Ulya akhirnya menyerah. Setelah Salman dan Ni Eva mengantarnya pulang siang itu, badannya panas dan muntah-muntah. Ulya pun meminta kedua orangtuanya datang ke Padang. Malam itu juga mereka membawa Ulya ke dokter dan ia diharuskan istirahat total selama tiga hari.
Selama seminggu Ayah dan ibunya berada di Padang. Selama itu iya tidak pernah keluar rumah. Ayahlah yang mengantar si kembar ke sekolah dan mengaji. Urusan toko hanya dipantau via telefon. Ia pun harus melewatkan kunjungan kerajaan Arab Saudi ke Rumah Tahfidz.
Ulya sedang berbaring di kamarnya ketika Ibu mengabarkan kalau Ni Eva dan Bang Arif datang berkunjung. Dia meminta ibu untuk menyuruh Ni Eva langsung masuk ke kamarnya sementara Ayah menemani Bang Arif di ruang tamu.
"Besok-besok tuh minta tolong, Ul, nggak bisa semuanya kamu tangani sendiri." Ni Eva memandang ibu yang duduk di ujung ranjangnya. Ibu menarik nafas panjang.
"Ingat Ul, Faiz dan Fauzan hanya punya kamu, satu-satunya orangtua mereka." Gantian ibu yang menceramahinya. Entah sudah berapa kali kalimat itu ia dengar dalam beberapa hari ini
Ulya menutup wajahnya dengan bantal. Ni Eva dan Ibu hanya saling pandang dan terdiam. Orang lain selalu melihatnya sebagai perempuan tangguh. Hanya beberapa orang yang sangat dekat dengannya lah yang pernah melihat ia menangis.
"Bukalah hatimu untuk orang lain, Ul. Kamu masih muda, anak-anak juga butuh sosok laki-laki dewasa dalam hidup mereka." Ni Eva berbicara dengan sangat hati-hati karena ia pernah berjanji untuk tidak membahas soal ini lagi dengan Ulya. Tapi melihat keadaan Ulya sekarang, dia tak dapat menahan diri.
Salman bukan satu-satunya orang yang pernah memintanya. Ada beberapa orang yang dikenalkan orangtuanya, kakak-kakak bahkan iparnya, namun semua itu tak pernah mengusik hati Ulya. Baginya tak ada laki-laki yang bisa membuat ia jatuh cinta lagi. Hanya Faisal.
***
Bulan ini Ulya minta izin untuk tidak hadir di rapat bulanan. Ia belum siap untuk bertemu Salman. Laki-laki itu masih menghubunginya ketika ia sakit, tapi ia hanya menjawab seperlunya saja.
Kelas tahfidz baru saja berakhir. Ia sudah bersiap akan pulang ketika, Zizi, guru tahsinnya memintanya untuk menunggu sebentar.
"Kita bicara disana saja, Bu." Zizi berjalan ke arah saung. Tidak ada siapa-siapa, kelas selanjutnya akan dimulai lagi setelah zuhur.
Mereka duduk saling berhadapan. Zizi terus menunduk sambil memijit-mijit jemarinya. Ulya tidak bisa menebak, pertemuan ini akan membahas apa.
"Apa Ibu mencintai Bang Salman?" Perempuan itu mengatakannya dengan bibir bergetar. Ia palingkan wajahnya dari Ulya, takut seandainya Ulya melihat air mata itu.
"Ustadzah dapat informasi dari siapa?" Ulya berusaha mengendalikan dirinya. Tak pernah ada yang tahu perihal prosesnya dengan Salman selain Ni Eva dan suaminya.
"Saya...."Zizi tampak sangat gugup. "Saya meminta Bu Eva untuk menyampaikan perasaan saya ke Bang Salman." Kelopak mata Ulya membesar. Sungguh tak pernah ia duga.
"Tapi Bu Eva bilang kalau ia sedang berproses dengan seseorang. Beliau tidak mau memberitahu siapa orangnya. Dan Bang Salman tak pernah tahu tentang perasaan saya."
"Kenapa Ustadzah mengira itu saya? "
"Saya pikir hanya dugaan saya saja. Setiap kali ada pertemuan, Bang Salman selalu berbinar menatap Ibu. Dan bulan lalu ketika Ibu sakit dan ia mengantarkan Ibu pulang, baru saya sadari kalau Ibu telah memenangkan hatinya. Apa benar Ibu lah orangnya?"
Ulya menatap takjub perempuan dihadapannya. Ia masih sangat muda, seumur Ulya ketika Faisal datang ke rumah.
"Tolong Ibu jawab pertanyaan saya." Iya memandang Ulya lekat.

KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Kedua
Roman d'amourUlya mengatur nafasnya, "seharusnya Ustadz menikah dengan seorang gadis, perawan, bukan janda beranak dua seperti saya. "Usia...belum sempat Ulya menyelesaikan ucapannya, Salman sudah memotong, "Aku tahu umurmu lebih tua 12 tahun dariku. Tapi aku ti...