Tentang Faisal (2)
Januari 2005. Ulya menatap kerlap kerlip cahaya dibawahnya, cantik sekali. Perlahan titik-titik kecil yang dilihatnya semakin berwujud nyata. Sesaat lagi perjalanan panjang dari Padang-Jakarta-Singapore-Manila ini akan berakhir. Kerinduan selama tiga bulan akan menemukan muaranya. Terasa guncangan yang cukup keras ketika pesawat mendarat di Narita International Airport.
Jam tangannya menunjukkan pukul 7 malam yang berarti jam 9 malam waktu Tokyo. Ulya berjalan mengikuti papan petunjuk yang mengarahkannya ke bagian imigrasi. Antrian yang cukup panjang tapi pemeriksaan tiap penumpang berjalan dengan cepat. Bandara ini sangat besar dan ramai. Setelah semua prosedur keimigrasiannya selesai, ia mencari toilet. Ulya merapikan jilbab, menyapukan bedak tipis dan mengoleskan lip balm ke bibirnya.
Eskalator membawanya ke lantai dua, terminal kedatangan. Faisal mengatakan di telfon kalau ia akan menunggu disini. Ulya mengedarkan pandangan dan matanya berhenti disatu titik. Faisal sedang memandangnya dengan senyum yang manis sekali. Ingin rasanya segera berlari dan memeluk lelaki kesayangannya itu. Tapi ia memilih menahan diri, menanti Faisal yang datang menujunya.
Faisal memeluk dan mencium keningnya. "Cantik, miss you so badly," bisik Faisal di telinganya. Ulya membalas pelukan Faisal dan mencium pipinya. Faisal menggandeng tangan Ulya menuju tempat pengambilan bagasi. Selama menunggu dua koper besar itu datang, Faisal nyaris tak melepaskan padangannya dari Ulya.
Setelah urusan bagasi selesai, mereka berjalan menuju stasiun kereta yang terletak di basement bandara Narita. Faisal kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam ranselnya, sebuah coat panjang berbahan wol warna hitam dan memasangkannya ke tubuh Ulya. Tak lama JR Narita Express membawa mereka menuju Shibuya.
Stasiun Shibuya merupakan stasiun ke empat terpadat di Jepang yang menangani sejumlah besar lalu lintas commuter antara pusat kota dan daerah pinggiran. Hari itu Jumat pukul 11 malam. Shibuya dipadati para pekerja yang akan pulang. Untuk sampai ke peron kereta mereka harus berjalan, menuruni tangga, berjalan sampai 3 kali sambil meyeret dua koper besar. Eskalator hanya tersedia untuk naik, sedangkan lift jumlahnya terbatas.
Akhirnya mereka sampai di peron kereta menuju stasiun Azamino. Dari Shibuya ke Azamino, 15 stasiun akan dilewati. Mereka masuk ke dalam kereta yang penumpangnya berdesakan. Jangankan kursi kosong, untuk berdiripun sulit.
Baru satu stasiun terlewati, Ulya merasakan pusing dan mual. Ia berbisik ke Faisal kalau ia ingin muntah. Ketika kereta berhenti di stasiun berikutnya, bergegas mereka keluar. Ulya setengah berlari menuju toilet sambil membekap mulutnya. Faisal menunggu di luar, ingin masuk tapi tak mungkin. Tak lama Ulya keluar. Wajahnya pucat dan tangannya dingin. Faisal menuntun Ulya menuju kursi yang terletak di pinggir peron.
"Bang,masih jauh?"
"14 stasiun lagi. kira-kira setengah jam lebih dikit." Faisal memutuskan naik kereta regular karena kereta ekspres sangat padat. Ternyata di kereta regulerpun keadaannya tidak lebih baik.
Ulya merasa lebih segar setelah meminum teh hangat yang dibeli Faisal di vending machine. Malam semakin larut, setengah jam lagi kereta tidak beroperasi. Mereka langsung naik ketika kereta berikutnya datang. Alhamdulillah di stasiun ke enam Ulya bisa duduk.
Udara dingin langsung menyergap begitu mereka keluar dari stasiun. Butuh waktu sekitar 20 menit jika berjalan kaki dari stasiun ke apartemen, tapi untuk malam ini Faisal memutuskan naik taksi saja. Sudah lewat jam 12 malam ketika mereka sampai di depan bangunan berbentuk L dua lantai. Ada enam pintu dimasing-masing lantai. Mirip kos kosan tapi tiap pintu punya kotak surat sendiri dan tertera nama penghuninya.
Ulya mengikuti Faisal naik menuju lantai dua. Apato, begitu orang Jepang menyebutnya, yang Faisal sewa berada paling ujung. Faisal membuka pintu dan menghidupkan lampu, kemudian balik ke bawah mengambil satu koper yang tertinggal. Ulya memandangi tempat yang akan menjadi rumahnya dua tahun ke depan. Ada dua kamar kecil berdampingan, satu toilet, satu kamar mandi dan dapur kecil. Dindingnya dari kayu dan lantainya dilapisi sejenis jerami, bukan ubin seperti di Indonesia.
Ulya membuka satu koper yang berisi pakaian dan perlengkapan pribadinya. Ia ingin mandi kemudian shalat magrib dan isya. Ulya ragu dengan jadwal shalat ketika berada di dalam pesawat tadi, hingga ia putuskan untuk menjamaknya.
Faisal sedang membuat minuman ketika Ulya keluar dari kamar mandi. Tiga bulan tidak berjumpa membuat mereka seakan berada diawal pernikahan dulu, sedikit canggung dan berdebar-debar. Ulya terlihat sangat menawan dimatanya. Rambut yang dipotong shaggy sebahu dan baju tidur hijau muda itu membuatnya semakin mempesona.
Persiapan Ulya paripurna untuk malam ini. Tidak hanya pakaian dan potongan rambut, tapi juga sabun mandi, lotion, parfum dan perawatan tubuh menyeluruh di dua hari sebelum keberangakatannya.
Ulya tersenyum menggoda Faisal yang tak berkedip menatapnya. "Sabar ya, Dinda shalat dulu..."

KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Kedua
RomansaUlya mengatur nafasnya, "seharusnya Ustadz menikah dengan seorang gadis, perawan, bukan janda beranak dua seperti saya. "Usia...belum sempat Ulya menyelesaikan ucapannya, Salman sudah memotong, "Aku tahu umurmu lebih tua 12 tahun dariku. Tapi aku ti...