha berjalan perlahan dengan pisau tergenggam. Ia tidak ke kamarnya, melainkan ke kamar Mamanya yang berada di sebelahnya. Tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi di dalam kamar Mamanya, tapi yang pasti, saat hampir tengah malam, Alysha terlihat menyeret tubuh Mamanya yang telah tak bernyawa ke belakang rumah. Beberapa saat kemudia Alysha mencuci tangannya, melempar pisau ke tempat sampah, dan kembali ke kamarnya.

Tepat saat dentang jam tengah malam, Alysha keluar dari kamarnya dengan pandangan waspada. Ia berjalan keluar kamar dan terdiam saat menyadari sensasi asing di telapak kakinya. Kejadian setelahnya kalian tahu sendiri bagaimana.

"Lah terus kok bisa dia ngelakuin itu ke Mamanya itu gimana?"

"Namanya juga skizo, dia nggak bisa bedain mana yang nyata mana yang ilusi. Tapi ada asumsi dari dokter yang nangani dia. Katanya 'hal-hal' tersebut mungkin representasi dari imajinasi Alysha, tapi dia nggak tau kalau imajinasinya ternyata bukan imajinasi. Ngerti nggak sih? Kayak dia merealisasikan apa yang ada di kepalanya gitulo."

"Eh ngeri juga ya, skizo mix psikopat ya gini." 


***

"Sarah, gue balik dulu ya."

Sarah mengangguk dan tersenyum pada temannya yang pulang lebih awal. Sejak Alysha dirawat di sini, ia harus mengorbankan malam-malamnya yang penuh ketenangan.

Setiap tengah malam, Sarah harus selalu berjaga di kamar Alysha sebab pada dentang jam 12 Alysha akan mulai mendapat mimpi buruk dan histeris dalam tidurnya. Seringkali Sarah harus memberinya obat penenang agar tidak mengganggu pasien kamar lainnya dan memicu histreia massal, sebab Alysha yang sulit untuk sadar dari mimpinya sendiri.

Sarah tidak tahu apa yang masih menghantui Alysha bahkan sampai ke dalam mimpinya. Sarah tidak tahu kejadian traumatis mana atau siapa yang setiap malam datang dan mengganggu ketenangan Alysha.

Bahkan saat bulan-bulan pertama Alysha datang, ia kerap enggan untuk memejamkan matanya. Baru saat lewat tengah malam Alysha akan tertidur.

Tidak ada yang tahu mimpi buruk apa yang membuat Alysha bahkan tidak bisa tenang dalam tidurnya. Tidak ada yang tahu kecuali Alysha sendiri.

***

Aku tahu masih banyak kekurangan di sana sini, tapi terima kasih ya sudah mau membaca sampai selesai.

Kisah ke-5 ini menjadi tanda bahwa buku ini sudah setengah jalan dari kata tamat, yeay.

Semoga suka, ya☀️
Sampai jumpa di cerita Alysha lainnya <3

Xoxo

AlyshaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang