Tentang Salman (5)

313 3 0
                                        



Ulya mendapat telfon dari sekolah anak-anaknya kalau kegiatan perjusami yang seharusnya berlangsung tiga hari harus diakhiri hari ini karena hujan yang tak kunjung reda dari tadi pagi. Bersama ratusan orangtua murid, selepas magrib ia menunggu kedatangan bis yang membawa anak-anak dari tempat perkemahan. Setengah jam menunggu, Faiz dan Fauzan turun dari bis dengan wajah lelah dan jas hujan yang sudah kuyup. Setelah masuk ke dalam mobil, keduanya langsung tertidur.

***

Sepanjang hari ini Faiz dan dan Fauzan hanya bangun untuk shalat dan makan. Barulah menjelang sore Fauzan keluar kamar untuk menonton tv.

Ulya masuk ke kamar Faiz setelah mendengar suara batuknya yang bersahutan. Faiz meringkuk di balik selimut tebal. Nafasnya terdengar berat. Ulya mengusapkan vick vaporub ke dada dan telapak kaki Faiz, kemudian memasangkan kaus kaki.

***

Ulya baru keluar dari kamar mandi ketika Faiz berdiri dihadapannya dengan badan setengah membungkuk.

"Pasang nebu, Mi." Bahunya terangkat ke atas. Nafasnya tersengal.

Ulya menggamit lengan Faiz dan membawanya duduk di ruangan tengah. Ia mengambil nebulizer yang tersimpan di lemari dan mencari ventolin di kotak obat. Ditumpahkannya isi kotak obat, tapi yang dicari tidak ada.

"Ventolin nya habis, Iz. Ummi lupa beli." Ulya memandang Faiz yang tampak kepayahan.

"Ke UGD saja, Mi. Faiz ndak kuat."

Ulya segera mengganti pakaian, membuka pintu samping dan menghidupkan mesin mobil. Faiz yang sudah berganti pakaian, langsung mauk ke dalam mobil, merebahkan badannya di kursi belakang.

Jam 4 dini hari. Ulya mengunci pintu dan menggembok pagar.

"Fauzan, Mi." Faiz mengingatkan seolah iya lupa kalau Fauzan sendirian di rumah.

"Insya Allah nggak apa-apa". Ulya meyakinkan dirinya sendiri.

***

Faiz tertidur dengan masker di mulutnya. Nebulizer sudah bekerja selama dua kali 10 menit. Meskipun belum sepenuhnya normal, melihat Faiz sudah bisa tidur cukup melegakan Ulya.

Terdengar adzan shubuh berkumandang. Ia tinggalkan Faiz sebentar dan mengambil peralatan shalat yang ada di dalam mobil.

***

Fauzan sudah siap untuk berangkat sekolah ketika mereka sampai di rumah. Selesai shalat shubuh tadi Ulya menelfon Fauzan untuk memberitahu kalau ia dan abangnya sedang ada di rumah sakit. Ia meminta Fauzan bersiap sendiri.

Ulya mencuci mukanya sebentar. Rasanya mengantuk sekali tapi tak ada yang bisa dimintai tolong untuk mengantarkan Fauzan. Fauzan sudah menawarkan diri berangkat dengan ojek online tapi Ulya tidak mengizinkan. Bagaimanapun Ulya harus tetap ke sekolah mereka untuk mengabarkan kalau Faiz tidak masuk sekolah hari ini.

***

Ulya terbangun setelah mendengar dering ponselnya. Ada lima panggilan tak terjawab dari Ni Eva. Ia berniat menelfon balik ketika menyadari kalau hari ini ada rapat di rumah tahfidz. Jam di layar ponselnya menunjukkan pukul 9.30, sementara rapat dimulai jam 9.

Ulya memijit keningnya perlahan. Sepulang dari mengantar Fauzan tadi kepalanya sakit. Ia sudah meminum obat tapi rasa sakitnya belum berkurang. Jika bukan rapat terakhir menjelang acara, Ulya mungkin akan izin saja.

Ulya tak sempat sarapan, hanya minum teh yang disiapkan Bu Mar, asistennya. Sebelum berangkat ia mengabarkan Ni Eva kalau ia akan datang terlambat.

***

Ustadz Romi, kepala rumah tahfidz sedang berbicara ketika ia masuk sambil mengatupkan tangan dan mengucapkan salam. Ia memilih duduk di barisan kedua. Kepalanya masih berdenyut, susah berkonsentrasi. Beberapa hal penting ia catat di buku agendanya, terutama yang berkaitan dengan konsumsi yang menjadi tanggung jawabnya. Ketika dimintai saran ia lebih banyak mengangguk setuju.

Rapat masih berlangsung ketika Ulya merasakan badannya gemetar. Sesuatu terasa akan berhamburan dari tenggorokannya. Ulya segera berdiri sambil menutup mulutnya, berlari menuju pintu keluar.

Ulya terduduk setelah mengeluarkan isi perutnya. Keringat membasahi wajah. Ulya bangkit dari duduknya ketika seseorang menyodorkan gelas berisi air putih.

"Minumlah." Ulya membuang pandangannya namun sebelah tangannya meraih gelas. Ulya duduk di kursi taman. Ia minum tanpa sisa.

"Sebaiknya Ustdaz masuk ke dalam. Rapat belum selesai." Ulya melangkah menuju kran air yang terletak tak jauh dari tempat ia duduk. Ia menyiram muntahannya tadi melalui selang yang terpasang.

Ulya akan berbalik menuju ruang rapat ketika Ni Eva datang menghampirinya.

"Maaf ni, kepalaku sakit sejak tadi pagi." Ulya mengusap keringatnya dengan ujung jilbab.

Eva duduk disamping Ulya. Matanya melirik Salman yang belum beranjak.

"Bawa Faiz ke UGD jam 4 tadi. Obatnya habis."

"Innalillahi....Sekarang?

"Insya Allah udah baikan. Lagi istirahat di rumah."

"Bisa izin pulang duluan, Ni?" Ulya membekap mulutnya. Terasa ingin muntah lagi, tapi tak jadi.

"Nyetir sendiri?"

"Iya..."

"Nggak bisa kalau kaya gini. Harus ada yang antar kamu pulang. Biar Uni minta tolong Pak Mus."

"Pak Mus barusan pergi, Bu, jemput karpet ke laundry. Kalau boleh, biar saya yang nyetir." Salman meminta persetujuan Eva.

Eva menatap Ulya bingung.

Ulya bangkit dari duduknya dan melangkah menuju ruang rapat. Hanya tinggal beberapa orang guru dan pengurus. Rapat rupanya sudah selesai sejak tadi. Setelah membereskan barang-barangnya, Ulya berpamitan.

Salman berdiri di dekat pintu keluar, menunggunya. Ulya melangkah dengan gugup.

"Minta kunci mobilmu. Bu Eva ikut, jangan khawatir."

Salman meraih kunci yang diulurkan Ulya. Beriringan mereka berjalan menuju mobil yang terparkir di halaman. Ulya akan meraih handle pintu belakang ketika tangan Salman sudah lebih dulu membukakan pintu untuknya.

Ulya merebahkan kepala dan memejamkan mata. Bukan mengantuk. Ia hanya tak sanggup ketika sepasang netra kerap mencuri pandang melalui kaca kecil diatas kepalanya.

Mobil menjauh diiringi tatapan berembun seseorang di sudut yang berbeda.

Cinta KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang