📷
Langit sore itu sudah didominasi oleh warna jingga dan sedikit semburat merah muda, melukis luasnya angkasa dari tempatnya berpijak dengan warna indah yang menyejukkan mata.
Deburan ombak di belakangnya terdengar seperti alunan musik yang menenangkan, membuat Seulgi ingin berlama-lama merekam semua yang ada di dalam memori otaknya.
Pemandangan yang terlalu indah untuk dilewatkan begitu saja menurutnya.
Ia lalu menyapu pandangannya, melihat ke ufuk barat di mana matahari sudah sebagian tenggelam ditelan tenangnya lautan.
Ini adalah waktu yang Seulgi tunggu-tunggu.
Magic hour.
Di mana tata pencahayaan sudah diatur sedemikian rupa oleh alam, membuat semua hasil jepretan terlihat sempurna dengan sendirinya.
Ia mengangkat kamera, mengabadikan perpaduan warna dengan birunya langit sebagai kanvas. Telunjuk Seulgi bergerak lihai menekan shutter, sesekali mulutnya berdecak kagum menangkap pemandangan di balik viewfinder.
Magic hour is truly magical.
Tersenyum puas, Seulgi lalu menurunkan kameranya seraya mengecek hasil yang sekarang memenuhi galeri fotonya.
"Well...."
Jemari Seulgi berhenti bergerak mengulas foto-fotonya ketika suara lembut itu menyapa pendengarannya. Ia menengadah dan pandangannya jatuh tepat di manik cokelat perempuan berparas cantik dengan surai hitam yang panjangnya melewati bahu. Perempuan itu menatapnya dengan salah satu sudut bibir yang melengkung, membuat napas Seulgi sedikit tercekat setelah melihatnya mengulum senyum. Satu hal yang tidak bisa ia pungkiri dan tidak bisa lupakan sejak pertemuan pertama mereka adalah fakta bahwa orang asing ini luar biasa cantiknya.
Terlalu cantik hingga Seulgi sendiri sempat ragu apa gadis itu benar manusia dan bukan bidadari yang turun dari kayangan.
Oke, terdengar berlebihan namun Seulgi bersungguh-sungguh dengan ucapannya.
Gadis itu terlalu sempurna untuk menjadi manusia.
Sesuatu mengerling di balik kedua bola mata yang tengah menatapnya lurus sekarang. "Aku manusia kok."
Seulgi refleks terbatuk setelah mendengar gadis itu berujar pelan, seolah mampu membaca isi pikirannya barusan.
Astaga, tunggu dulu.
Jangan-jangan dia memang bisa membaca pikirannya?!
"Tidak. Kau saja yang menyuarakan isi kepalamu dengan keras dan aku hanya membantu menjawabnya."
Lagi?!
Seulgi meringis mendapati gadis itu tersenyum kecil pasca menjawab. Oh Tuhan, dia pasti terlihat sangat bodoh sekarang. "Uh, maaf. Mulutku ini kadang suka berbicara diluar perintahku."
"Ya, aku menyadarinya setelah kau memanggilku dengan sebutan malaikat di depan altar gereja St. George's Parish."
Seulgi tertawa renyah, merutuki kebodohannya sambil sesekali membetulkan tali kamera yang menggantung di lehernya dengan canggung.
Oh, benar.
Bagaimana bisa ia memanggil orang yang tidak dikenalnya sama sekali dengan sebutan malaikat?!
Dan yang lebih buruk, gadis itu ternyata orang Korea juga dan mengerti arti ucapannya!
Perlu Seulgi tekankan, saat ini ia sedang berlibur di Eropa dan bertemu dengan orang Korea lain di sana sudah dapat dipastikan sangat kecil kemungkinannya.
Namun nasib berkata lain, ia justru bertemu gadis itu.
Wajah Seulgi perlahan memerah saat otaknya kembali memutar memori yang sama.
Benar-benar kejadian yang memalukan menurutnya.
"Sejujurnya aku tidak menyangka akan bertemu denganmu lagi di sini." Mata gadis itu berpaling sebentar ke samping dan Seulgi duga pemandangan laut yang indah juga membuat lawan bicaranya ini tersenyum senang. Tidak berapa lama mata mereka kembali bertemu pandang. "Di Portorož, tempat yang indah ini." Tambah gadis itu pelan yang langsung Seulgi balas dengan anggukan.
Benar, ia pun tidak menduganya.
Pertemuan pertama mereka terjadi kurang lebih lima hari yang lalu dan Seulgi mengira mereka tidak akan bertemu lagi semenjak kejadian memalukan di gereja itu. Meskipun daya tarik perempuan ini sangat besar, Seulgi tidak mungkin kembali ke tempat yang sama hanya untuk mencari keberadaan gadis yang bahkan ia tidak tahu namanya.
Oh ayolah, waktu liburannya tinggal seminggu dan harus Seulgi manfaatkan dengan sebaik-baiknya sebelum kembali ke Korea. Ya, walaupun dalam hati ia ingin saja mengenal sosok ini lebih jauh lagi jika memang diberi kesempatan.
Apalagi setelah kejadian kemarin malam, ia menjadi sedikit berhati-hati dengan sikapnya sendiri.
"Oh iya, kita belum sempat berkenalan." Gadis cantik itu mengulurkan tangannya ke depan, melihat Seulgi dengan mata yang berbinar. "Namaku Irene, Bae Irene."
Seulgi dengan ragu menerima uluran tangan itu dan sempat tersentak ketika jemari mereka bertemu. Matanya berkedip memandang bisu gadis yang masih setia menatapnya balik dengan senyum, seperti tidak terjadi apa-apa tapi Seulgi bersumpah ia baru saja merasakan sengatan listrik yang membuatnya terkejut setengah menganga.
Merasa tidak seharusnya bersikap berlebihan, Seulgi spontan menutup mulut seraya menjabat tangan Irene dengan erat. Entah mengapa jantungnya berdegup dengan sangat kencang sekarang. "A-aku," Seulgi berdeham untuk mengusir rasa gugupnya yang tiba-tiba muncul. "Aku Kang Seulgi."
"Nama yang bagus."
Alam bawah sadarnya refleks mengambil alih dan membuat Seulgi berujar dengan cepat tanpa berpikir dua kali. "Namamu lebih bagus."
Dilihatnya Irene sudah tertawa kecil sekarang, masih dengan mata yang mengerlip indah.
"Oke, nama kita sama-sama bagus."
Seulgi mengangguk menyetujui, merasakan telapak tangannya sudah dipenuhi keringat sendiri.
Ia meringis dalam hati.
Rasa gugup karena berhadapan dengan lawan bicaranya itu telah membuatnya salah tingkah.
Meski begitu Seulgi tidak menampik kegembiraan yang sekarang mungkin terpancar jelas di wajahnya.
Jadi, namanya Irene.
Seulgi tanpa sadar tersenyum, ia akhirnya mengetahui nama gadis yang telah berhasil mencuri perhatiannya selama berlibur di sana.
Dan Seulgi masih tidak bisa berhenti menatapnya. Kedua matanya sibuk memperhatikan setiap inci dari wajah gadis pemilik mata cokelat yang sangat indah itu.
Jika diperhatikan dengan saksama, nama Irene memang sangat cocok dengan gadis itu, sama cantiknya.
Entah bagaimana caranya namun Irene terlihat sangat sempurna.
Bahkan dilihat dari manapun, kecantikannya tidak bisa cukup diungkapkan dengan kata-kata. Tidak manusiawi, Irene pasti dewi atau malaikat di kehidupan sebelumnya.
"Sekarang kau tahu namaku kan?"
Irene perlahan menyudahi jabat tangan mereka, seringai kecil kemudian terbit di bibir tipis merah mudanya setelah ia lama terdiam dan hanya menatap kedua matanya. "Jadi jangan panggil aku malaikat lagi ya?"
📷
Kejutan. Jeng jet.
Oke, tampol aja katanya mau hiatus. Eek emang. Tapi mau gimana dong itu momen seulrene di LUP bikin ga berhenti senyum :(
Jadilah ini cerita. Dih. Astaga. Inget revisian. WkwkBtw ini baru ngetes ombak aja ya, belum bener-bener akan dilanjutkan hingga waktu yang ditentukan hehehe..
Oh sekarang saya nyoba nulis dialognya pake bahasa formal hahaha ditunggu responsnya :)))Sampai jumpa! ^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Magic Hour [SeulRene] ✓
FanfictionBerawal dari liburan gratis yang dihadiahi sahabatnya ke benua biru, Seulgi mencoba menikmati hari-harinya di sana tanpa teringat peliknya cinta masa lalu. Hingga sepulangnya ke Korea, Seulgi berakhir menyadari hatinya telah benar-benar dicuri oleh...