Jakarta

36 6 0
                                    

"Akang teh murid baru dari Korea itu? Ih, meuni kasep pisan!"

Kebayang nggak sih, gimana rasanya dicolek-colek seseorang yang sama sekali nggak kamu kenal? Aku sampai mundur-mundur. Senyum kaku. Bingung mau ngapain.

"Kenalin, aku teh namanya Masriatun Fadila. Jadi, panggil aja Dila,"

Aku mengernyit. Dia ngomong apa?

"Akang kasep nggak ngerti bahasaku? Belajar atuh, Kang! Masa bahasa calon pacar sendiri nggak tahu,"

Aku menggigit bibir. Makin ngeri melihatnya tersenyum malu-malu. Astaga, dia ngomong apa?

"Tae!" Aku menoleh. Ternyata paman Song, sopir pribadi kami dari Korea. Dia pandai bahasa Indonesia, Korea, Inggris, juga Jepang.

"Paman, dia ngomong apa?" Tanyaku menggunakan bahasa Korea. Paman Song memperhatikan gadis di depanku. Matanya meneliti. Lantas, tersenyum.

"Hallo, Om!" Dila lebih dulu menyapa.

"Hallo! Dia belum terlalu lancar bahasa Indonesia. Saya harap, Anda mau membantunya belajar,"

"Jangankan belajar bahasa, belajar merangkai hidup lebih berarti aja Dila sanggup, Om!" Paman Song tertawa. Patah-patah aku pun ikut ngengir. Hanya sebagian bahasanya yang kupaham. Sisanya entah bahasa apa. Masih asing.

"Tae, ini kamus. Mungkin kau butuh untuk melatih kosa-kata," Aku meraih buku tebal yang disodorkan paman Song. Tanpa kuduga sama sekali, Dila memukul punggung tangan paman Song. Kami sontak menoleh ke arahnya.

"Meuni kasep gini dipanggil Tai. Tai mah kotoran. Pencemaran orang ganteng ini mah!" Dila melotot. Raut wajahnya seolah siap menerkam paman Song.

"Maaf Nona, amanya Tae. T-A-E bukan Tai!" Paman Song menggeleng pelan.

"Satu lagi, nama aku teh Dila. Biasa juga dipanggil 'Neng' bukan 'Nona'!"

"Tae, paman pergi dulu. Semoga kamu tidak stres." Paman Song tersenyum getir. Ia melambai. Berjalan jauh ke arah mobil.

"Mau ke mana?" Dia menarik tas selempang yang kukenakan.

"Ke-las," jawabku dengan bahasa Indonesia yang masih terbata.

"Ih, bisa bahasa Indonesia geuningan. Barengan atuh!"

Aku membuka kamus pemberian dari paman Song. Mencari kata yang kira-kira pas untuk menanyakan siapa namanya. Setidaknya, meski sudah seminggu tercatat sebagai mahasiswa, belum ada yang bisa kuajak bicara. Mereka hanya terkikik memeperhatikan. Lama-lama aku bisa stres jika terus berlanjut seperti ini.

"Si-apa na-ma?" Dila menoleh ke arahku. Matanya mengerjap.

"Jadi kamu mau nanya siapa namaku?" Dila meloncat kegirangan. Aku terperangah tak mengerti. Apa aku salah menggunakan kata? Buru-buru kulihat kamus. Ah, benar! Tidak ada yang salah.

"Dari tadi, aku teh udah ngasih tau. Namaku itu Masriatun Fadila. Panggil aja Dila. D-I-L-A,"

"Jila?"

"Atuh Kakang Kasep jangan gitu. D-I-L-A bukan Jila. Nanaonan eta," Dila cemberut. Aku menyadari ada kesalahan dalam penyebutan.

"Di-la?"

"Nah!" Aku tersentak kala mendengar ia teriak. Astaga! Gadis di depanku kenapa begini?

"Je ileum-eun Kim Tae-hyung ibnida," aku membungkuk hormat di depannya.

"Iihhh, ngomong naon?"

Aku menelan ludah. Kenapa pula keceplosan mengenalkan nama dengan bahasa Korea.j

After Met YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang