Bagian 9

225 32 2
                                    

"Oppa.. hiks.. kau bilang penyakit eonni masih dalam tahap awal. Tapi...hiks.. tapi kenapa sudah.... sudah hampir menginjak stadium tiga." Aku memeluk Namie yang setia memukul mukul dadaku. Salahku memang. Baru saja aku bilang jika penyakit Suri masih pada tahap awal atau masih baru, dan dokter membawa badai besar kehadapan wajahku. Ini salahku. Ayah tidak pernah bilang jika penyakit yang diderita oleh Suri masih terbilang baru, ayah hanya bilang kalau dia tau baru 8 bulan yang lalau. Nyatanya kanker limfoma yang bersarang di tubuh Suri, hampir menginjak stadium 3. Ia membutuhkan donor sumsum tulang belakang. Kami semua bersedia mendonorkan sumsum tulang belakang untuk Suri. Namun tak semudah itu, kami semua harus melalui beragam test untuk mengetahui kecocokannya. Dan itu tidaklah murah.

Dokter memintaku untuk melakukan diet dan juga olahraga rutin. Tapi jangan sampai aku kekurangan gizi. Dokter bilang, kemungkinan sumsum tulang belakangku cocok dengan Suri. Itu karena aku merupakan saudara kembarnya. Dan kedua karena aku masih muda.

Tubuhku tidak gendut. Hanya sedikit--- eum.. berlemak. Aku tekankan sekali lagi. SEDIKIT BERLEMAK. Yang artinya tubuhku dalam keadaan normal. Sepertinya.

Ayah dan juga ibu sudah melakukan test lebih dulu. Dan dalam dua hari, hasilnya akan keluar. Sedangkan aku akan melakukan test minggu depan. Aku akan berusaha menjaga kesehatan dan menurunkan berat badanku. Ini semua demi saudaraku. Keluargaku.

Namie?? Dia tidak bisa. Dia sedang flu. Daya tahan tubuhnya sedang lemah. Kami tidak mau mengambil resiko dengan mengikut sertakan Namie di test ini.

.........

Sore harinya aku dan juga Namie kembali ke rumah. Ayah dan ibu masih menemani Suri di rumah sakit. Sebenarnya aku masih mau menunggu, tapi ibu bilang aku harus sekolah besok. Maklum, kewajibanku yang itu tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Lagi pula sepertinya Namie takut di tinggal sendirian di rumah.

"Namie, kamu tidak lapar??" Saat ini kami berdua berada di ruang keluarga. Tengah mengerjakan pr.

"Hmm.. tapi aku malas masak. Oppa pesan antar saja ya." Niat hati ingin Namie yang masak, malah dia yang minta untuk pesan antar saja. Aku mengangguk dan mengeluarkan handphone dari saku celana, dan menelfon salah satu restoran langganan keluarga. Aku mengulurkan tanganku pada Namie. Keningnya mengkerut melihatku. "Apa??" Tanyanya.

"Kita harus patungan. Uangku tidak cukup untuk makan kita berdua.

"Huftt.. aku pikir oppa akan mentraktirku." Ia mengeluarkan dompet dari dalam tas sekolahnya dan mengambil beberapa lembar uang. Ia  menyerahkan uang tersebut padaku. "Apa oppa pikir aku tidak tahu tentang 'pekerjaanmu' selama dua bulan ini??" Ia menatapku dengan pandangan yang sangat menyebalkan menurutku.

"Apa maksudmu?? Aku tidak bekerja apa-apa."

"Jangan bohong. Aku tau, 'pekerjaanmu' ini jika di jalani dengan serius bisa menghasilkan banyak uang. Eonni juga sudah cerita. Walau dengan sedikit paksaan. Kalian ini memang benar benar partner in crime ya." Ia menggeleng prihatin.

"Ck.. ak-"

Tiiing toong

Suara bel menghentikan Namie dari aktivitasnya mengintrogasiku. Aku lalu menuju pintu. Pesanan kami sudah tiba. Aku memberikan uang pas. Tidak ada tip kali ini. Karena memang uang kami pas pasan. Untung saja cukup.

"Ini." Aku meletakkan bungkusan makanan tersebut keatas meja. Namie sudah memberaskan buku buku pelajaran kami dan mengambil piring. Ia memindahkan makanan tersebut kedalam piring dan memberikannya padaku. "Terima kasih." Ucapku.

"Oppa. Pimpin doanya." Aku mengangguk dan mulai membaca  doa sebelum makan. Selesai dengan itu kami serempak mengucapkan "selamt makan."

"Oppa. Jujur padaku. Kenapa menyembunyika  ini driku??" Disela-sela makan ia bertanya padaku perihal 'pekerjaanku'.

"Maaf sebelumnya karena tudak memberitahumu. Tapi aku sendiri tidak yakin jika ini bisa disebut pekerjaan. Yah.. bisa dibilang jika ini hanya pekerjaan yang benar benar aku lakukan di waktu luang saja. Lagi pula, Suri bercerita apa memangnya??" Aku masih setia menyuap makanan ke dalam mukutku, sedangkan Namie terlihat sedang berpikir keras.

"Eumm... bukan sesuatu yang besar sih sebenarnya. Tapi... eonni bilang kalau sebenarnya oppa bekerja di sela sela kegiatan sekolah. Kalau eonni bilang opoa bekerja sepulang sekolah sih aku percaya. Lah ini di sela kegiatan sekolah. Kan aku bingung..."

"Apa yang kau bingungkan??"

"Ah sudahlah. Jadi apa pekejaan oppa?? Aku penasaran.. kenapa cuman eonni yang di kasih tau??" Namie merengut. Mulutnya monyong minta di cubit. Dan langsung saja aku realisasikan pemikiranku barusan. Aku menarik mulutnya yang suah seperti bebek itu.

"Kau sungguh oenasaran sekali, eoh..?? Ia memukul mukul tanganku.

"Ishh.  Yasudah lah. Kalau memang mau main rahasia-rahasian, aku juga bisa. Bhy." Dengan begitu Namie pergi meninggalkanku yang masih menghabiskan sisa makananku.

'Maaf Namie, tapi kurasa ini bukan waktu yang tepat'
.
.
.
.
.



















TBC
Huaaaa.... akhirnya update juga.
Btw, ini udah berapa lama ya aku nggak update?? Draft sampai berdebu.. hehe. Maaf ya.
*sungkem dulu sama reader-nim yg masih nunggu cerita abal abal dan gaje yang tak terbantahkan ini. Sorry for typos.

Next?? Vote!!

Love, JoJoon💜

Changes > KNJ (Discontinued)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang