Tanpa terasa, mobil yang dilajukan paman Song tiba di gerbang kampus. Aku segera turun. Tidak lupa membuka pintu belakang untuk mengambil kamus. Ini benda ajaib penyambung aku dan Dila. Semoga hari ini kutemui ia.
"Akang!" Aku menoleh. Itu dia! Dia berlarian menuju arahku.
"Annyeonghaseyo!" Dila langsung membungkuk ketika sampai. Nafasnya tersenggal-senggal, kelelahan. Aku balas membungkuk.
"Kamu ba-rea da-tang?" Kata-kata ini sudah kupersiapkan sedari malam. Semalam suntuk aku mempelajari pertanyaan sehari-hari. Seperti bertanya tempat, arah, juga beberapa pertanyaan lain.
"Ba-ru bukan ba-rea," Dila terkekeh.
"Kamu ba-ru dat-ang?" Aku mengulang.
"Nggak, sih. Tadi mampir dulu ke warung. Abis makan," Dila menelengkupkan tangan, seolah-olah menyendok sesuatu. Aku langsung paham dia mengajakku makan. Ah, kebetulan sekali, tadi aku belum sarapan.
Dia berjalan di sampingku. Tidak seperti kemarin, hari ini intensitas menunjuknya menurun drastis. Sesekali ia tersenyum, selanjutnya lebih banyak diam. Aku juga jadi canggung membuka pembicaraan. Biarlah nanti saja saat di kantin baru kuajak bicara.
"Kita ke perpustakaan, yuk?!"
"Aku juga la-par," aku menatapnya antusias. Dia mengernyit.
"Ayo!" ucapnya kemudian. Aku mengekor di belakang. Langkahnya menuntun kami kembali ke gerbang kampus. Setiap bertemu mahasiswa lain, Dila fasih sekali mengucapkan salam. Aku jadi terkikik. Dia ramah.
"Akang, sebenarnya, aku teh udah kenyang. Tapi ... gimana ya, Akang harus tau tempat ini. Edun!" Dila mengangkat jempol. Aku hanya mengangguk.
Satu angkot berhenti karena lambaian Dila. Aku mengikutinya masuk. Kami berhimpitan dengan penumpang lain. Sempit. Saking sempitnya, kaki-ku sampai ditindih keranjang sayur. Paha kiriku ditindih tangan nenek-nenek. Tergolek tanpa dosa. Ingin menegur, rasanya tidak sopan. Belum lagi, bau ikan, keringat, dan segala macam bercampur menjadi satu. Bikin mual!
Gadis di sampingku, biasa saja. Ia sibuk bercengkrama dengan ibu-ibu di sebelahnya.
Aku sampai menelan ludah ketika sopir menghentikan angkot. Mengangkut dua penumpang lagi. Padahal, ini sudah sangat sempit. Mereka berdua mau disimpan di mana?
"Kyaaaaa ... Oppa!" Salah satu di antaranya menjerit. Mereka berseragam putih dengan rok terusan abu-abu.
"Oppa, please foto bareng!!!" Gadis berambut pendek di sampingnya mengeluarkan ponsel. Mereka duduk menyepit di dekat kaki.
Semua mata berputar beberapa derajat, tepat ke arah kami. Aku sedikit risih jadi tontonan se-isi angkot.
Aku segera senyum ketika kamera on. Dari sekian foto, ekspresi wajahku tetap sama. Sedangkan mereka, entah berapa gaya. Maju mundur bibir, tutup mata, lantas begitu seterusnya. Dila terkekeh melihat aktivitas kami. Dua wanita muda ini terus mengoceh. Aku tidak terlalu paham selain kata 'oppa'. Beneran deh, mereka jauh lebih cerewet dibandingkan Dila.
Satu-dua penumpang turun. Angkot sedikit lenggang. Kaki-ku juga sudah tidak tertindis lagi. Dua gadis kecil itu duduk rapi menggantikan nenek-nenek. Gadis yang paling dekatku, menyenderkan kepala ke bahu. Sesekali mereka tersenyum centil. Demi sopan santun, kubalas seadanya.
Satu hal yang harus aku syukuri, tak berselang lama, Dila mengucapkan 'kiri!'. Angkot terhenti. Aku menyodorkan kartu bus pada Dila, dia malah tertawa.
"Akang, ini lain di Korea. Di sini bayarnya pakai uang bukan kartu. Money,"
"Money?" Aku merogoh dompet. Menyodorkan beberapa lembar, pengganti uangnya yang terpakai. Lagi-lagi ia tertawa.
"Uangnya di-rupiahkan dulu, Kang. Sekarang pakai uang Dila, dulu, ya?"
Aku mengangguk. Mengekor Dila yang menuju kedai makanan. Terulang lagi, ia membawaku ke tempat padat manusia. Setiap sudut kursi terisi penuh. Sekitar empat langkah memasuki kedai, perutku langsung mual. Bau tak sedap menyeruak.
"Teh, seperti biasa. Dua porsi, ya!" Seru Dila. Ia menggeleng. Tak ada kursi kosong sama sekali.
Tanpa kata-kata, aku langsung beranjak keluar lagi.
"Akang kenapa?" Keningnya berkerut, kebingungan.
Belum sempat menjawab, perutku mual. Sesuatu dalam perut berontak keluar.
"Akang!" Wajah Dila pias, kepanikan segera terjadi.
***
Aku tertunduk penuh penyesalan. Mengingat kejadian sepuluh menit yang lalu membuatku jadi merasa bersalah. Aku berlari sekuat tenaga meninggalkan kedai. Dengan pajah pias, Dila berlarian mengejar. Dia panik, mengira ada sesuatu buruk yang terjadi.
"Aku ... aku ngira Akang kesurupan. Kaget banget aku tuh, kaget!" Dila mengelus dadanya. Sisa-sisa gemetar masih nampak jelas di jemarinya.
Aku hanya bisa menunduk. Tidak tahu lagi harus berkata apa.
"Nggak apa-apa sih, Kang. Yang paling penting, Akang baik-baik aja. Nggak sakit, nggak kesurupan. Akang sehat, 'kan?"
"Kang ... jangan diam begitu, aku jadi ngerasa bersalah." Dila menepuk pundakku pelan. Aku mengangkat dagu, menatap penuh penyesalan.
"Akang tenang, ya. Tarik nafas,"
Melihat aku masih diam saja, Dila menepuk pundakku lagi. Kali ini lebih keras dari sebelumnya. "Tarik nafas, Kang!"
Dila menarik dan menghembuskan nafas perlahan, minta aku mengikuti. Patah-patah, kuturuti saja.
"Akang, laparnya jadi, nggak?" Dia membentuk kelima jarinya seolah jadi sendok. Aku menggeleng pelan, takut dibawa ke tempat seperti tadi.
"Ayo makan, Kang," bibir Dila mengerucut manja.
Aku membuka resleting tas, mengambil kamus tebal. Membukanya, mencari-cari kosakata yang tepat.
"Sa-ya ken-yang. Not hungry," ucapku pelan--hampir tidak terdengar.
"AKANG!" tiba-tiba Dila menjerit, matanya terbelalak kaget.
"Whats wrong?"
KAMU SEDANG MEMBACA
After Met You
FanfictionAku anak dari seorang diplomat Korea Selatan. Tentu saja sedari kecil aku sudah terbiasa pindah dari satu negara ke negara lain. Sebelum papa menikah, dia memiliki kekasih asli wanita Korea Selatan. Takdir cinta mungkin berulang, mantan kekasih papa...