Tentang Faisal (1)

312 5 0
                                        


12 April 2004

Perasaan tegang menyelimuti Ulya. Entah berapa kali ia mondar mandir keliling rumah. Berulang mengecek ponsel seakan memastikan tidak ada pesan yang luput terbaca. Hana, kakak keduanya, tiba-tiba menarik tangannya menuju ruang tamu.

"Udah, duduk di sini. Pusing Kakak liat kamu bolak balik kaya setrikaan." Ulya cemberut.

" Tenang aja Ul, bentar lagi pangeran datang kok." Sekarang giliran Da Hamdan, kakak iparnya yang menggoda.

Tak lama, Syifa, kakak sulungnya muncul di depan pintu.

"Pangeran dah datang," senyumnya meledek Ulya. Syifa kemudian berlalu ke belakang, memanggil Ayah dan Ibu.

Syifa dan suami ditugaskan Ayah untuk menunggu Faisal di jalan besar perlintasan Padang Panjang-Bukitinggi. Kampung mereka agak jauh masuk ke dalam dan tidak seperti di kota, tak ada nama jalan dan nomor rumah.

Sesuai kesepakatan, pertemuan kali ini hanya dihadiri keluarga inti. Faisal datang bersama ibu dan adik perempuannya, Ayahnya sudah meninggal sejak ia SMA. Hari ini ia akan meminta Ulya secara resmi pada ayahnya.

Perkenalan mereka berawal ketika Faisal ditunjuk sebagai supervisor program magang Ulya yang saat itu duduk di semester 6 jurusan akuntansi Universitas Andalas. Selama lebih kurang dua bulan mereka sering bersama, hubungan sebagai rekan kerja, itu yang ada dalam pikiran Ulya. Alangkah kagetnya ia sebulan sebelum wisuda, Faisal menghubunginya, meminta bertemu ayah. Padahal semenjak magang berakhir, mereka hanya bertemu dua kali untuk meminta tanda tangan dan menyerahkan laporan magang.

Ulya meminta waktu tiga minggu untuk berfikir dan berdiskusi dengan keluarganya. Setelah beberapa kali shalat istikharah, Ulya memantapkan hatinya. Nyaris tak ada informasi tambahan yang ia dapat tentang Faisal. Keyakinan hatinya menerima Faisal justru berawal dari pertanyaan Ayah, "apakah Faisal menjaga shalatnya?"

15 Mei 2004.

Dihadapan kerabat dan tamu yang hadir, Ayah mengutip sebuah hadist, "Barangsiapa memiliki dua atau lebih anak perempuan, lalu ia bersabar dalam menghadapinya serta memberikan pakaian kepadanya dari hasil usahanya, maka anak-anak itu akan menjadi dinding pemisah baginya dari siksa api neraka".

Ini kali ketiga Ayah membacakan hadist itu. Setiap kali ketika anak-anak perempuannya menikah. Tapi mungkin ini kali yang terakhir. Dan selalu setelah selesai Ayah akan terdiam sejenak, mengusap air matanya, "terima kasih nak, telah menjadi pembuka pintu surga untuk Ayah dan Ibu."

Ulya tak dapat menahan airmata. Ayah, cinta pertamanya yang hari ini telah menyerahkan tanggungjawab kehidupannya kepada Faisal.

***

Seminggu setelah menikah mereka balik ke Padang. Faisal mengontrak sebuah rumah sederhana, hanya ada dua kamar, dengan satu kamar mandi dan dapur kecil. Rumah ini sudah ia kontrak sejak awal bekerja, namun minim perabot, khas bujangan.

Dua hari sebelum cutinya habis, Faisal mengajak Ulya belanja peralatan rumah tangga dan kebutuhan dapur. Rumah ala indekos hari itu berubah wajah. Ulya memasang gorden baru berwarna merah marun. Ruang tamu diberi karpet dan meja kecil, ada bunga sansevieria dalam pot putih persegi diatasnya. Di sudut ruangan juga diletakkan palem mini. Sementara diteras yang biasanya kosong, sekarang ada tiga pot mawar dan dua aglonema.

Menjelang zuhur rumah sudah rapi. Ulya pun sudah selesai memasak. Diletakkannya ayam balado, tempe goreng dan sayur bening bayam di meja makan yang dilapisi taplak bersulam warna gading, hadiah dari ibu Faisal.

Ulya kaget ketika Faisal tiba-tiba mencium pipinya. "Mulai sekarang aku panggil Dinda ya, panggilan kesayangan ..., " katanya sambil berlalu ke kamar mandi. Faisal bukan tipe yang talkative tapi dia sering memberi kejutan-kejutan manis. Ulya mengusap pipinya, hangat.

***

Sudah dua minggu Ulya menjalani rutinitasnya sebagai istri. Ia pun sudah berkenalan dengan beberapa tetangga. Sesekali ikut berjamaah di masjid komplek.

Malam itu, selesai makan, Faisal mengajak Ulya bicara. Sepertinya pembicaraan yang serius.

"Sebulan sebelum abang mengkhitbah Dinda, abang melamar beasiswa Manbusho-Jepang untuk program S2 ...."

"Kok Ulya nggak dikasi tau?" Ulya masih canggung menyebut dirinya 'dinda'.

"Ya...Abang pikir nanti sajalah kalau kita dah nikah. Takut berangan-angan. Jadi ... kalau sekiranya lulus, akhir September tahun ini Abang sudah harus berada di Tokyo."

"Trus Ulya?" raut mukanya berubah.

"Makanya kita diskusikan Dinda sayaaaaang ...."

"Pokoknya Ulya nggak mau kita hidup pisah-pisah. Ulya harus ikut."

"Hmm..jadi gini, awal bulan Juni ini pengumumannya keluar. Kalau lulus, bulan Agustus, Abang berangkat ke Bandung untuk pelatihan bahasa, selama 3 minggu. Akhir September Abang berangkat."

"I see...tapi karena kepastiannya belum ada, nanti aja kali kita pikirkan gimana-gimananya?" Tipe Ulya banget, let it flow ....

"Iya sih tapi sebenarnya Abang lulus atau nggakpun, Abang mau kita memikirkan kedepannya Dinda mau apa, bekerjakah? atau di rumah aja?"

"Abang nggak keberatan kalau Dinda kerja?" oops, udah nyaman menyebut dirinya 'dinda'.

"Kalau bekerja jadi pegawai kantor, berangkat pagi pulang sore, maaf Abang nggak mengizinkan. Dinda sendiri sudah ada rencana lain?"

"Dinda pengen ikut kelas baking, setelah itu pengen belajar menjahit juga. Kita tunggu dululah kepastian kelulusan Abang. Untuk sekarang ini, Dinda pengen di rumah dulu, menikmati proses mencintai yang dinikahi," tukas Ulya seraya menatap Faisal dengan senyum menggoda.

***

Waktu berlalu menuju Juni. Hari itu Faisal menerima email yang menyatakan kalau ia masuk dalam daftar penerima beasiswa Manbusho. Betapa bahagianya, keinginan untuk melanjutkan sekolah kembali dapat terwujud. Segera ia menelpon ibu dan adiknya, sedangkan kepada Ulya, Faisal memilih untuk mengatakannya secara langsung.

Bau wangi menguar ketika Faisal sampai di rumah. Ulya baru saja mengeluarkan seloyang cake pandan dari oven ketika Faisal meraih pinggangnya dan membawa Ulya ke meja makan.

"Abang dapat email hari ini dari Kedubes Jepang.."

"Trus, Abang lulus?" cecar Ulya tidak sabar.

Faisal mengangguk.

Ulya segera bangkit dari duduknya dan memeluk Faisal. "Alhamdulillah..selamat ya Bang." Tak hanya memeluk, Ulya juga menghadiahinya ciuman. Setelah lebih dari sebulan mereka menikah, Faisal mengetahui hal baru tentang Ulya, bahwa istrinya itu sangat ekspresif. Ternyata mendebarkan sekaligus membahagiakan menikmati proses ini, mencintai orang yang dinikahi.

Cinta KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang