Chapter 12

12.1K 403 212
                                    

"PLAKKK"

Aku terperangah, memegang pipiku yang di tampar. Terlihat Zahra menggepalkan tangannya di udara, membuktikan dia lah yang sudah menamparku tadi.

"KAU!"

Mataku menatapnya sengit. Hingga dia mendorong tubuhku agar menjauh." Sudah aku bilangkan, jangan dekati aku!" teriaknya marah.

"Aku membantumu bukan mendekatimu!" balikku berteriak, kesal dengan tindakannya tadi.

"BOHONG!" jawabnya tak percaya.

Aku berdesis, menendang lemari sebagai pelampiasan. "TERSERAH!" Tukasku, meninggalkan kamar dengan membanting pintu.

Di luar kamar berdiri beberapa pelayan, mereka langsung kucar-kacir ketika melihatku sudah melayangkan tatapan tajam. Jelas mereka sedang mencoba menguping pertengkaran ku tadi. Kesal, aku mengacak rambutku gusar, menuruni tangga ingin pergi ke suatu tempat. Kemana saja asal hatiku bisa kembali tenang.

***

#Author POV

Damian memilih pergi ke taman belakang rumah. Hawa dingin mulai menyerang, tetapi ia tak peduli.

Jam yang melingkar di tangan kanannya sudah menunjukan pukul tiga dini hari. Damian menghembuskan nafas, kemudian duduk di kursi taman. Hanya orang gila saja mau tidur di luar sedangkan ia mempunyai kamar sendiri dan itu adalah dirinya sendiri.

Demi menjauhi Zahra, lebih tepatnya untuk menuruti keinginannya untuk menjauh. Terpaksa ia harus mengalah, merelakan tubuhnya berbaring di kursi kayu dan menjadikan dua tangannya sebagai bantal. Matanya memandang langit. Tak ada apapun disana, hanya kekosongan yang ia lihat.

Tiba-tiba bayangan Zahra melintas begitu saja. Damian berdesis. "Kalau tahu cinta seperti ini. Lebih baik tidak jatuh cinta saja." Celetuknya, memejamkan mata. Berharap bayangan-bayangan Zahra bisa menyingkir dari ingatan.

Dari jauh Zahra sedang duduk di lantai. Menatap Damian tengah tertidur tak nyaman di kursi taman. Sesekali dia menghela napas berat, merasa bersalah sudah menampar Damian tadi.

"Kenapa tidak bicara saja mau memindahkanku. Kenapa harus marah," keluhnya, memeluk lutut.

Setelah sadar ia berada di ranjang. Zahra baru tahu kalau Damian sudah memindahkannya ke ranjang. Mungkin dia tahu kalau ia tak bisa tidur di kursi.

"Padahal kamar banyak. Buat apa dia tidur di kursi? Apa dia tidak kedinginan." Gumamnya heran.

Di rumah Damian terdapat empat kamar, 1 kamar sudah di isi olehnya dan Damian. Sebenarnya Zahra ingin mempunyai kamar sendiri, tapi belum sempat bicara pada pria itu. Apalagi ia khawatir kalau ibunya Damian datang tiba-tiba dan melihatnya tidur di kamar yang terpisah, pasti dia akan kecewa. Setidaknya ia memikirkan perasaan ibu Damian, tidak seperti Damian yang memikirkan diri sendiri.

Melihat Damian seperti kedinginan. Zahra berdiri, berlari untuk kembali ke kamar. Kemudian membawa selimut dan bantal, dengan hati-hati ia menyelimuti Damian sampai bahu. Lalu mengangkat kepalanya, menyelipkan bantal di bawah.

"Huh," Zahra menghembuskan napas lega, karena Damian tak bangun.

Baru saja Zahra ingin berbalik hendak kembali ke kamar, sebelum tangannya di cekal. Spontan Zahra tersentak, wajahnya langsung pucat-pasi, mengigit bibir bawahnya kuat-kuat.

Mati Batin Zahra memejamkan mata.

"Kalau perhatian langsung saja. Tak perlu sembunyi-sembunyi," sindir Damian.

Zahra menarik tangannya." Aku hanya kasihan bukan perhatian." Elaknya kesal.

"Sama saja." Damian mengubah posisinya menjadi duduk agar lebih nyaman bicara.

Azzahra & DamianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang