0ne

10.3K 217 1
                                    

Namaku adalah Sofie dan dia adalah Eric. Aku dan dia hanya berteman. Ya. Teman sejak kecil. Kami hidup bertetangga sejak dulu. Dan di sekolah pun kami selalu bersama sejak SD. Tapi menginjak SMA, kami mulai terpisah. Dia yang mengambil sekolah kejuruan sedang aku sekolah menengah biasa. Namun demikian, kami tetap berteman. Meski pelajaran kami berbeda jauh, namun nyatanya tak ada sinkron untuk belajar bersama. Yang ada dalam pikiran kami hanyalah nyaman saat kami ada satu sama lain.

Bahkan hingga kuliah pun, kami kuliah di kampus yang sama. Mungkin karena tak ada pilihan lain ya, jadi terpaksa memang harus satu area. Dan nyatanya ini lebih menguntungkan bagi kami masing-masing karena tak perlu repot-repot mencari teman.

Kebetulan sekali kami kuliah di kota yang jauh dari tempat tinggal kami. Jadinya, untuk menghemat biaya, kami menyewa satu apartemen. Ya. Aku dan Eric tinggal bersama. Itu jelas di ketahui orang tua kami. Mereka tak melarang karena mereka jelas percaya pada kami kalau kami takkan melebihi batas pertemanan.

"Sof, malam ini gue nggak pulang ya," kata Eric saat kami baru menyelesaikan mata kuliah.

"Hah? Mau kemana?" Tanyaku basa-basi. Namun aku sebenarnya sudah bisa menebak dia akan pergi kemana. Ya. Dia pasti akan menghabiskan malamnya dengan pacarnya. Apa lagi malam ini adalah malam Minggu. Kemana lagi kalau tidak having fun dengan sang pacar sampai klepek-klepek di tempat tidur.

Bukannya menjawab, Eric malah nyengir kuda. Kurasa ia sudah tau kalau aku mengetahui jawabannya. Aku hanya memutar mata, lelah. Sudah tak asing bagiku kalau Eric memang pria yang suka 'bermain' dengan wanita. Tak ada yang ia sembunyikan dariku. Dia selalu jujur tentang apapun bahkan setelah dia menghabiskan malam dengan wanitanya. Mungkin karena kami terlalu akrab ya, sampai tak ada batas komunikasi antara kami.

Dan anehnya aku juga tak merasa risih atau jijik dengan semua yang ia sampaikan. Aku malah lebih sering meledeknya apalagi saat dia putus dari pacarnya. Eric memang tergolong pemuda yang tampan. Berkulit putih bersih. Dengan rambut yang selalu di bikin berantakan yang semakin menambah aura ketampanannya.

Jangan salah. Dia bukan anak yang periang atau pemalu. Eric bisa di bilang anak yang sangat dingin. Bahkan sikap dinginnya itulah yang menjadikan ia semakin di puja banyak wanita. Diam tapi menghanyutkan. Hanya saat denganku sajalah ia terlihat berbeda. Mungkin karena sudah terbiasa sejak kecil pula.

Aku hanya menatap kepergian Eric dengan lesu. Bukan karena sedih karena di tinggal olehnya. Tapi karena meratapi nasibku yang hingga sekarangpun belum mempunyai seorang pacar. Kenapa? Apakah aku terlalu jelek? Tidak! Jangan salah. Aku tergolong anak yang mempunyai visual di atas rata-rata. Kalau hanya bersaing dengan para artis, aku takkan pesimis. Lalu kenapa hingga sekarang aku masih jomblo? Apakah aku tidak memenuhi kriteria lelaki dari segi fisik? Ah....ku rasa aku juga tak perlu menyombong kalau aku juga termasuk anak yang mempunyai body gitar spanyol. Itu hanya perumpamaan saja sih. Yang jelas aku masih termasuk anak yang mempunyai tubuh yang aduhai. Ini bukan pemikiranku? Tapi penilaian dari orang-orang yang selama ini melihatku dan sering tergoda karena melihat bentuk tubuhku.

Lalu kenapa? Apa alasan sebenarnya sampai tak ada yang berani mendekatiku hingga kini? Alasannya hanya satu. Yakni Eric. Karena kedekatanku dengan Ericlah jadi pria enggan mendekatiku. Kalaupun ada, ujung-ujungnya akan cemburu padanya dan menyuruhku meninggalkan sahabat baikku itu. Mana bisa demikian? Memang mereka siapa? Mereka hanya orang asing yang baru masuk dalam kehidupanku. Sedang Eric? Dia sudah bertahun-tahun mengisi hidupku. Susah dan senangku. Kami selalu berbagi bersama.

Ya sudahlah. Hanya bisa terima nasib hingga sekarang. Semoga nanti ada pria yang benar-benar bersedia menerimaku apa adanya.

🍁🍁🍁🍁🍁🍁

Aku masih meringkuk dalam selimutku saat tiba-tiba Eric datang dan merebahkan tubuhnya di sampingku. Merasa terganggu, akupun mengumpat, "Setan lo! Sudah datang gak bilang-bilang, datang malah gangguin orang," aku menggerutu sambil mengubah posisi tidurku jadi memunggunginya.

"Lo kenapa belum bangun? Sudah jam berapa ini? Lihat, ayam sudah pada mencari makan di luar sana, eh lo masih nyungsep di atas kasur," omelnya sambil menarik selimutku.

"Biarin.," ujarku sambil membenarkan kembali selimut yang ia tarik sebelumnya, "gimana kencan lo semalam? Sukses?" tanyaku asal.

"Tentu saja. Lo tau kami 'main' berapa kali? Tiga kali. Gimana menurut lo?" Tanyanya sambil berbisik di telingaku. Aku yang merasa risih karena hembusan napas darinya seketika langsung bangkit dari tidurku.

"Huh, 'main' segitu saja sudah sombong. Lihat no, diluar sana orang-orang ada yang 'main' lebih dari lima ronde. Apaan lo?" aku mencibir lalu bangkit dari ranjangku. Mengambil jepit dan mengikat rambutku. Aku lalu berjalan menuju kamar mandi bermaksud membasuh mukaku.

"Eh...terang aja mereka sampai segitu karena mereka make' obat penguat. Lha gue? Gue murni apa adanya. Itupun dalam tempo yang singkat," Eric menyusul dari belakang.

"Yah...yah...terserah lo deh. Mending sekarang lo keluar dari kamar gue, karena gue mau kencing."

"Ya sudah kencing aja. Apa susahnya?" akupun melotot mendengar pernyataannya barusan. Seperti mengerti bahasa isyarat yang ku berikan, diapun mengalah pergi, "iya...iya...gue pergi."

Hanya sekitar setengah jam sampai aku kembali dan menemuinya di ruang tengah. Dia hanya melirikku sekilas saat aku melewatinya menuju dapur untuk membuat sarapan. Dan setengah jam kemudian aku kembali dengan dua piring nasi goreng di kedua tanganku.

Eric hanya tersenyum saat aku menyodorkan nasi goreng itu padanya, "Thanks. Lo tau aja kalau gue laper," ujarnya sambil menaik turunkan alisnya.

"Dasar lo."

Kamipun sarapan sambil melihat film animasi di TV. Film "Tom and Jerry" yang menjadi kesukaan kami berdua sejak kecil. Aku tergelak saat melihat Tom yang selalu di perdaya oleh Jerry si tikus kecil. Tampak sekilas Eric memandangku.

"Sof, lo nggak mau pacaran?" Tiba-tiba dia mengajukan pertanyaan yang sangat tidak penting bagiku.

"Hah? Ngomong apa sih lo?" aku hanya menoleh ke arahnya sekilas lalu kembali kepada siaran yang ku tonton.

"Apakah perlu gue menjauh dari lo supaya lo bisa dapat cowok?"

Dan kali ini aku mulai serius. Kutatap kembali Eric yang memandangku penuh keyakinan. Sepertinya dia tidak sedang bercanda.

"Kenapa sih lo? Kebentur tembok? Atau belum puas dengan yang semalam?" aku masih mencoba berkelakar. Namun tak ada senyum sedikitpun yang tersungging di bibirnya.

"Sof. Gue tau elo kesepian. Lo pasti pengen kayak anak yang lain yang menikmati masa-masa remaja mereka. Menjalin hubungan dengan seorang pria. Berkencan. Benar bukan?" kali ini aku terdiam. Tak menyangkal, juga tak membenarkan, "gue tau, kalau semua inti permasalah itu dari gue. Jadi lo bisa bilang kalau lo pengen kita jauh, it's okay buat gue," lanjutnya.

"Hah? Ngomong apaan sih? Nggak penting tau. Pagi-pagi sudah ngaco. Mending lo tidur lagi aja sono. Gue tau lo masih ngantuk setelah lo bergadang semalam dengan tu cewek."

Aku berusaha menghindar sambil beranjak pergi. Namun sejenak kemudian aku berhenti dan menoleh kembali padanya, "Asal lo tau ya Ric, kalau lo tidak bisa di gantiin dengan apapun. Kalau ada yang mau sama gue, berarti dia juga harus nerima lo. Paham?"

Kulihat dia tersenyum tipis. Mungkin dia terharu oleh perkataanku barusan. Sedetik kemudian diapun mengangguk, "Huh, dasar lo monyet. Tidur lagi gih! Ntar pala lo tambah bleng."

Aku pun pergi meninggalkannya. Perkataan Eric barusan sebenarnya bukan kalimat pertama yang ia lontarkan padaku. Sebelum-sebelumnyapun dia sering mengatakan hal itu. Dan ujung-ujungnya aku menjitak kepalanya karena jengkel.

●●●●

FwB (END) Sudah Terbit Di Google PlaybookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang